Semarang, 18 September 2025 – Industri hijau merupakan salah satu pilar penting dalam mendorong transisi energi dan pembangunan rendah karbon. Melalui penerapan teknologi efisien, pemanfaatan energi terbarukan, proses produksi ramah lingkungan, serta integrasi prinsip keberlanjutan, industri hijau tidak hanya menekan emisi gas rumah kaca tetapi juga memperkuat daya saing ekonomi nasional. Transformasi ini memastikan bahwa pertumbuhan industri sejalan dengan target net zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat sekaligus membuka peluang baru dalam rantai pasok global yang semakin menuntut praktik berkelanjutan.
Juniko Nur Pratama, Manajer Program Dekarbonisasi Industri, Institute for Essential Services Reform (IESR), demi mendorong transformasi industri hijau, pendampingan industri kecil menengah (IKM) menjadi hal yang krusial. Pendampingan yang dilakukan oleh berbagai pihak saat ini masih perlu integrasi yang lebih baik. Meskipun IKM telah mulai mengadopsi praktek hijau, eksposur terhadap praktik tersebut masih terbatas. Selain itu, kapasitas pendampingan yang ada, baik dalam hal sumber daya manusia maupun finansial, perlu diperkuat agar IKM dapat lebih siap bersaing dalam pasar global yang semakin berorientasi pada keberlanjutan.
“Program pendampingan industri hijau harus menjadi norma dalam perencanaan industri nasional, bukan hanya sebagai program sementara. Kami siap bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa menciptakan ekosistem yang mendukung transisi energi yang adil dan inklusif, menyusun sistem intensif dan menyelaraskan kebijakan dengan target NZE 2050,” ujar Juniko dalam Jateng Green Industry Summit 2025: Industri Hijau Pilar Transisi Energi dan Pembangunan Rendah Karbon yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada Kamis (18/9).
IESR mendorong program pendampingan sinkron dengan sektor prioritas peta jalan dekarbonisasi industri misalnya sektor baja, semen maupun tekstil, mempersiapkan industri menghadapi mekanisme carbon pricing dan mendorong transisi menuju teknologi rendah karbon melalui hidrogen, misalnya.
July Emmylia, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah mengakui bahwa implementasi industri hijau di Jawa Tengah masih jauh dari optimal akibat rendahnya kesadaran pelaku industri, keterbatasan pembiayaan, hingga belum adanya regulasi daerah dan forum komunikasi yang solid. Untuk menjawab tantangan ini, Pemerintah Provinsi mencanangkan program “Rengganis Pintar” sebagai upaya revitalisasi industri hijau salah satunya sebagai strategi peningkatan ekspor. Program ini diwujudkan melalui pembentukan Forum Industri Hijau, penyusunan Indeks Siap Hijau (ISH) bersama akademisi dan mitra strategis seperti IESR, serta edukasi budaya hijau sejak tingkat SMA/SMK. Selain itu, layanan Klinik Hijau (offline) dan Klik Hijau (online) dibuka untuk memberikan informasi dan pendampingan bagi industri yang ingin bertransformasi.
“Kolaborasi adalah kunci percepatan industri hijau, forum ini lahir dari komitmen kuat berbagai pihak mulai dari pemerintah, lembaga think tank, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat untuk bersama-sama merumuskan kebijakan, berbagi gagasan, dan mendorong inovasi dalam implementasi industri hijau di Jawa Tengah,” tegas Emy.
Sementara itu, Apit Pria Nugraha, Kepala Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian menekankan bahwa seluruh perusahaan industri penghasil emisi harus bertanggung jawab atas emisi yang dikeluarkan. Strategi pembangunan ekosistem industri hijau diarahkan untuk mendorong penerapan praktik terbaik sebagaimana telah lama diterapkan di berbagai negara, termasuk Uni Eropa yang sejak awal telah memberlakukan pembatasan emisi. Langkah ini menjadi fondasi penting agar industri nasional mampu bertransformasi menuju keberlanjutan sekaligus meningkatkan daya saing di pasar global.
Dalam rangkaian forum tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Universitas Sebelas Maret (UNS) menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding, MoU) terkait pendampingan transformasi industri hijau. Perjanjian kerja sama ini dimaksudkan sebagai landasan bagi para pihak untuk menjalin hubungan kerja sama yang sinergis dan saling menguntungkan dalam mendorong percepatan transformasi industri hijau di Jawa Tengah. Melalui kolaborasi ini, IESR, Pemerintah provinsi Jawa Tengah, dan UNS berkomitmen membangun ekosistem industri yang berdaya saing, berkelanjutan, serta ramah lingkungan, dengan objek utama kerja sama berupa kolaborasi pendampingan transformasi industri hijau.