Ekspor Listrik PLTU Tidak Akan Efektif
Pemerintah melalui Kementerian ESDM sedang mengkaji kemungkinan untuk ekspor listrik ke Singapura. Hal ini didasari oleh surplus pasokan listrik yang dialami PLN. Dengan masuknya pembangkit listrik dari proyek 35 GW, dan penurunan permintaan listrik dari dalam negeri. Indonesia akan mengalami surplus pasokan listrik sekitar 40%. Surplus pasokan listrik yang cukup besar ini terjadi karena ada mismatch asumsi saat perencanaan dan penyusunan proyek.
“Proyek 35 GW dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 7%. Dengan pertumbuhan ekonomi tersebut diproyeksikan kebutuhan listrik akan meningkat sekitar 8%. Kita tahu sendiri selama 5 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi kita rata-rata hanya 5% setiap tahun, dan pertumbuhan permintaan listrik hanya sekitar 4%, ditambah tahun 2020 ada pandemi Covid–19 yang berdampak langsung pada perekonomian,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam segmen Market Review oleh IDX Channel.
Dalam kesempatan yang sama, Fabby menanggapi rencana ekspor listrik oleh pemerintah.
“Hal yang perlu dipahami adalah, ekspor-impor listrik bukanlah hal yang tidak mungkin, tapi perlu ditinjau lagi efektivitasnya dalam konteks saat ini,” tutur Fabby.
Dalam konteks ASEAN, pembicaraan tentang ekspor-impor listrik antar negara ASEAN sudah dimulai sejak 15 tahun lalu. Indonesia sendiri sudah melakukan penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) ekspor listrik dengan Tenaga Nasional Berhad (TNB) Malaysia untuk mengekspor listrik dari sistem Sumatera ke Peninsula Malaysia. Kerjasama ini mempertimbangkan periode beban puncak antara Sumatera dan Peninsula Malaysia. Tercatat bahwa sistem Sumatera mengalami periode beban puncak tenaga listrik pada pukul 17.00 – 22.00 sementara beban puncak Peninsula Malaysia terjadi pada pukul 8.00 – 16.00. Melihat perbedaan periode beban puncak tenaga listrik ini maka proses ekspor listrik dari sistem Sumatera ke Peninsula Malaysia memungkinkan terjadi. Proyek ini rencananya akan mulai bergulir pada 2028 mendatang.
Potensi Penerimaan Pasar Luar Negeri
Terkait potensi pasar ekspor listrik, dalam lingkup Asia Tenggara, negara-negara ASEAN sudah banyak berbicara tentang clean electricity. Hal ini disebabkan beberapa negara ASEAN sudah memiliki target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) bahkan zero emission. Tahun lalu Singapura menyatakan akan membeli 100 MW listrik dari Malaysia yang berasal dari energi terbarukan.
“Perlu disadari dan dipahami bahwa tren global saat ini adalah pergerakan menuju energi terbarukan,” tambah Fabby
Menurutnya, berdasarkan fakta ini, maka listrik yang berasal dari energi terbarukan akan lebih diminati oleh pasar global karena terkait dengan agenda penurunan emisi GRK dari masing-masing negara. Indonesia perlu memikirkan hal ini jika ingin serius memasuki pasar global terutama untuk isu ekspor listrik. Hal yang tidak kalah penting untuk dipikirkan adalah pajak karbon (carbon border tax) yang akan mulai diperhitungkan dari tiap-tiap komoditas dalam perdagangan global, tidak terkecuali daya listrik.
“Akan tidak elok jika kita membangun banyak PLTU, lalu listriknya kita ekspor, nah itu emisinya harus ditanggung Indonesia. Ketika GRK kita tinggi reputasi kita (Indonesia-red) di kancah global akan kurang baik,” jelas Fabby.
Lebih lanjut, Fabby menyatakan bahwa jika tujuannya untuk menyerap surplus tenaga listrik, ekspor listrik tidak akan menyelesaikan masalah dalam jangka pendek dan solusi ini bukanlah solusi yang berkelanjutan (sustain). Alternatif yang ditawarkan Fabby selain ekspor listrik untuk mengatasi permasalahan surplus daya listrik, yaitu reconsider dan renegotiate
Reconsider berarti Pemerintah harus berani menimbang ulang bahkan menghentikan pembangunan PLTU baru dan mengalihkannya untuk pembangkitan energi terbarukan. Strategi ini akan menghindari over supply pada 2-3 tahun ke depan sekaligus memenuhi target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Saat ini ada sekitar 7,5 GW pembangkit listrik PLTU dari proyek 35 GW yang masih dalam proses perencanaan (perizinan, kontrak, dan lain-lain). Dengan mengalihkan proyek PLTU menjadi pembangkit energi terbarukan, PLN akan memiliki pembangkit listrik rendah karbon, otomatis emisi gas rumah kaca dari sektor sistem energi akan berkurang.
Sementara re-negotiate adalah upaya pemerintah perlu bernegosiasi dengan pengusaha PLTU untuk menurunkan kapasitas produksi PLTU-PLTU tua, supaya memberi ruang untuk pembangkit energi terbarukan dalam sistem energi. Untuk mendorong penetrasi energi terbarukan dalam sistem energi Indonesia, perlu penurunan kapasitas dari PLTU yang ada saat ini.
Pertumbuhan ekonomi pasca Covid-19 diproyeksikan belum berbalik positif dengan cepat. Begitu juga pertumbuhan permintaan listrik. Maka menimbang ulang, dan menghentikan pembangunan PLTU baru akan menghindari over supply pasokan listrik dalam 2-3 tahun ke depan. Karena ketika terjadi over supply pasokan listrik biaya yang harus dikeluarkan (subsidi pemerintah) mahal.