Energi konvensional yang bersumber dari batu bara hingga kini masih menjadi pilihan utama pemerintah untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Pasalnya, energi terbarukan kerap diklaim mahal dan sulit diterapkan. Praktik baik masyarakat dalam menerapkan energi terbarukan serta riset dunia mematahkan klaim itu. Berikut laporan wartawan Harian Jogja Bhekti Suryani.
Sudah dua tahun Istiyah membuka usaha penjahitan pakaian menggunakan mesin jahit elektrik. Ia tak pernah pusing dengan biaya produksi yang harus ia keluarkan terutama untuk membayar listrik. Perempuan 45 tahun itu hanya cukup merogoh kocek senilai Rp7.000 per 35 hari (selapanan dalam tradisi Jawa), untuk membayar jasa listrik dari usahanya menjahit.
Uang sebesar itu bahkan cukup memenuhi kebutuhan listrik di rumahnya di Dusun Kedungrong, Purwoharjo, Samigaluh, Kulonprogo, seperti lampu penerangan, menghidupkan pompa air dan lainnya. Sama seperti Istiyah, warga lainnya di Dusun Kedungrong cuma perlu membayar biaya listrik Rp7.000 untuk berbagai usaha seperti bengkel las, penetasan telur, hingga 30 lampu penerangan jalan di Kedungrong. Harga listrik yang murah itu berkat Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang beroperasi di Kedungrong.
“Di dalam rumah ini ada dua jaringan listrik, satu jaringan PLTMH, satu lagi listrik dari PLN,” tutur Istiyah ditemui, Minggu (22/9/2019) lalu.
Istiyah, menjahit menggunakan mesin jahit elektrik yang ditopang PLTMH./Harian Jogja-Bhekti Suryani
Selain Istiyah, ada 30 lebih keluarga lainnya di Kedungrong yang sudah merasakan manfaat listrik dari mikrohidro atau sekitar 90% dari total 46 keluarga di Kedungrong.
“Kalau listrik PLN mati, kami enggak khawatir. Di sini kalau musim hujan listrik PLN sering mati, kami santai karena listrik kami selalu menyala,” kata Suhadi, Ketua Komunitas PLTMH Kedungrong. Listrik murah itu bisa dirasakan warga sejak 2012. Berawal dari kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) UGM pada 2011.
Sekelompok mahasiswa melakukan uji coba penerapan pembangkit listrik dengan tenaga air. Kebetulan Kedungrong dilintasi irigasi Kalibawang yang berhulu di Sungai Progo. Air melimpah dari irigasi itu menggerakkan turbin yang berguna menghidupkan dinamo dan menghasilkan energi listrik.
“Awalnya 2011 belum optimal, lalu 2012 karena kami ada potensi air dan penelitian mahasiswa itu, Dinas PU [Pekerjaan Umum Perumahan dan ESDM DIY] memberi kami bantuan mesin PLTMH. Awalnya cuma lima rumah yang pakai, sekarang sudah 90 persen warga sini pakai semua,” ungkap pria yang juga berprofesi sebagai polisi itu.
Suhadi merasakan betul manfaat PLTMH. Bila biasanya ia harus membayar listrik hingga Rp270.000 sebulan untuk keperluan rumah tangga di rumahnya, kini ia cukup membayar sekitar Rp180.000-Rp185.000 ke PLN, karena sebagian besar kebutuhan listrik di rumahnya menggunakan PLTMH.
Bendahara Komunitas PLTMH Rahmat Sutedjo yakin kapasitas PLTMH yang ada saat ini masih bisa menjangkau hingga 20-an rumah yang belum teraliri listrik PLTMH. Tak ada kendala berarti yang dirasakan warga saat menerapkan PLTMH. “Kendalanya cuma sampah di sungai, kalau sampah banyak, maka putaran turbin terganggu, listrik bisa redup. Itu biasanya kalau malam hari. Jadi warga sini kompak gotong royong membersihkan sampah,” ungkap Rahmat.
Hanya saja, kata dia, untuk keperluan seperti laptop dan kulkas serta teleivisi warga disarankan menggunakan stabilisator. Sebagian besar warga memilih tetap menggunakan PLN untuk memenuhi sebagian konsumsi energi di rumahnya bila tak mau membeli stabilisator untuk mengecas laptop atau menghidupkan kulkas.
Namun Rahmat berani berhitung, sejak PLTMH berjalan di kampungnya, 50% energi listrik dari PLN yang merupakan energi kotor batu bara bisa mereka kurangi.
Suhadi (kiri) dan Rahmat Sutedjo (kanan)./Harian Jogja-Bhekti Suryani
“Kami memang belum menghitung berapa watt listrik dari PLN yang tidak lagi dipakai warga karena beralih ke PLTMH, tapi bisa dihitung dari pengeluaran biaya listrik warga ke PLN yang berkurang rata-rata hingga 50 persen sejak menggunakan PLTMH,” jelas Rahmat.
Teknisi PLTMH Kedungrong, Rejo Andoyo, berkisah bagaimana warganya kertegantungan dengan energi terbarukan itu. “Sekarang ini kalau listrik PLN mati warga enggak ribut. Tapi kalau PLTMH terganggu sedikit saja, warga sudah ribut,” ujarnya seraya tertawa.
Harga Turun
Murahnya harga listrik dari energi baru terbarukan juga dirasakan Chico Hermanu Brilianto Apribowo, dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta yang juga peneliti energi terbarukan. Ia membantah energi terbarukan mahal seperti yang kerap digaungkan pemerintah yang pro-energi kotor batu bara. Chico memasang 10 keping panel surya di rumahnya dengan kapasitas masing-masing sebesar 300 watt peak. Panel surya itu juga digunakan menerangi jalan kampung.
“Sekarang itu komponen untuk panel surya terus turun. Satu keping atap panel surya untuk kapasitas 300 watt peak, harganya turun jauh tinggal Rp2,8 juta sampai Rp3 juta. Tiga tahun lalu harganya Rp5 juta-an,” tutur Chico.
Chico Hermanu juga merasakan murahnya biaya listrik yang harus ia keluarkan tiap bulannya.
“Saya memang masih pakai PLN, dulu sebelum pasang panel surya di rumah saya harus bayar listrik Rp300.000-an sebulan sekarang tinggal Rp200.000,” tutur dia.
Menurut Chico tren harga komponen panel surya turun sebesar 10-20% setahun karena semakin banyak pasar yang menyediakan komponen pembangkit listrik dari energi terbarukan itu.
Cuma Mitos
Mitos mahalnya energi terbarukan juga diungkapkan Ahmat Agus Setiawan, pakar energi baru terbarukan (EBT) dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam workshop Menelaah Arti Penting Energi Terbarukan di Indonesia yang digelar di Jogja belum lama ini, Ahmad Agus Setiawan membeberkan bagaimana tren global kini perlahan meninggalkan energi kotor dan beralih ke energi terbarukan.
Selain tren biaya yang lebih murah, energi terbarukan yang bersih dan ramah terhadap lingkungan menjadi impian banyak negara. Perubahan iklim yang terus memburuk akibat energi kotor juga mendorong negara-negara di dunia beralih ke energi terbarukan seperti Matahari, angin, air dan biogas.
Agus memaparkan data tren biaya energi terbarukan dari tahun ke tahun yang dilansir dari energyinnovation.org. Data tersebut menunjukkan biaya yang harus dikeluarkan untuk energi panel surya dalam ukuran megawatt-hour (MwH) pada 2009 sebesar US$359 turun menjadi hanya US$50 pada 2017. Demikian pula penggunaan energi dari angin senilai US$135 pada 2009 turun menjadi hanya US$45 pada 2017.
“Jadi cuma mitos yang digaungkan saja kalau energi terbarukan itu mahal,” tegas Ahmad Agus Setiawan.
Workshop Menelaah Arti Penting Energi Terbarukan di Indonesia yang digelar di Jogja./Harian Jogja-Bhekti Suryani
Ia menceritakan pengalaman Denmark yang dahulu menggunakan energi kotor hingga 90% kini turun tinggal 40%. Sebagian besar energi nasional di negara itu ditopang energi terbarukan baik dari angin, panel surya maupun limbah.
Indonesia, menurutnya, perlu belajar dari mereka yang sukses beralih ke energi terbarukan. Ahmad Agus tak membantah, negara-negara yang sukses seperti Denmark pernah mengalami pertarungan antara pendukung energi kotor dan energi bersih seperti halnya Indonesia.
“Kuncinya kita punya ideologi yang kuat dulu soal energi terbarukan. Kalau ideologi itu sudah kuat, kita butuh kendaraan politik yang bisa memperjuangkan itu. Tidak harus ada Partai Hijau seperti di Australia, tetapi ada politisi yang punya ideologi itu. Perlu semakin banyak politisi yang mendukung energi terbarukan,” tegas Ahmad Agus Setiawan.
Jurnalis lingkungan yang meneliti dampak energi batu bara di Indonesia, Tomi Apriando, mengungkapkan selama ini pemerintah selalu mengklaim energi terbarukan mahal sementara energi kotor murah. Padahal ada biaya yang tidak pernah dihitung pemerintah seperti kerusakan lingkungan, dampak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terhadap kesehatan serta dampaknya pada perubahan iklim yang terus memburuk.
Artikel ini menjuarai Transisi Energi Ideathon 2020 Jurnalisme Kreatif kategori In Depth Report