Semarang, 28 November 2025 – Jawa Tengah sedang berada pada momentum penting dalam perjalanan menuju energi masa depan. Di tengah kebutuhan listrik yang terus bertambah, provinsi ini justru menyimpan peluang besar untuk menjadi pusat pengembangan energi terbarukan Indonesia.
Sodi Zakiy Muwafiq, Analis Sistem Informasi Geografis (SIG), Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan potensi energi bersih di Jawa Tengah tidak hanya besar, tetapi juga sangat menjanjikan secara ekonomi dan teknis. Studi IESR menunjukkan terdapat 16 lokasi pembangkit listrik bertenaga energi surya, angin, dan mikrohidro Jawa Tengah dengan total kapasitas 13,56 Gigawatt-peak (GWp) yang layak secara finansial dan teknis untuk dikembangkan.
“Potensi yang besar tetap harus diimbangi dengan kesiapan perencanaan. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa beberapa tantangan perlu diperhatikan agar pengembangan energi bersih bisa berjalan cepat dan efektif. Misalnya saja pengembangan energi terbarukan memerlukan alokasi lahan yang jelas dalam rencana tata ruang wilayah, agar tidak terjadi tumpang tindih dengan sektor lain,” tegas Sodi dalam Dialog Media dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
Tentang Perkembangan Energi Terbarukan dan Target Energi Terbarukan 2025-2030 yang diselenggarakan oleh IESR di Semarang pada Rabu (26/11).
Lebih lanjut, Sodi juga menyoroti proses pengadaan tanah masih menjadi penyebab lambatnya realisasi proyek. Untuk itu, optimalisasi sistem OSS (Online Single Submission) dan peningkatan basis data digital akan membantu mempercepat proses ini. Selain itu, pemilihan lokasi yang tepat sangat berpengaruh pada tingkat pengembalian investasi. Data teknis dari studi IESR menjadi panduan penting dalam menentukan prioritas.
IESR menyusun serangkaian rekomendasi teknis agar proyek dapat berjalan sesuai standar industri. Pertama, perlu adanya optimalisasi kombinasi komponen pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk meningkatkan kinerja sistem, dan simulasi desain serta layout menggunakan PVSyst atau Helioscope. Kedua, melakukan penentuan lokasi optimal (micrositing), penilaian potensi angin (wind resource assessment), serta simulasi performa turbin di pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), serta penempatan alat ukur met-mast untuk kampanye pengukuran angin. Ketiga, pengambilan data hidrologis minimal satu tahun untuk pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM).
Sementara itu, Penelaah Teknis Kebijakan Bidang Energi Baru Terbarukan (EBT) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah, Muhammad Rifqi menuturkan pihaknya terus memperkuat komitmennya dalam memperluas pemanfaatan energi terbarukan sebagai bagian dari prioritas pembangunan Gubernur periode 2026–2030. Upaya ini tidak hanya ditujukan untuk menjaga ketahanan energi, tetapi juga untuk mendorong kemandirian daerah melalui inovasi dan kolaborasi lintas sektor.
“Salah satu langkah penting yang digarap adalah pengembangan Desa Mandiri Energi, di mana masyarakat desa diberdayakan untuk memanfaatkan sumber energi terbarukan yang ada di sekitar mereka. Mulai dari pengolahan biogas berbahan baku kotoran ternak dan sampah komunal, pembangunan PLTS untuk kawasan wisata dan UMKM, hingga pemanfaatan pompa air tenaga surya untuk irigasi. Seluruh program ini didorong agar masyarakat dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil,” ujar Rifqi.
Menurut Rifqi, di tingkat regional, Jawa Tengah juga memperkuat Forum Energi Daerah sebagai wadah koordinasi lintas pemangku kepentingan. Forum ini melibatkan pemerintah daerah, perguruan tinggi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), swasta, komunitas, media, hingga para pakar energi untuk merumuskan strategi dan rekomendasi kebijakan.
“Kehadiran media dalam forum tersebut memegang peran strategis, bukan hanya sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai aktor edukatif yang membantu membentuk pemahaman publik mengenai transisi energi. Melalui forum ini, berbagai pihak dapat menyelaraskan program, berbagi peran, dan mempercepat realisasi pembangunan energi terbarukan di wilayah Jawa Tengah,” kata Rifqi.
Tidak hanya itu, Rifqi menyatakan pendekatan berbasis komunitas juga berkembang melalui program Eco Pesantren. Di berbagai pondok pesantren, fasilitas energi terbarukan seperti PLTS dan instalasi biogas mulai diintegrasikan untuk mendukung operasional harian.
“Universitas dan pihak eksternal turut dilibatkan dalam proses pendampingan, sosialisasi, serta pelatihan tenaga kerja yang berfokus pada sektor energi terbarukan. Upaya ini membuat pesantren bukan hanya sebagai pusat pendidikan agama, tetapi juga pusat pembelajaran energi bersih yang dapat menjadi contoh bagi masyarakat luas,” papar Rifqi.
Rifqi menegaskan, selain pengembangan sumber energi terbarukan, program konservasi energi menjadi bagian penting untuk mengurangi pemborosan dan meningkatkan efisiensi. Pemerintah melakukan audit energi di gedung-gedung pemerintahan dan sekolah, memberikan penghargaan kepada pelaku Gerakan Hemat Energi di tingkat kabupaten/kota, industri, serta SMA/SMK, sekaligus mendorong penerapan manajemen energi dan penyusunan SOP kegiatan konservasi.