Kupang, 2 Oktober 2025 – Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan wilayah kepulauan di bagian timur Indonesia. Secara keseluruhan, terdapat 609 pulau yang membentang, namun hanya 42 pulau yang dihuni penduduk berdasarkan data Bappenas. Selain dikenal dengan lanskap alamnya yang memukau, tersimpan cerita lain yakni potensi energi terbarukan yang melimpah. Berdasarkan studi IESR, potensi teknis energi terbarukan di NTT sekitar 388.310 MW.
Eva Novianty, Kepala Subdirektorat Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah I, Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri menegaskan komitmen pemerintah pusat untuk memperkuat kapasitas pemerintah daerah dalam mengintegrasikan isu energi dan lingkungan ke dalam dokumen perencanaan seperti RPJMD dan RKPD. Dengan sinkronisasi pusat dan daerah, target nasional diharapkan benar-benar bisa diwujudkan dari level daerah.
“Sinkronisasi diperlukan untuk memastikan transisi energi berjalan inklusif dan adil. Kelompok masyarakat tidak boleh ditinggalkan, termasuk pekerja sektor energi konvensional yang perlu dibekali keterampilan baru, masyarakat di wilayah 3T yang harus diprioritaskan akses energinya, hingga komunitas lokal di sekitar sumber energi yang harus diberdayakan,” tegas Eva dalam Diskusi Kelompok Terpumpun bertajuk Identifikasi Lokasi Pengembangan Energi Terbarukan dan Potensi Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan di Provinsi NTT yang dilaksanakan Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Kementerian Dalam Negeri dengan dukungan Ford Foundation pada Kamis (2/10).
Sodi Zakiy Muwafiq, Analis Sistem Informasi Geografis (SIG), IESR mengatakan pihaknya telah melaksanakan analisis kelayakan teknis dan finansial terhadap tiga jenis energi terbarukan, di mana energi surya dan bayu menunjukkan kelayakan yang lebih tinggi dibanding mini-mikro hidro.
“Hasil pemetaan IESR menunjukkan bahwa ada dua sumber energi yang paling layak secara finansial untuk dikembangkan di NTT. Pertama, energi bayu dengan potensi 16.160 MW, terutama di Sumba Timur. Kedua, energi surya sebesar 7.728,4 MW, dengan potensi besar di Ngada, Sikka, dan Timor Tengah Selatan,” tegas Sodi.
Menurut Sodi, pengembangan energi terbarukan di NTT tidak hanya soal listrik, tetapi juga berhubungan langsung dengan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Misalnya saja desa yang mandiri energi dapat mengurangi biaya listrik, mendorong produktivitas UMKM seperti tenun ikat, pengolahan hasil laut, dan pertanian. Listrik yang stabil juga memperkuat akses pendidikan dan kesehatan.
“Tidak hanya itu, Pulau Sumba dan Flores memiliki daya tarik untuk dikembangkan sebagai destinasi eco-tourism dengan branding “green island”. Investasi energi terbarukan akan memperkuat citra pariwisata berkelanjutan tersebut. Pemanfaatan energi terbarukan juga dapat mengurangi ketergantungan pada impor BBM yang mahal. Selain itu, emisi dapat ditekan sehingga meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim,” ujar Sodi.
Sodi menegaskan, untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan di NTT, beberapa langkah yang dapat ditempuh diantaranya mengakomodasi lahan energi terbarukan dalam tata ruang wilayah agar selaras dengan perencanaan sektor lain, memprioritaskan proyek dengan hasil ekonomi tinggi berdasarkan studi kelayakan, serta mengoptimalkan desain proyek dan pembiayaan inovatif, misalnya melalui skema-skema kreatif agar risiko investasi lebih rendah.