Konservasi Air Wudhu di dua Pondok Pesantren NU, sebagai bentuk kepedulian kurangi Krisis Iklim

 

Suhu bumi terus meningkat lebih dari 1 derajat celcius, dibandingkan dengan tahun 1900 mengakibatkan adanya perubahan iklim. Berbagai pihak dari beragam kelompok berinisiatif untuk ikut mengambil langkah untuk menjaga kenaikan suhu bumi supaya tidak lebih dari 2℃ bahkan untuk menurunkan suhu bumi. Salah satunya adalah Nahdlatul Ulama. 

Dalam program IESR Bicara Energi, M. Ali Yusuf, Ketua LPBI NU (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama), mengatakan bahwa aksi untuk merespon perubahan iklim ini didasari oleh beberapa pandangan dalam Islam, salah satunya tentang relasi manusia dengan alam. Dikatakan Ali Yusuf bahwa “Allah adalah Tuhan untuk semesta alam, bukan hanya untuk manusia. Jadi manusia itu hidup berdampingan dengan alam (tidak bisa dipisahkan). Maka jika alamnya rusak, maka kehidupan manusia pun akan terancam.”

Untuk merespon perubahan iklim yang terjadi saat ini, LPBI NU memiliki beberapa program yang banyak dilakukan di pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama yang jumlahnya mencapai 2400 dan tersebar di seluruh Indonesia. 

Beberapa program tersebut antara lain:

  1. Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dengan Gerakan Hijau dan Konservasi Energi Terbarukan
  2. Konservasi Air
  3. Konservasi Pesisir
  4. Penerbitan buku-buku terkait isu lingkungan dan perubahan iklim

Secara khusus Ali Yusuf menjelaskan tentang program konservasi limbah. Program yang masih bersifat rintisan dan swadaya ini berawal dari isu limbah sampah di pesantren. Jika PBNU memiliki 2400 pesantren dan di satu pesantren penghuninya bisa mencapai 15000 santri maka dapat dibayangkan berapa banyak produksi limbah dan sampah yang ada di satu pesantren, kalikan dengan banyaknya pesantren yang ada. 

“Kita mengawali program ini dengan kajian bersama untuk membangun awareness santri-santri ini tentang bagaimana limbah ini dapat menghasilkan energi terbarukan seperti biogas yang bahkan dapat menghasilkan listrik,” ungkap Ali Yusuf.

Karena program ini bersifat swadaya dari masing-masing pesantren, maka capaian masing-masing pesantren berbeda-beda. Ada yang memang sudah bisa memproduksi dan memanfaatkan energi terbarukan ini, namun ada juga yang belum mampu memproduksi, dan baru di level awareness saja.

Salah satu program yang patut mendapatkan apresiasi adalah konservasi air wudhu yang dilakukan di dua pesantren di Pasuruan, Jawa Timur. Secara singkat program ini mengolah kembali air buangan wudhu, dan menjadikannya air minum alkali. 

“Air wudhu itukan bebas deterjen, pembuangannya juga sendiri, tidak bercampur dengan air bekas mandi atau yang lain. Lebih daripada itu, air wudhu itukan penuh dengan doa, sayang sekali kalau terbuang sia-sia.”

Sebelum menutup sesi obrolannya dengan IESR, Ali Yusuf berpesan bahwa masing-masing kita perlu memiliki empati untuk menjaga lingkungan masing-masing.

‘Masing-masing kita ini memiliki tanggung jawab untuk menjaga bumi. Kalau kita biarkan begini terus bumi rusak, bukan tidak mungkin bumi akan hilang suatu saat nanti.’

“Juga untuk pemerintah, masyarakat perlu dilibatkan dalam penyusunan kajian risiko, supaya tahu perubahan apa saja yang pernah terjadi di lingkungannya. Selain itu pemerintah juga perlu mensosialisasikan dokumen-dokumen tentang Perubahan Iklim. Karena (pemerintah) kita seringkali puas ketika sudah menyetujui suatu dokumen. Namun seringkali informasi ini tidak sampai ke masyarakat,” pungkas ketua LPBI NU ini.

Simak perbincangan lengkapnya di IESR Bicara Energi:

Share on :

Leave a comment