Energi fosil telah menjadi fondasi dari sistem energi, pertumbuhan ekonomi, dan gaya hidup modern. Eksploitasi dari bahan bakar fosil telah mendongkrak penggunaan energi global menjadi lima puluh kali lipat dalam dua abad terakhir. Hal tersebut dimulai dari era revolusi industri pada abad ke-19 dengan peralihan penggunaan sumber energi dari biomassa ke batu bara sebagai bahan bakar mesin uap. Selanjutnya, pemanfaatan minyak bumi sebagai bahan bakar alternatif selain batu bara menjadikan gelombang transformasi energi kedua di abad ke-20. Sejak saat itu, kendali atas produksi dan perdagangan energi fosil (minyak bumi, gas alam, dan batu bara) menjadi fitur utama politik kekuasaan, sekaligus membuat peta lanskap geopolitik energi global yang didominasi oleh negara-negara yang memiliki cadangan energi fosil.
Transformasi energi yang saat ini didorong oleh perkembangan energi terbarukan yang sangat pesat, dapat membawa perubahan radikal dalam ruang lingkup dan dampak dari geopolitik yang sudah terbangun selama ini. Pada tahun 2018 lalu, penambahan kapasitas terpasang energi terbarukan secara global sebesar 181 GW, hampir dua kali lipat dari penambahan kapasitas terpasang pembangkit fosil dan nuklir. Mengutip laporan REN21, tahun 2018 menjadi tahun keempat berturut-turut untuk energi terbarukan menambah lebih dari 50% dari total kapasitas pembangkit tambahan di dunia. Lebih lanjut, Bloomberg New Energy Finance (BNEF) melaporkan bahwa investasi energi bersih di negara berkembang (US$ 152,8 miliar) melebihi negara maju (US$ 131,6 miliar). Dalam hal efisiensi energi, penghematan energi untuk peralatan dan bangunan telah menjadi norma dan standar global untuk mengurangi pertumbuhan konsumsi energi.
Laporan yang dirilis oleh International Renewable Energy Agency (IRENA) dan Global Commission on the Geopolitics of Energy Transformation bulan Januari 2019 lalu mengonfirmasi diskursus tersebut. Laporan ini mengemukakan bahwa transformasi energi global yang sedang berlangsung dan didorong oleh energi terbarukan akan memiliki implikasi geopolitik yang signifikan. Transformasi yang akan membentuk kembali hubungan antara negara‐negara dan menyebabkan perubahan struktural mendasar dalam ekonomi dan masyarakat.
Dunia yang akan muncul dari transisi energi terbarukan akan sangat berbeda dari dunia yang dibangun di atas dasar bahan bakar fosil. Mengapa? Pertama, sumber energi terbarukan tersebar hampir diseluruh negara, tidak seperti bahan bakar fosil yang terkonsentrasi di beberapa negara saja. Hal ini tentu akan merubah peta suplai dan perdagangan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan gas secara global. Kedua, sebagian besar energi terbarukan dapat terus mengalir. Sementara itu, bahan bakar fosil berbentuk cadangan, sehingga stok energi fosil hanya dapat digunakan sekali. Sebaliknya, energi terbarukan alirannya tidak akan habis dan lebih sulit untuk diganggu. Ketiga, sumber energi terbarukan dapat diperbarui dan dapat digunakan pada hampir semua skala dan terdesentralisasi. Ini menambah efek demokratisasi dari energi terbarukan yang tentunya akan merubah bagaimana kita memproduksi dan menggunakan energi. Terakhir, sumber energi terbarukan memiliki biaya marginal yang hampir nol, dan beberapa di antaranya, seperti matahari dan angin, menikmati pengurangan biaya hampir 20% untuk setiap penggandaan kapasitas. Ini meningkatkan kemampuan energi terbarukan dalam mendorong perubahan yang tentunya perlu tetap membutuhkan regulasi yang mendukung untuk memastikan stabilitas dan profitabilitas di sektor ketenagalistrikan.
Dalam rangka membahas dan mendiskusikan lebih lanjut mengenai geopolitk transformasi energi dan konteks Indonesia didalamnya, Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) menyelenggarakan mini seminar geopolitik transformasi energi bersama Dr. Mari Elka Pangestu, salah satu Anggota Komisi Global Commission on the Geopolitics of Energy Transformation sekaligus salah satu kontributor laporan tersebut. Acara yang diselenggarakan pada 31 Juli 2019, bertempat di Bimasena Lounge, Jakarta ini, turut ini dihadiri oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Muhammad Jusuf Kalla, yang membuka sekaligus memberikan Keynote Speech dengan menekankan pentingnya untuk membangun energi terbarukan dalam rangka menjaga ketahanan energi nasional.
Jusuf Kalla menyadari pentingnya Indonesia melakukan transisi menuju energi terbarukan. Dalam pidatonya, Ia menyampaikan bahwa energi menjadi bagian dari kekuatan politik suatu negara. Jusuf Kalla kemudian mencontohkan dinamika geopolitik dari energi fosil, khususnya minyak bumi, yang cukup fluktuatif di tahun 1970-an akibat konflik di jazirah Arab yang menyebabkan harga minyak bumi melejit hingga 10 kali lipat. Minyak bumi yang awalnya hanya digunakan sebagai sumber energi, sejak saat itu telah menjadi faktor penentu politik dunia.
Dalam menutup pidatonya, Jusuf Kalla menegaskan bahwa Indonesia perlu beradaptasi dengan mengembangkan energi terbarukan untuk menjamin ketahanan energi nasional ke depan. Tidak hanya itu, kita juga perlu bersiap untuk menghadapi perubahan dinamika di peta geopolitik dunia yang baru dari transformasi energi terbarukan yang akan menggeser era energi fosil ke depan. Pembangunan energi terbarukan juga akan bermanfaat bagi pengurangan polusi lingkungan yang juga menjadi perhatian dunia saat ini. Dengan potensi energi terbarukan yang melimpah di nusantara, kita bisa melepaskan diri dari ketergantungan bahan bakar fosil yang selama ini diimpor.
Dalam infografis Potensi dan Kapasitas Terpasang Energi Terbarukan Indonesia Tahun 2018 yang IESR rilis akhir Maret 2019, Indonesia baru membangun pembangkit energi terbarukan sekitar 6,8 GW dari 431,7 GW potensi totalnya (atau baru sekitar 1,6%). Hingga tahun 2028, akan ada penambahan sekitar 29 GW oleh PLN berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2018. Sementara itu, Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang disusun oleh 34 pemerintah provinsi mengindikasikan total kapasitas terpasang energi terbarukan pada tahun 2025 mencapai 48 GW. Sehingga apabila rencana pembangunan tersebut terealisasikan semua, diperkirakan total pembangkit energi terbarukan terpasang nasional ditahun 2028 mencapai 84 GW, atau hampir 1,5 kali dari total kapasitas pembangkit listrik terpasang saat ini.
Pada pembukaan sebelumnya, Ketua Dewan Pengarah ICEF, Prof. Dr. Kuntoro Mangkusubroto, juga menekankan bahwa energi terbarukan saat ini menjadi isu yang besar yang berpotensi mengubah peta geopolitik energi dunia. Kemajuan teknologi dan penurunan biaya teknologi membuat energi terbarukan tumbuh lebih cepat daripada sumber energi lainnya. Bahkan, beberapa teknologi energi terbarukan, seperti surya dan bayu, sudah kompetitif dengan bahan bakar fosil di sektor ketenagalistrikan. Terlebih, daya saing tersebut belum memperhitungkan kontribusi energi terbarukan dalam mengurangi polusi udara dan mencegah dampak perubahan iklim sehingga sudah menjadi suatu fakta umum bahwa energi terbarukan telah menjadi lanskap energi global.
Keadaan dan tren ini menciptakan momentum transformasi energi global yang tidak dapat terelakkan. Lonjakan peningkatan kapasitas energi terbarukan dari angin, matahari, dan teknologi energi terbarukan lainnya di sektor pembangkit listrik memungkinkan transformasi serupa di sektor lain. Kendaraan listrik dan pompa panas memperluas penggunaan energi terbarukan di sektor transportasi, industri dan bangunan. Inovasi dalam digitalisasi dan penyimpanan energi juga memperluas potensi energi terbarukan untuk berkembang dengan cara yang tak terbayangkan pada satu dekade lalu.
Hal ini sejalan dengan salah satu materi dalam laporan IRENA yang dipaparkan oleh Mari Elka Pangestu terkait dengan kerangka transformasi energi global. Secara umum, momentum transformasi energi global dapat dirangkum ke dalam tiga lini masa. Pertama, terjadinya lonjakan pertumbuhan energi terbarukan yang saat ini sedang terjadi sejak tahun 2015 silam. Kedua, bersamaan dengan peningkatan pemanfaatan energi terbarukan tersebut, permintaan energi dari bahan bakar fosil akan mencapai puncaknya dalam beberapa tahun ke depan – dalam laporan tersebut diperkirakan terjadi di tahun 2025. Selanjutnya, energi terbarukan akan mendominasi energi fosil di tahun 2050 yang secara global akan terus berkurang setelah melewati puncak permintaannya. Skenario lini masa tersebut merupakan skenario yang akan terjadi apabila seluruh negara menjalankan komitmen dan aksi mitigasinya sesuai dengan Perjanjian Paris.
Mari Elka Pangestu dalam paparannya juga menggarisbawahi tiga aspek utama yang menjadi karakter dari transisi energi: elektrifikasi, efisiensi energi, dan energi terbarukan. Peningkatan elektrifikasi di seluruh sektor menjadikan ketenagalistrikan sebagai sektor yang tumbuh paling cepat – tumbuh dua pertiga lebih cepat dari konsumsi energi secara keseluruhan sejak tahun 2000. Segmen yang saat ini menyumbang 19% dari total konsumsi energi final, diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan elektrifikasi di sektor pengguna akhir. Efisiensi energi memungkinkan pertumbuhan ekonomi dengan input energi yang lebih rendah. Dalam beberapa dekade terakhir, peningkatan efisiensi energi telah memutus hubungan ini. Permintaan energi primer sekarang diperkirakan akan tumbuh sebesar 1% per tahun pada periode hingga 2040. Pertumbuhan energi terbarukan yang sangat cepat, terutama dari energi matahari dan angin, mendorong keekonomian dari teknologi energi terbarukan dan sistem penyimpanan energi yang semakin murah. Hal ini menjadikan teknologi energi terbarukan menjadi semakin kompetitif, bahkan sudah dapat menggantikan energi fosil sebagai pembangkit listrik dengan biaya termurah di beberapa negara di dunia.
Akselerasi pembangunan energi terbarukan telah menggerakkan transformasi energi global yang akan memiliki konsekuensi geopolitik yang mendalam. Seperti halnya bahan bakar fosil telah membentuk peta geopolitik selama dua abad terakhir, transformasi energi dari energi terbarukan akan mengubah distribusi kekuatan global, hubungan antar negara, risiko konflik, dan penggerak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari ketidakstabilan geopolitik. Transformasi ini akan memiliki implikasi yang besar dalam ruang lingkup dan dampak di aspek sosial, ekonomi, dan politik yang melampaui sektor energi.
Setelah paparan kunci dari Mari Elka Pangestu, seminar dilanjutkan dengan diskusi panel yang dipimpin oleh Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa bersama para pemangku kebijakan yang berasal dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pengamat Politik, dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI). Dihadiri oleh sedikitnya seratus peserta yang terdiri dari pihak swasta, pengusaha, akademisi hingga mahasiswa, mini seminar geopolitik transformasi energi berhasil membuka ruang untuk menjadikan topik transisi energi didiskusikan menjadi lebih inklusif, mendalam dan relevan.
Dalam sesinya, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kemenko Perekonomian, Dr. Montty Girianna, menegaskan bahwa transformasi energi adalah suatu keniscayaan dan energi terbarukan akan menjadi salah satu tulang punggung Indonesia dalam mencapai ketahanan energi nasional. Untuk itu, adanya konsensus dan pelibatan pihak swasta dalam pencapaian target komitmen Perjanjian Paris menjadi penting. Transformasi energi yang diinduksi oleh inovasi dalam negeri juga diharapkan dapat meminimalisir terjadinya disrupsi pada sistem energi di tanah air.
Husni Safruddin, Kepala Sub Direktorat Penyiapan Program Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM, merespons diskusi dengan menjelaskan bahwa dalam peta jalan pengembangan energi terbarukan nasional, Indonesia bertumpu pada potensi air dan panas buminya. Adapun dalam merealisasikannya, tantangan yang teridentifikasi saat ini adalah harga teknologi surya dan bayu yang masih mahal di Indonesia, serta pembangunan pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi yang cukup memakan waktu. Disisi lain, pemerintah juga memiliki pandangan untuk menggunakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebagai instrumen dalam menekan impor bahan baku teknologi energi terbarukan.
Terkait dengan potensi batu bara dalam negeri yang juga berlimpah, Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif APBI, mengusulkan bahwa sumber energi ini harus dimanfaatkan dengan baik dan bijak agar transisi energi yang dilakukan di Indonesia bisa sejalan dengan karakteristik potensi energi nasional yang tidak hanya berlimpah dari energi terbarukan saja. Perlu adanya kajian transisi energi dari energi fosil ke terbarukan yang terintegrasi agar bisa berjalan dengan harmonis, dan dapat dilakukan dengan Indonesian way.
Dari perspektif geopolitik, Dr. Mahmud Syaltout, salah satu pengajar di Paramadina Graduate School of Diplomacy, menambahkan bahwa Indonesia dapat turut serta dalam transformasi energi global yang sedang berlangsung dengan memanfaatkan potensi sumber daya mineral dalam negeri (seperti timah, tembaga, dan aluminium) untuk mendukung rantai pasok global teknologi pendukung energi terbarukan dan sistem penyimpanan energi. Sehingga diplomasi kedalam dan keluar negeri perlu dilakukan dan menjadi agenda pemerintah kedepan.
Fabby Tumiwa menutup diskusi dengan menyimpulkan tiga hal utama untuk Indonesia dalam merespon dan turut serta dalam proses transformasi energi global menuju energi bersih. Pertama, komitmen politis dan kepemimpinan dari presiden dan menteri terkait yang didukung dengan inovasi diperlukan dalam mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Kedua, perlun adanya ekosistem pendukung yang terdiri dari kebijakan dan regulasi yang tepat, insentif pendanaan, dorongan berinovasi melalui riset dan pengembangan, serta peta jalan industri yang jelas. Terakhir, diplomasi Indonesia dengan negara-negara Selatan untuk menjadi bagian dari rantai pasok global.
Jannata Giwangkara, Gandabhaskara Saputra, dan Melina Gabriella melaporkan untuk Mini Seminar Geopolitik Transformasi Energi: Peluang & Tantangan Indonesia dalam Geopolitik Transformasi Energi Global.
Materi presentasi Mari Elka Pangestu dapat diakses disini: