Bangkok, 2 Oktober 2025 – UNFCCC telah membentuk Conference of the Party (COP) sebagai wadah perundingan dan dialog iklim global, yang di dalamnya memuat keprihatinan dan aspirasi multi pihak mulai dari pemerintah, hingga masyarakat dan komunitas terdampak perubahan iklim.
Namun, dalam perjalanannya pebisnis, bahkan perusahaan energi fosil juga memiliki jalan mulus untuk datang dan ikut berunding dalam COP, sebagai delegasi negara. The Guardian dalam publikasinya menyebutkan sebanyak 1,773 pelobi industri fosil terlibat dalam COP29 Azerbaijan pada 2024. Hal ini menimbulkan kekhawatiran masyarakat global akan kredibilitas dan legitimasi UNFCCC.
Fabby Tumiwa, CEO Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam diskusi panel bertajuk “Concern and Demand Over UN Climate Talks: Decision-Making Processes, Transparency, and Improvements” dalam rangkaian Bangkok Climate Action Week (BKKCAW) 2025 menyatakan bahwa partisipasi masyarakat sipil dalam COP semakin sulit. Hal ini ditandai salah satunya dengan terbatasnya badge yang dialokasikan untuk masyarakat sipil, dan semakin banyaknya negosiator dan juru lobi dari industri besar bahkan korporasi energi fosil yang menghadiri COP.
“Terbatasnya partisipasi ini membuat negara-negara yang terdampak seperti Asia Tenggara, semakin mengalami penundaan solusi termasuk pendanaan terhadap permasalahan iklim yang dihadapinya,” kata Fabby.
Rachita Gupta, Global Campaign to Demand Climate Justice (DCJ), menyerukan hal senada bahwa proses negosiasi PBB utamanya forum COP semakin menjauh dari isu-isu krusial global. Forum yang seharusnya menjadi wadah mencari berbagai solusi justru memperdalam krisis multilateral global.
“Dalam COP-28 Dubai perwakilan bisnis energi fosil begitu mendominasi negosiasi sehingga tidak ada pernyataan untuk penghentian penggunaan energi fosil (phase-out fossil), dan hanya komitmen penurunan penggunaan (phase down),” kata Rachita.
Besarnya perwakilan perusahaan fosil berarti lobi dari industri fosil untuk memperpanjang penggunaan fosil dan aliran pendanaan yang menjauh dari proyek-proyek ketahanan iklim. Hal ini mendapat perhatian Wanun Permpibul, Executive Director, Climate Watch Thailand.
“Semakin sulit bagi negara berkembang dan (negara) kepulauan untuk mendapatkan pendanaan proyek ketahanan iklim karena untuk hadir saja pada COP perlu upaya yang sangat besar dari sisi biaya, belum lagi proses negosiasi yang bertujuan untuk mendapatkan komitmen pendanaan akan berlangsung alot. Ironisnya, dana sebenarnya ada namun tidak banyak dialokasikan untuk iklim,” kata Wanun.
Proses negosiasi yang tidak lagi partisipatif dan inklusif juga menjadi perhatian Ivy Leung, Executive Director CarbonCare Innolab. Selain itu, Ivy juga menekankan adanya kesenjangan pengetahuan dan paparan informasi tentang cara berpartisipasi secara bermakna bagi negara atau kelompok masyarakat yang berlokasi di negara global selatan. Hal ini coba dijembatani oleh CarbonCare Innolab dengan mengadvokasi keterlibatan publik terutama anak muda dalam proses dialog PBB dan diplomasi iklim global.
“Hasil COP yang semakin jauh dari isu-isu mendesak membuat kaum muda semakin skeptis untuk terlibat dalam negosiasi. Kami masih melihat penting untuk datang ke COP, namun kami juga terus melihat berbagai perkembangan tentang efektivitas dan efisiensi perundingan COP,” kaya Ivy.
Saehee Jeong, Head of Diplomacy Solutions for Our Climate (SFOC), melihat bahwa kawasan Asia sebagai area yang hidup dengan dampak krisis iklim perlu secara konsisten menyerukan kebutuhan pendanaan maupun asistensi aksi iklim.
“Dengan beragamnya situasi pemerintah dan geografis yang dimiliki, Asia merupakan laboratorium diplomasi iklim yang penting,” kata Saehee.