Menggerakkan Kemandekan Transisi Energi Indonesia

Jakarta, 20 November 2025 – Indonesia berada dalam kondisi paradoks yakni memiliki potensi energi terbarukan melimpah, namun pada saat yang sama sistem energinya didominasi oleh pembangkit fosil. Selama sembilan tahun berturut-turut, Indonesia belum pernah mencapai target penambahan energi terbarukannya. Sementara kapasitas energi fosil terus bertambah. Hal ini membuat Indonesia berada dalam situasi infrastructure lock-in.  

Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam sambutan pembukanya pada peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2026: Rhetoric or Reality: Aligning Economic Growth with Energy Transition mengatakan bahwa transisi energi Indonesia mengalami kemandekan (stagnan).  

“Hal ini bukan berarti kita tidak bisa bertransisi, namun ada beberapa hal yang menghambat transisi energi di Indonesia, antara lain kebijakan yang tidak konsisten, keterikatan pada batubara karena dianggap murah, keterbatasan infrastruktur listrik, dan ketidakselarasan pendanaan,” kata Fabby.  

Fabby menambahkan bahwa terdapat berbagai peluang ekonomi jika Indonesia memutuskan segera keluar dari infrastruktur energi fosil. Salah satunya proyeksi kebutuhan energi terbarukan untuk data center yang diperkirakan mencapai 6 GW.  

Abraham Octama Halim, Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR, sekaligus koordinator penulis IETO 2026 mengatakan bahwa jika Indonesia mengikuti proyeksi emisi saat ini, sisa batas karbon (carbon budget) untuk menjaga temperatur global 1,5 °C akan habis tahun 2038 dan untuk batas 2 °C akan habis pada 2044.  

“Baik tahun 2038 maupun 2044 masih jauh dari target NZE tahun 2060, maka kita harus meningkatkan bauran energi terbarukan untuk memperpanjang carbon budget ini. Penambahan energi terbarukan hingga 77% dapat membuat pertumbuhan ekonomi tidak menjauh dari pertumbuhan emisi,” kata Abraham.  

Penguatan aksi dekarbonisasi ini membutuhkan jaminan pendanaan. Sayangnya alokasi pendanaan publik masih banyak menuju pada sektor ekstraktif. Putra Maswan, Analis Keuangan dan Ekonomi IESR mengatakan bahwa dukungan pendanaan internasional seperti JETP (Just Energy Transition Partnership) belum optimal dalam mendukung agenda transisi energi.  

“Dalam satu tahun terakhir, terdapat tren positif dari bank swasta dalam hal alokasi investasi pada sektor keberlanjutan, namun jika dibandingkan dengan alokasi investasi pada sektor ekstraktif angka masih kecil,” katanya.  

Pada awal tahun 2025, investasi 4 bank swasta terbesar untuk pengembangan energi terbarukan mencapai 36 triliun rupiah. Sementara total investasi untuk sektor ekstraktif mencapai 267 triliun rupiah.  

Putra juga menjelaskan hasil penilaian kematangan teknologi energi terbarukan saat ini. Teknologi energi surya dan baterai telah memasuki tahap matang dan layak secara komersial, sementara teknologi seperti gasifikasi amonia dan CCS masih berada dalam tahap uji coba. Dengan hasil penilaian ini, investasi seharusnya  dialokasikan pada teknologi yang sudah matang dan teruji.  

Shahnaz Nur Firdausi, Analis Iklim dan Energi IESR menambahkan bahwa tantangan saat ini bukan hanya terkait teknologi namun mencakup tata kelola pembangunan nasional.  

“Dalam modeling yang kami lakukan, penetrasi energi terbarukan yang lebih besar pada jaringan selain berkontribusi pada penurunan emisi GRK, juga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Kesimpulan kami adalah pertumbuhan ekonomi tidak harus mengorbankan upaya penurunan emisi,” katanya.  

Shahnaz menambahkan bahwa peningkatan energi terbarukan saja belum cukup, pemerintah perlu mereformasi kelembagaan dan kebijakan yang terintegrasi. Artinya, menetapkan peta jalan pensiun PLTU yang transparan dan selaras dengan Perpres 112/2022. 

Share on :