Ancaman perubahan iklim, krisis pasokan listrik, dan investasi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang semakin mahal merupakan beberapa faktor yang membuat Vietnam semakin serius beralih ke energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listriknya. Dalam dua tahun, Vietnam mampu meningkatkan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dari 100 MW (0,1 GW) menjadi 5 GW, hampir 50 kali lipat.
Kiat sukses Vietnam dalam mengakselerasi pengembangan energi surya ini menjadi pembelajaran menarik untuk ditiru Indonesia. Hal ini pula yang menjadi bahasan dalam seminar daring seri Gigawatt Club episode kedua yang digelar oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul Bringing Indonesia to the Gigawatt Club: Vietnam Made It, and So Can We. Narasumber di seminar ini adalah Tran Viet Nguyen, Vice Director of Business Department of Vietnam Electricity Group (EVN), Pham Nam Phong, CEO Vu Phong Solar, dan Nguyen Thi Ha, Program Manager Sustainable Energy, Green Innovation and Development Centre, Vietnam. Sementara itu, selaku penanggap hadir pula Sripeni Inten Cahyani, Tenaga Ahli Menteri Bidang Kelistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Ridha Yasser, Kepala Bidang Program dan Investasi Energi, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Kementerian Koordinasi Kemaritiman dan Investasi RI, dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Tran Viet Nguyen mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah Vietnam memudahkan Vietnam Electricity (EVN), perusahaan listrik negara Vietnam, untuk mengembangkan energi terbarukan, terutama PLTS.
“Selain memiliki target dan komitmen yang jelas, pemerintah juga mengeluarkan Keputusan 13 (Decision 13) yang memberikan insentif berupa feed-in tariff (FiT) untuk berbagai jenis pemanfaatan energi surya, baik solar farm, floating solar, dan PLTS Atap,” jelasnya.
Melalui kebijakan itu pula, tersedia sejumlah model bisnis yang bisa dipilih pengembang sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Pengguna PLTS Atap dapat membeli dan menggunakan PLTS secara mandiri (disebut sebagai skema Capex/capital expenditure) dan menjual kelebihan listrik ke EVN seharga 8,38 sen USD/kWh (level FiT untuk PLTS Atap). Sumber pembiayaan mereka bisa mandiri atau menggunakan pinjaman lunak dari bank.
Skema lainnya adalah direct/corporate power purchase agreement (direct PPA) yaitu perjanjian jual beli listrik antara perusahaan swasta penghasil listrik surya langsung pada pelanggan (pembeli) tanpa melalui EVN. Terdapat juga skema solar leasing yang memungkinkan kepemilikan pihak ketiga sehingga perusahaan swasta yang bergerak di bidang energi terbarukan atau perusahaan surya dapat berinvestasi dan memasang PLTS Atap pada pemilik fasilitas.
“Hingga kini, EVN sudah memasang sekitar 500 sistem di seluruh kantor kami, dan mulai menjalin banyak kerja sama dengan mitra lokal, kontraktor atau perusahaan EPC (engineering, procurement, and construction), serta bank atau lembaga keuangan untuk memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk berinvestasi di PLTS Atap. Pelanggan juga cukup menandatangani satu kontrak saja dengan bank atau dengan perusahaan EPC, dan mereka langsung bisa berinvestasi di PLTS Atap,” papar Nguyen.
Tidak hanya itu, pihaknya juga menyediakan informasi dan saluran konsultasi konsumen yang dapat diakses dengan mudah oleh publik, berupa platform EVNSolar.
Kemudahan informasi penyedia jasa pemasangan PLTS dan kampanye penggunaan PLTS atap, juga menjadi hal yang diperjuangkan oleh organisasi masyarakat sipil di Vietnam, salah satunya oleh Green Innovation and Development Centre (GreenID).
“Kami menyediakan situs interaktif bagi para pengguna PLTS Atap untuk menceritakan manfaat yang sudah mereka terima dengan menggunakan PLTS Atap. GreenID juga melakukan berbagai pertemuan rutin melalui seminar daring untuk mendekatkan lebih banyak orang dengan PLTS Atap,” ungkap Nguyen Thi Ha. Menyoal kebijakan pemerintah Vietnam, meskipun kini telah keluar kepastian investasi energi terbarukan, Ha menyayangkan usia kebijakannya yang tergolong singkat.
“Kami berharap pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan jangka panjang untuk mempromosikan cetak biru PLTS di Vietnam. Selanjutnya, kami juga ingin menghubungkan lebih banyak bank dan lembaga pembiayaan untuk mempromosikan PLTS. Selain itu, standar teknis dan kualitas juga sangat penting dan perlu didorong,” harapnya.
Meski tidak menyangkal keterbatasan pemerintah, Pham Nam Phong dari Vu Phong Group beranggapan bahwa Decision 13 berkontribusi pada membaiknya iklim investasi PLTS bagi perusahaan swasta.
“Skema Opex (Operating Expenditure/Pembelanjaan Operasional) menjadi pilihan kami. Kami bertindak sebagai investor dan menjual pasokan daya kepada pelanggan,” katanya.
Phong mengamati bahwa bisnis PLTS Atap menjadi semakin berkembang di sektor komersial dan industri (C&I), antara lain dengan keterlibatan perusahaan multinasional yang tergabung dalam RE100 yang menargetkan penggunaan energi terbarukan dalam industri mereka.
Fabby Tumiwa membandingkan perkembangan PLTS di Vietnam yang jauh berbeda dengan Indonesia. Meski Indonesia lebih dahulu memanfaatkan panel surya di tahun 80an, namun total kapasitas energi terbarukan Indonesia sampai 2019 hanya 200 MW. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan Vietnam yang baru memulainya di tahun 2016. Ia melihat komitmen pemerintah Vietnam yang konsisten berkontribusi pada terciptanya lingkungan investasi PLTS yang kondusif. Selain menggunakan instrumen FiT, pemerintah juga mempermudah investor untuk memobilisasi pendanaan dari berbagai sumber, termasuk pendanaan asing, memberikan pembebasan sewa tanah selama 14 tahun sampai akhir proyek (tergantung lokasi), serta mengeluarkan berbagai insentif perpajakan.
“Indonesia perlu belajar dari pemerintah Vietnam yang melakukan proyek percontohan seperti direct power purchase agreement (PPA) yang memungkinkan pelanggan industri membeli listrik energi terbarukan dari pengembang secara langsung menggunakan jaringan listrik EVN. Apalagi dengan keberadaan perusahaan multinasional RE100 di Indonesia yang menargetkan penggunaan listrik dari energi terbarukan 100 persen sebelum 2030. Fleksibilitas ini menarik minat mereka untuk investasi atau berekspansi lebih lanjut di Indonesia,” kata Fabby.
Fabby juga menyarankan agar pemerintah Indonesia membangun solar park. Dengan skema ini, pengadaan lahan, perencanaan pembangunan infrastruktur dan transmisi dapat dilakukan secara terintegrasi, dengan biaya yang efisien.
Menanggapi keberhasilan Vietnam, Sripeni Inten Cahyani mengakui Indonesia masih perlu banyak belajar. Menurutnya, pemerintah Indonesia dapat meniru penerapan skema bisnis PLTS yang beragam, penggunaan instrumen FiT, serta penyediaan informasi dan konsultasi yang memadai terkait PLTS.
“Saat ini, instrumen FiT sudah masuk dalam rancangan peraturan presiden tentang harga energi terbarukan. Jadi kita tunggu saja,“ ungkapnya.
Ridha Yasser menganggap bahwa hambatan pengembangan PLTS bukan karena aspek teknis. Pergantian staf yang kerap terjadi di instansi pemerintah, berikut dengan masalah egosentris struktural berpengaruh pada lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Namun, ia yakin masalah ini dapat segera teratasi dengan kerja sama yang lebih baik dan menggunakan metode yang tepat sehingga Indonesia bisa segera masuk dalam Gigawatt Club energi surya, seperti Vietnam.
Saksikan rekaman diskusi tersebut di: