Indonesia Perlu Kuasai Teknologi Energi Terbarukan  

Jakarta, 10 September 2025 –  “Transisi energi bukanlah proses sederhana yang bisa terjadi dalam waktu singkat. Spektrumnya luas dan menyangkut banyak aspek, mulai dari politik, ekonomi, teknologi, hingga kepentingan berbagai sektor. Di Indonesia, langkah menuju transisi energi sudah mulai terlihat, meskipun implementasinya masih menghadapi tantangan besar,, hal ini dikatakan Chief Executive Officer (CEO) Fabby Tumiwa dalam Acara Kata Data SAFE 2025 yang digelar pada Rabu (10/9).  

Fabby menyebutkan, beberapa tanda kemajuan telah terlihat. Misalnya saja kemauan politik (political will) pemangku kepentingan untuk beralih ke energi terbarukan sudah jelas. Pemerintah juga memasukkan transisi energi ke dalam berbagai dokumen perencanaan, seperti rencana pembangunan nasional maupun rencana kelistrikan PLN. Namun, perencanaan itu masih membutuhkan implementasi nyata agar tidak berhenti di atas kertas. 

Namun demikian, seiring langkah menuju transisi energi, kata Fabby, Indonesia juga merupakan salah satu pengekspor batubara terbesar di dunia. Batubara memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara, pajak, dan lapangan kerja. Untuk itu, menghentikan ketergantungan pada batubara bukan hanya soal energi, tetapi juga soal ekonomi dan sosial. 

“Pasar ekspor batubara Indonesia pun mulai terancam karena negara-negara tujuan utama sudah meningkatkan pemakaian energi terbarukan. Artinya, cepat atau lambat, permintaan batubara akan turun, baik di dalam negeri maupun di luar negeri,” kata Fabby.  

Di sisi lain, Indonesia sebagai negara berkembang memiliki konsumsi energi per kapita yang masih rendah dibandingkan negara lain. Seiring meningkatnya pendapatan masyarakat, kebutuhan energi juga terus naik. Misalnya, seorang anak yang dahulunya tinggal di rumah orang tuanya dan kini telah bekerja dan mampu tinggal mandiri, individu tersebut kini bisa membeli dua atau tiga AC di rumahnya. Jika jutaan individu mengalami kenaikan daya beli seperti ini, permintaan listrik akan melonjak drastis. 

Berkaca dari kondisi tersebut dan pembangunan pembangkit fosil baru sudah mulai dibatasi, kata Fabby, energi terbarukan dapat menjadi solusi utama. Pembangunan infrastruktur energi terbarukan tidak hanya menjawab kebutuhan listrik, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi. 

“Mengingat energi terbarukan sangat bergantung pada teknologi, maka kunci transisi energi ada pada kemampuan Indonesia menguasai dan memproduksi teknologi. Ada tiga aspek penting yang perlu dikembangkan. Pertama, riset dan paten teknologi baru yang dikuasai oleh bangsa sendiri. Kedua, industri manufaktur teknologi energi terbarukan, seperti produksi panel surya atau baterai dalam negeri. Ketiga, lapangan kerja dari rantai produksi teknologi, sehingga transisi energi juga membawa manfaat ekonomi dan sosial,” ucap Fabby.  

Fabby menegaskan, apabila Indonesia hanya mengekspor bahan mentah seperti pasir silika tanpa mengolahnya menjadi sel surya, maka nilai tambah akan hilang. Sebaliknya, bila teknologi dikuasai, Indonesia bisa menjadi produsen dan bahkan pengekspor teknologi energi bersih, sebagaimana yang sudah dilakukan Tiongkok dan India. 

Share on :

Leave a comment