Jakarta, 1 Juli 2021, Untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% yang kini baru di angka 11,2%, pemerintah Indonesia saat ini sedang mengkaji sejumlah regulasi terkait energi terbarukan, khususnya PLTS. Revisi ini dijanjikan akan menjadi peraturan yang progresif untuk pengembangan tenaga surya di Indonesia.
Mustaba Ari Suryoko, Kasubdit Pengawasan Pengembangan Infrastruktur Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Ditjen Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, dalam Asian Solar Summit 2021, menjelaskan bahwa untuk mempercepat penyebaran energi terbarukan, pemerintah Indonesia melakukan revisi Peraturan Menteri No 49/2018 tentang PLTS atap, terkait dengan tarif nett-metering.
“Tarif nett-metering akan menjadi 1:1, yang sebelumnya hanya 1:0,65 dan juga periode restart yang lebih baik dari sebelumnya setiap tiga bulan, dalam Permen mendatang periode restart menjadi enam bulan,” tambah Ari.
Indonesia adalah negara besar dengan sumber energi terbarukan yang melimpah. Studi terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi teknis PLTS sebesar 20.000 GWp. Terlepas dari banyaknya sumber energi terbarukan, surya menjadi sektor yang mudah dikembangkan karena dapat dipasang secara modular, dan tersedia di seluruh negeri.
Selain itu, Mustaba juga menyampaikan perkembangan peraturan presiden tentang energi terbarukan terkait pembelian listrik oleh PLN, dan beberapa skema yang diberikan untuk mendapatkan harga terbaik.
“PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara juga sedang membahas RUPTL baru yang akan memberi porsi yang lebih besar untuk energi terbarukan hingga 48% total pembangkit listrik. Meningkat signifikan dari RUPTL sebelumnya yang hanya memberi porsi 30% energi terbarukan,” imbuhnya.
Nicolas van den Abeele, Kepala Pengembangan Bisnis ENGIE, mengapresiasi upaya pemerintah untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan yang berfokus pada tenaga surya. Karena pasar Indonesia sedang berkembang dan potensi besar untuk pasar tenaga surya tersedia secara luas. Inisiatif dari pemerintah dalam mengkaji dan merevisi beberapa kebijakan menjadi kunci untuk mendorong penyebaran tenaga surya di Indonesia.
“Meskipun potensi pasar yang besar di Indonesia untuk mengintegrasikan tenaga surya skala besar, terutama di jaringan Jawa – Bali – Sumatera, peraturan terkait PLTS terkesan tidak konsisten dan kurang jelas terkait dengan perjanjian jual beli listrik, dan harga listrik yang berbeda dari masing-masing perusahaan,” kata Nicolas.
Nicolas juga menyoroti kewajiban untuk memenuhi persyaratan kandungan lokal (Tingkat Komponen Dalam Negeri/TKDN) untuk panel surya sebagai suatu kendala.
“Kami mengerti dan maklum bahwa pemerintah Indonesia ingin mengembangkan industri lokal, namun persyaratan ini membuat investor asing enggan datang, karena pada tahap ini belum terbukti industri lokal memiliki kapasitas produksi yang cukup, juga kualitasnya belum teruji,” katanya.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyoroti perubahan sikap pemerintah dan berharap ini menjadi awal yang baik untuk mengubah sistem energi Indonesia menjadi lebih bersih dan berkelanjutan. Dia juga mengemukakan bahwa saat ini pemerintah Indonesia ‘gagal’ menangkap manfaat ekonomi dari tenaga surya, karena biaya pemasangan PV turun hingga 90% dalam sepuluh tahun terakhir.
“Sebelumnya, PLTS dipandang sebagai teknologi mahal yang tidak dapat bersaing dengan bahan bakar fosil, yang telah berubah sekarang. Solar cukup kompetitif sekarang namun penyebarannya masih sangat lambat di Indonesia. Semoga komitmen pemerintah yang terlihat dari upaya merevisi beberapa regulasi dapat menjadikan Indonesia sebagai pengembangan PLTS berikutnya,” kata Fabby.
Banyak pihak yang tertarik dengan pengembangan tenaga surya di Indonesia, namun yang menjadi persoalan saat ini adalah jumlah proyek yang siap didanai. Target pemerintah untuk mencapai 23% energi terbarukan pada tahun 2025 dan target yang lebih tinggi dalam RUPTL mendatang harus diterjemahkan ke dalam perencanaan proyek yang lebih matang.
Potensi yang besar dan (kini) didukung oleh komitmen pemerintah untuk mengembangkan energi terbarukan telah menarik bank multilateral dan bilateral untuk ambil bagian dalam pembiayaan proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia. Tidak hanya perbankan, lembaga keuangan lainnya juga berkeinginan untuk berinvestasi dalam pembiayaan proyek-proyek energi terbarukan.
Melengkapi diskusi, Irman Boyle, Executive Vice President PT Indonesia Infrastructure Finance, menyampaikan pandangannya tentang potensi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia,
“Pada dasarnya dari sisi ekuitas dan hutang banyak pihak yang tertarik untuk membiayai proyek energi terbarukan namun hingga saat ini belum ada cukup perencanaan proyek yang siap didanai. Oleh karena itu pemerintah (Kementerian ESDM dan EBTKE) serta PLN, perlu ‘mengerjakan pekerjaan rumah’ untuk merencanakan dan memastikan target-target yang ada terejawantahkan dalam perencanaan proyek yang matang,” kata Irman.