Transisi Energi Perlu Dipercepat Demi Meresponi Krisis Iklim

Jakarta, 13 Oktober 2025 – Transisi energi adalah keniscayaan jika Indonesia ingin mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan. Hal ini diungkapkan Chief Executive Officer (CEO) Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa dalam  dalam program The Big Idea Forum dan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025 didukung oleh IESR, yang tayang pada Rabu (8/10).  

“Dunia saat ini sedang berada di fase crisis mode. Untuk menghindari krisis, dibutuhkan transformasi sistem energi. Mengingat, penyebab krisis ini terjadi  karena kita juga terlalu banyak mengonsumsi energi fosil dan hari ini 75% emisi global berasal dari energi fosil. Berdasarkan sains, kita juga tidak banyak waktu untuk bisa mencegah kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat Celcius. Jika naik di atas suhu tersebut,  dampaknya akan bersifat permanen (irreversible effect of climate). Untuk itu, percepatan transisi energi menjadi hal yang sangat penting agar krisis iklim tidak semakin parah,” tegas Fabby.  

Lebih lanjut, Fabby menjelaskan bahwa carbon budget Indonesia kini hanya tersisa sekitar 250 juta ton, sementara emisi karbon yang dihasilkan setiap tahun lebih dari 50 juta ton. Artinya, waktu untuk melakukan perubahan semakin terbatas. Diperlukan percepatan (speed) dan skala besar (scale) dalam melaksanakan transisi energi. Namun, melihat perkembangan sejauh ini, target energi bersih masih terasa tidak realistis karena acuan yang digunakan adalah past performance. Saat ini, Indonesia ditantang untuk keluar dari pola business as usual dan bergerak lebih cepat. 

“Misalnya kalau kita mau selaras dengan target menjaga suhu global di bawah 1,5–2 derajat Celsius, bauran energi terbarukan Indonesia pada tahun 2030 seharusnya mencapai 40%. Namun, berdasarkan PP No. 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional, target energi terbarukan Indonesia baru ditetapkan sebesar 23%. Adanya jarak ini menunjukkan perlunya upaya lebih besar untuk mempercepat transisi energi,” kata Fabby.  

Di lain sisi, Fabby menyoroti masalah klasik dalam proyek energi terbarukan di Indonesia adalah soal bankability. Banyak proyek dinilai tidak layak dibiayai oleh bank karena dianggap berisiko tinggi. Selain itu, biaya pendanaan energi terbarukan di Indonesia masih lebih mahal dibandingkan negara lain akibat persepsi risiko investasi yang tinggi dan kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung. 

“Padahal, pendanaan global untuk energi terbarukan sangat besar. Dalam lima tahun terakhir, nilainya mencapai sekitar USD 5 triliun, dan lebih dari 60% mengalir ke sektor energi hijau. Artinya, money is not an issue. Tantangan utama adalah bagaimana membuat proyek energi terbarukan di Indonesia menarik bagi investor, dengan memberikan kepastian regulasi serta keuntungan bisnis yang wajar,” papar Fabby.  

Share on :

Leave a comment