Indonesia Perlu Genjot Dekarbonisasi Industri demi Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

Jakarta, 2 Desember 2025 – Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat melaju hingga 8 persen dalam beberapa tahun ke depan. Menanggapi hal tersebut, Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer (CEO) Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan terdapat satu syarat yang tidak bisa ditawar pertumbuhan 8 persen tidak akan tercapai tanpa intervensi rendah karbon di sektor industri. Hal ini dikatakan Fabby dalam SCG ESG Symposium 2025 Indonesia mengangkat tema “Decarbonizing for Our Sustainable Tomorrow” di Jakarta pada Selasa (2/12). 

Fabby menegaskan, dalam skenario business as usual (BAU), permintaan terhadap produk manufaktur Indonesia mulai dari semen, baja, kimia, hingga otomotif—akan melonjak signifikan pada 2050. Data IESR menunjukkan bahwa produksi baja naik 2,2 kali, produksi pupuk naik 2,3 kali, produksi metanol naik 3 kali, dan produksi gula naik 2,8 kali.

“Lonjakan kebutuhan ini otomatis memicu kenaikan emisi industri. Bila tidak ada upaya dekarbonisasi, emisi industri akan meningkat 107 persen, dari 154 juta ton CO₂ pada 2023 menjadi 319 juta ton CO₂ pada 2050.  Kenaikan emisi sebesar ini tidak hanya membahayakan lingkungan, tetapi juga menaikkan biaya energi industri, memperburuk kualitas udara, menurunkan daya saing produk ekspor karena regulasi karbon global semakin ketat. Dengan kata lain, tanpa transformasi energi, industri Indonesia bisa tertinggal jauh dari pesaing global,” ujar Fabby. 

Lebih lanjut Fabby menyatakan, pertumbuhan ekonomi tinggi hanya mungkin dicapai melalui transformasi struktural yang menggabungkan efisiensi energi, pemanfaatan energi terbarukan, pemutakhiran proses industri, pengurangan intensitas karbon. Tanpa itu, ekonomi Indonesia akan tertahan di jalur BAU yang pertumbuhannya lebih rendah, bahkan bisa stagnan karena tekanan iklim, biaya energi, dan standar perdagangan internasional.

Untuk itu, kata Fabby, Indonesia perlu menjalankan implementasi Peta Jalan Dekarbonisasi, yang menunjukkan lima strategi utama yang harus segera diterapkan industri. Pertama, mengganti listrik berbasis batubara dengan energi terbarukan seperti surya dan angin. Industri pupuk, baja, dan kimia bahkan memerlukan elektrifikasi hingga skala masif. Kedua, beralih dari diesel ke biofuel, atau dari gas ke hidrogen. Ketiga, menghemat penggunaan energi dan bahan baku melalui teknologi proses yang lebih baik. Keempat, pembaruan proses produksi. Misalnya saja  mengganti teknologi blast furnace (BF-BOF) pada baja menjadi DRI-EAF yang lebih rendah emisi. Kelima, menggunakan teknologi penangkap dan penyimpan karbon untuk sektor yang tidak bisa dikurangi langsung emisinya. 

“Untuk menjalankan strategi ini, industri membutuhkan total investasi USD 260 miliar sampai 2050, dengan kebutuhan terbesar datang dari industri pupuk dan program elektrifikasi .Angka besar ini bukan beban, tetapi peluang ekonomi baru karena industri hijau membuka pasar ekspor bernilai tinggi, menarik investasi internasional, menciptakan lapangan kerja baru berbasis teknologi, menurunkan biaya energi jangka panjang. Justru tanpa investasi ini, industri Indonesia berisiko tertinggal dari negara yang lebih dahulu melakukan transformasi energi,” tegas Fabby.

Share on :