Krisis iklim telah menjadi isu mendesak untuk berbagai negara di dunia, dan tujuan pembangunan berkelanjutan menjadi agenda global untuk mengatasi dampak krisis iklim dan memastikan keberlanjutan bumi. Agenda global ini mensyaratkan keterlibatan aktif semua pihak, termasuk perempuan. Mengundang 6 perempuan dari berbagai latar belakang untuk berbagi kisah kontribusi mereka dalam isu keberlanjutan, IESR menyelenggarakan Pojok Energi Sustainable Ladies pada 20 Mei 2020 lalu. Keenam narasumber tersebut adalah Ratna Susianawati, Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi Pembangunan Kementerian PPPA; Tirza R. Munusamy, Deputy Director of Public Affairs Grab Indonesia; Lia Zakiyyah, Climate Leader Indonesia Climate Reality Project; Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia; Chandra Kirana, Pendiri dan Direktur Yayasan Sekar Kawung dan Hapsari Damayanti, Patriot Energi Angkatan II, Program Officer Sustainable Energy Access, IESR.
Diskusi daring ini dilaksanakan untuk memberikan rekomendasi pada pemangku kepentingan dan pihak-pihak terkait untuk pembangunan berkelanjutan yang berorientasi gender, juga untuk membagikan cerita dan pengalaman terbaik yang dimiliki oleh para narasumber pada publik.
Fabby Tumiwa selaku Direktur Eksekutif IESR menyampaikan bahwa isu keberlanjutan merupakan isu yang kompleks. Keberlanjutan memiliki konteks pemenuhan kebutuhan hidup hari ini dengan mempertimbangkan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Secara teori, terdapat tiga pilar sustainability atau keberlanjutan yang harus berjalan serasi, yakni lingkungan, ekonomi dan sosial. Fabby berharap diskusi ini dapat menggali peran perempuan untuk memastikan pembangunan berkelanjutan yang inklusif.
Ratna Susianawati selaku Staf Ahli Menteri PPPA Bidang Komunikasi Pembangunan menjelaskan bahwa isu energi, lingkungan, dan perubahan iklim telah diangkat sebagai isu mendasar keberlanjutan bumi yang menjadi sorotan dunia internasional. Pada tahun 2015, PBB telah menetapkan isu tersebut sebagai bagian dari target SDGs (Sustainable Development Goals) tahun 2030. Target-target yang ditetapkan di antaranya adalah kesetaraan gender, juga untuk pemenuhan energi universal (save energy for all), dan penurunan emisi global. Dalam SDGs ini pula, peran perempuan sangat penting, tidak sebagai sasaran, juga sebagai pelaku aktif.
Ratna Susanawati menggarisbawahi alasan pentingnya peranan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan.Prinsip SDGs adalah memastikan ‘no one left behind’, tidak boleh ada satupun kelompok masyarakat yang tertinggal. Artinya, tidak hanya lelaki dan perempuan saja, tetapi juga inklusi sosial, dengan menargetkan juga anak, lansia, disabilitas dan kelompok marginal lainnya.
Peran perempuan dalam isu energi juga tidak hanya sebagai penerima manfaat atau yang merasakan dampak terbesar dari pengelolaan energi dan perubahan iklim. Perempuan juga perlu diberikan aksesibilitas agar terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga perempuan merasakan manfaat yang adil dan setara. Ratna menggarisbawahi dampak sosial dan kesehatan bagi perempuan karena ketiadaan atau adanya akses energi. Dampak sosial ketika ada kemiskinan energi dan pengelolaan perubahan iklim yang tidak melibatkan perempuan salah satunya adalah kekerasan bagi perempuan dan anak. Dari segi kesehatan, WHO juga menemukan bahwa dampak yang dirasakan perempuan dan anak adalah dengan energi memasak yang kurang bersih adalah infeksi saluran pernapasan akut.
Sependapat dengan Ratna, Mike Verawati selaku Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia menganalogikan bumi layaknya seorang perempuan. Bumi memiliki sifat mengadakan, melindungi, menyediakan, dan menyelaraskan; sehingga bumi dan perempuan punya ikatan yang kuat.
Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), ketika bicara tentang keberlanjutan bumi, lingkungan, perubahan iklim; dalam penerapannya di lapangan, pengelolaan pembangunan lingkungan selama ini justru mengeliminir prinsip-prinsip perempuan dalam kesehariannya. Pembangunan selama ini dilakukan secara maskulin, di mana sifatnya menjadi menguasai, mendominasi, dan praktek-prakteknya menjadi mengeruk sebanyak-banyaknya, mengeksploitasi tanpa melihat dampak dari kebijakan.
Mike mengatakan pembangunan akan memberikan dampak besar bagi perempuan, namun keterlibatan perempuan dalam kebijakan masih minim. Karenanya, diperlukan dukungan terhadap program-program yang tidak mengabaikan keterlibatan perempuan. Prinsip anti diskriminasi, prinsip affirmative action untuk perempuan harus bisa diimplementasikan dan bukan hanya di atas kertas saja.
Mike juga menegaskan bahwa pembangunan saat ini harus berdasarkan keberagaman gender, tidak hanya terbatas pada laki-laki dan perempuan, namun juga mempertimbangkan perjalanan manusia yang tinggal di muka bumi ini, mulai dari manusia yang baru lahir hingga lansia yang punya pengalaman atau tantangan hidup yang berbeda. KPI selama ini sudah mencatat banyak perempuan yang telah sadar akan isu lingkungan. Banyak komunitas perempuan yang tertarik pada isu lingkungan dan melakukan kegiatan seperti mengolah sampah menjadi kompos, mengadakan bank sampah dan mereka juga melakukan identifikasi jenis-jenis energi pengganti.
Chandra Kirana selaku Pendiri dan Direktur Yayasan Sekar Kawung juga menyatakan bahwa pembangunan yang terjadi selama ini sangat bias kepada sifat-sifat maskulin dari peradaban. Pembangunan yang diamatinya bukan hanya gender laki-laki ataupun perempuan, namun juga gender peradaban. Peradaban memiliki nilai-nilai dan sifatnya sendiri. Agar hidup terus berlanjut maka diperlukan sifat memelihara, mengasihi, mendengarkan, memberi ruang kepada semua. Proses industrialisasi yang terjadi selama ini, menurut Chandra, memiliki sifat meretas dan menghancurkan, misalnya hampir semua proses produksi dan konsumsi dilandaskan pada satu perilaku awal yakni mengekstraksi dari bumi. Saat ini dan untuk masa depan, proses industrialisasi perlu ditinjau kembali dan dicari cara agar lebih sustainable.
Chandra memberikan usulan kepada pembuat kebijakan dan pelaku industri agar memperhatikan keanekaragaman hayati dan keragaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Ketika akan dilakukan pembangunan maka perlu diteliti terlebih dahulu elemen keanekaragaman hayati apa sajakah yang paling banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan perempuan dan laki-laki.
Dalam diskusi daring ini, IESR ini juga menghadirkan narasumber dari pihak swasta, yang diwakili oleh Tirza R. Munusamy dari Grab Indonesia. Sebagai perempuan yang bekerja di sektor bisnis, Tirza menerangkan bahwa sebagai perusahaan, Grab Indonesia juga memandang bahwa sustainable development penting dan karenanya hanya mengimplementasikan kebijakan yang memiliki agenda berkelanjutan. Grab Indonesia telah melakukan inisiasi lingkungan yang dikenal dengan “langkah hijau”, yaitu inisiatif terkait plastik, emisi karbon, dan transportasi pribadi. Saat ini Grab Indonesia bekerjasama dengan Danone untuk Program Grab Recycle, yaitu memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk mengirimkan botol bekas plastik. Selain itu, Grab Indonesia juga bekerjasama dengan puluhan bank sampah yang ada di DKI Jakarta. Untuk layanan pengantaran makanan, Grab Indonesia mendorong tidak tersedianya plastic cutlery bagi semua vendornya, dan mengenakan biaya tambahan bagi pelanggan yang tetap ingin menggunakan alat-alat makan berbahan plastik. Program percontohan kendaraan listrik juga telah diluncurkan Grab Indonesia pada Desember 2019.
Menurut Lia Zakiyyah sebagai Climate Leader Indonesia, Climate Reality Project, isu perubahan iklim ini memang erat kaitannya dengan perempuan. Lia mengatakan ada anggapan bahwa ‘being green is being girly’. Banyak sifat-sifat dari seorang perempuan yang berhubungan dengan kegiatan menjaga lingkungan. Paris Agreement pun juga menegaskan bahwa peran gender sangat penting. Lia menyebutkan ada satu gerakan global yang menyatakan bahwa salah satu aksi mitigasi perubahan iklim yang paling efektif adalah mengedukasi perempuan. Semakin besar pendapatan dan pendidikan perempuan, maka mereka berhak akan pekerjaan yang layak dan menjadikan mereka semakin berdaya untuk membantu menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca dan meningkatkan ketahanan mereka dalam menghadapi bencana.
Lia sependapat dengan narasumber lainnya bahwa perempuan perlu dilibatkan dalam beberapa aspek, seperti penyebaran informasi di desa, pengambilan kebijakan dan keputusan; yang saat ini masih perlu didorong mengingat akses perempuan pada informasi dan pengambilan keputusan ini masih belum terbuka. Kini, Lia Zakiyyah bersama Climate Reality Project terus bergerak untuk mengedukasi anak-anak muda di seluruh Indonesia agar bisa menjadi agen perubahan yang bisa membawa isu perubahan iklim kepada teman sebayanya dan komunitasnya.
Hapsari Damayanti, Patriot Energi Angkatan II dan Program Officer Sustainable Energy Access di IESR, menyimpulkan bahwa masalah energi tidak bisa diselesaikan hanya dengan melihat dari ada atau tidaknya sumber energi saja. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keberlangsungan bumi, penyediaan akses energi harus terintegrasi dengan sektor lingkungan, konteks sosial-budaya dan ekonomi; sehingga dampak berkelanjutan yang diterima masyarakat tidak dilihat dari akses energi saja, juga manfaatnya secara luas di masa depan. Dari pengalamannya mendampingi masyarakat, Hapsari melihat bahwa pelibatan perempuan sering menjadi tantangan, dan karenanya perlu terus didorong untuk bisa mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan inklusif.
Diskusi ini bisa disaksikan kembali di tautan berikut: