Kementerian ESDM dan IESR Gelar Sosialisasi PLTS Atap: Tingkatkan Geliat Sektor Industri di Jabodetabek untuk Memanfaatkan Energi Terbarukan
Bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Sosialisasi dan Diskusi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap untuk sektor industri, 29 Januari 2020 lalu di Kota Bekasi, Jawa Barat. Acara ini diikuti oleh lebih dari 40 peserta yang berasal dari Bappeda, Pelaku Bisnis dan Kawasan Industri se-Jabodetabek.
Energi surya merupakan jenis energi terbarukan yang mudah untuk diaplikasikan dalam beragam skala dan di berbagai lokasi, baik terpasang di atap atau pun di atas tanah (ground-mounted). Desain sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang bersifat modular membuatnya mudah untuk disesuaikan dengan kebutuhan pengguna, mulai dari konsumen rumah tangga, bisnis, pemerintah, dan industri. Salah satu sektor yang dapat memanfaatkan PLTS atap dengan optimal adalah sektor industri, mengingat sektor ini sangat energy-intensive dengan profil beban yang cukup merata sepanjang hari. Dengan memasang PLTS atap, pelaku industri dapat menggantikan kebutuhan listriknya, utamanya di siang hari, yang sebelumnya bersumber dari energi fosil menjadi energi terbarukan.
Dalam sambutannya, Kasubdit Implementasi Pengembangan Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) Dirjen EBTKE, Pandu Ismutadi, menyampaikan pentingnya pemanfaatan energi baru dan terbarukan sebagai aksi mitigasi perubahan iklim yang telah menjadi komitmen pemerintah semenjak meratifikasi Paris Agreement. Pemerintah sendiri memiliki target 23% bauran EBT untuk energi primer di tahun 2025, namun hingga semester 1 2019, realisasinya baru mencapai 8,85%. Pandu juga menyampaikan bahwa minat masyarakat, termasuk industri, terhadap PLTS atap kian meningkat setiap tahunnya sehingga pemerintah pun berusaha mengakomodasi hal tersebut dengan menerbitkan regulasi yang mendukung. Harapannya, peran strategis industri menuju pemanfaatan energi terbarukan yang mandiri dan berkelanjutan akan meningkatkan profit perusahaan dan berperan serta dalam kemandirian energi nasional.
Acara sosialisasi dan diskusi ini dibagi menjadi dua sesi: sesi pertama menghadirkan Mustaba Ari Suryoko dari Direktorat Aneka Energi (Ditjen EBTKE) KESDM, Sigit Cahyo Astoro dari Ditjen Ketenagalistrikan KESDM, dan Pratiwi dari PLN Jawa Barat; sedangkan sesi kedua menghadirkan Fabby Tumiwa dari IESR dan Stevan Andrianus dari Danone.
Diskusi pada sesi pertama menekankan pada regulasi yang langsung menyasar pelaku industri, seperti Permen ESDM No. 13/2019 dan No. 16/2019 sebagai revisi Permen ESDM No. 49/2018 yang mengubah persyaratan terkait Sertifikat Laik Operasi (SLO), Izin Operasi (IO), capacity charge, dan emergency charge; guna mendorong pemanfaatan PLTS atap secara masif di sektor industri. Sesi ini juga membahas lebih detail mengenai prosedur dan persyaratan pemasangan PLTS atap serta simulasi pengurangan tagihan PLN untuk pelanggan PLN yang memasang PLTS atap. Dalam diskusi, beragam pertanyaan muncul dari para pelaku industri seputar kendala-kendala yang dihadapi terkait prosedur dan implementasi di lapangan yang berhubungan dengan kewenangan PLN pusat dan regional, seperti kendala penyediaan kWh meter, SLO, dan kapasitas pembangkit yang dikenakan capacity charge. Menanggapi hal tersebut, perwakilan KESDM maupun PLN mengatakan bahwa permen yang sudah dikeluarkan dan peraturan turunan dari Direksi PLN sudah ada; tantangan di lapangan mencakup pemahaman dan kesiapan PLN regional untuk pelaksanaannya karena sistem PLTS atap ini adalah sesuatu yang baru.
Dalam sesi berikutnya yang diisi oleh pihak non-pemerintah, yaitu IESR dan Danone, pembahasan terfokus pada potensi energi surya yang sangat besar di Indonesia namun belum dioptimalkan, berbagai program dan strategi yang dapat diimplementasikan untuk mempercepat pengembangan energi surya seperti program Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA), serta pengalaman langsung pelaku industri yang sudah menggunakan PLTS Atap.
“Indonesia memiliki ribuan industri dan lebih banyak lagi bangunan, dan karenanya memiliki potensi pemanfaatan PLTS atap yang tinggi. Karenanya sejak 2017, IESR bersama dengan beberapa pihak, di antaranya Kementerian ESDM, BPPT, Kemenperin, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), dan Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI) menginisiasi Gerakan Nasional Sejuta Atap (GNSSA) yang bertujuan untuk mendorong penetrasi energi surya hingga 1 GW pada tahun 2020; yang aaat ini baru mencapai 150 MW,” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyampaikan dalam paparannya.
“Sektor rumah tangga yang menggunakan PLTS atap hingga saat ini mencapai 1.700 pelanggan. Minat dari sektor industri baru menggeliat dalam 3 bulan terakhir setelah ada revisi dari Permen ESDM No. 49/2018 yang tertuang dalam Permen ESDM No. 16/2019,” lanjut Fabby.
Dalam sesi diskusi, ketertarikan peserta tertuju pada model bisnis untuk pelaku industri dalam menggunakan PLTS yang kemudian ditanggapi oleh Stevan Andrianus, Sr. Technovation Manager (Danone Aqua), yang menjelaskan bahwa model bisnis yang digunakan pelaku industri dapat berupa modal sendiri atau dengan skema leasing (sewa). Model bisnis ini tentu disesuaikan dengan kemampuan finansial perusahaan dan prosedur internal, misalnya kepemilikan aset. Selain model bisnis, penanganan limbah panel surya juga menjadi topik pembahasan pada sesi ini. Fabby menjelaskan bahwa beberapa negara sudah memiliki fasilitas pengolahan limbah elektronik dari modul surya. Meski saat ini untuk konteks Indonesia hal ini belum menjadi isu, Fabby menekankan bahwa pengolahan limbah yang berkelanjutan juga harus menjadi pertimbangan yang serius.
Untuk mendorong pencapaian target GNSSA dan target pengembangan energi terbarukan sesuai Kebijakan Energi nasional, IESR juga merekomendasikan strategi pengembangan ekosistem Program Surya Nasional kepada pemangku kebijakan, meliputi dukungan kebijakan dan regulasi (misalnya sertifikat energi terbarukan), penguatan kelembagaan pihak-pihak terkait, desain dan standarisasi produk, pengujian produk dan labelling, pengembangan kapasitas dan pelatihan, penjangkauan dan peningkatan kesadaran masyarakat, serta mekanisme pembiayaan yang bervariasi untuk berbagai sektor.
##
Materi presentasi dapat diunduh di: