Jakarta, 30 Oktober 2025 – Transisi energi tidak hanya soal teknologi, tetapi juga desain kebijakan dan instrumen finansial. Bobby Wahyu Hernawan, Direktur Kerjasama Multilateral dan Keuangan Berkelanjutan, Direktorat Jenderal Keuangan dan Manajemen Risiko, Kementerian Keuangan, dalam sesi “Utilizing Blended Finance for Energy Transition” Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025 mengatakan bahwa setidaknya ada tiga hal untuk mempercepat transisi energi yaitu, menurunkan risiko investasi (derisking), penyelarasan (alignment) dan penyederhanaan (simplification).
Boby menyampaikan pemerintah telah menerbitkan kebijakan fiskal diarahkan untuk mengurangi risiko investasi proyek energi bersih, misalnya lewat jaminan pemerintah (guarantees) atau instrumen pendukung lainnya sehingga proyeknya lebih menarik bagi investor.
“Terkait alignment, perlu ada penyelarasan antara kepentingan publik dan swasta menjadi kunci. Tujuan publik berorientasi pada manfaat sosial dan lingkungan, sementara sektor swasta memiliki dorongan ekonomi untuk memperoleh keuntungan,” kata Bobby.
Sementara penyederhanaan berpusat pada simplifikasi struktur pembiayaan proyek transisi energi masih kompleks sehingga bisa diperluas dan direplikasi di berbagai wilayah Indonesia.
Delano Dalo, Head of Public Financing Division PT SMI, mengatakan bahwa untuk mengundang pendanaan, harus ada terlebih dulu daftar proyek yang layak secara finansial (bankable project).
“Untuk sampai di bankable project berarti harus ada asistensi teknis untuk menyiapkan proyeknya. Maka PT SMI juga mulai membentuk tim project preparation yang tugasnya membantu pemerintah dan swasta untuk menyiapkan bankable project sebelum mulai mencari pendanaan,” kata Delano.
Bambang Brodjonegoro, Dekan di ADB University menekankan pentingnya memperkuat skema Public-Private Partnership (PPP). Skema ini dapat dikatakan skema yang ideal untuk menjembatani keterbatasan keuangan Pemerintah dan partisipasi swasta.
“Namun, saat ini masih banyak yang harus dibenahi dari skema PPP ini. Setidaknya terkait birokrasi dan mainstreaming skema secara umum. Khusus untuk bidang energi, isu single offtaker masih akan menjadi tantangan sebab tidak ada penawaran dari buyer lain,” kata Bambang.
Felia Salim, ekonom dan anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) mengatakan bahwa dalam menyusun struktur biaya proyek, harus memasukkan perhitungan risiko non teknis mulai dari risiko politis hingga biaya inefisiensi (cost of inefficiency).
“Untuk membuat biaya proyek ini semakin terjangkau, kita harus melakukan serangkaian cara untuk membuat derisking instruments yang tepat,” kata Felia.
Jiro Tominaga, Indonesia Country Director ADB, mengatakan bahwa dengan memiliki derisking instruments dan model insentif yang berlaku secara nasional, kemungkinan untuk mereplikasi proyek semakin besar.
“Selain membuat derisking instruments, secara bertahap perlu juga dibuat playing field yang setara antara energi terbarukan dengan energi fosil. Sebab, jika energi fosil terus menerima subsidi besar seperti saat ini, akan sulit untuk energi terbarukan berkembang,” kata Jiro.
Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025 diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) yang turut didukung oleh British Embassy Jakarta melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI). Rekomendasi komprehensif IETD 2025 dapat diakses pada tautan IETD 2025: Tiga Rekomendasi Utama untuk Mewujudkan Transisi Energi yang Berdampak – IESR