Mampu Secara Teknologi dan Ekonomi, Indonesia Hanya Perlu Keputusan yang Berani dan Komitmen yang Kuat untuk Songsong Pembangunan dengan Emisi Nol Karbon di 2050
Sisa waktu yang semakin menipis untuk menghadapi krisis iklim yang semakin mengancam, bertolak belakang dengan kebijakan Indonesia masih lemah dalam memenuhi Persetujuan Paris untuk menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius. Hal ini terlihat dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 dalam mitigasi perubahan iklim, dengan hanya menargetkan netral karbon di tahun 2070. Padahal, menurut analisis Institute for Essential Services Reform (IESR), Indonesia secara teknologi dan ekonomi mampu mencapai emisi nol karbon di tahun 2050. Hasil analisis ini terangkum dalam laporan terbaru IESR berjudul berjudul “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050”.
Laporan ini merupakan kajian pertama di Indonesia yang menggambarkan secara komprehensif peta jalan mencapai emisi nol karbon di 2050 dengan mentransformasi sistem energi. Sektor energi menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar kedua di Indonesia, dengan sekitar 40% dari total emisi antara tahun 2010 hingga 2018. Emisi dari sektor energi diperkirakan akan terus meningkat menjadi 58% pada tahun 2030, seperti yang ditunjukkan dalam skenario BAU dalam Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) di Indonesia, terutama didorong oleh peningkatan konsumsi energi final.
“Pendapat Mas Fabby mengenai urgensi krisis iklim dengan ambisi pemerintah untuk dekarbonisasi sistem energi Indonesia secara sistematis dan menyeluruh,”
Upaya membengkokkan kurva emisi GRK yang diperkirakan mencapai 562 Mton CO2eq pada tahun 2030 perlu dilakukan sesegera mungkin. Dalam Best Policy Scenario (BPS) yang IESR kembangkan, pijakan kebijakan yang kuat memainkan peranan penting dalam menciptakan ekosistem dekarbonisasi total.
“Pernyataan Christian Bryer tentang kesahihan pemilihan model skenario untuk Indonesia,”
Ketergantungan terhadap batubara harus diatasi dengan penghentian pembangunan PLTU baru, kecuali 11 GW PLTU yang sudah masuk dalam perencanaan pembangunan hingga 2028. Selain itu, pengembangan energi terbarukan harus menjadi kebijakan pemerintah yang utama dengan menargetkan pembangunan 100 GW PLTS, dan pemenuhan kebutuhan listrik 2 GW lainnya dari PLTS Atap. Tidak hanya itu, sektor industri pun harus beralih dari PLTU ke energi yang lebih bersih seperti pada teknologi biomassa dan listrik dari energi terbarukan. Sementara di sektor transportasi, sebagai awalan, penetrasi 100 juta motor listrik diperlukan. Dekarbonisasi kendaraan berat seperti pesawat terbang dapat dilakukan dengan mendorong pengembangan biofuel.
Menyokong upaya elektrifikasi dari energi terbarukan, kapasitas jaringan listrik Indonesia perlu ditingkatkan. Interkoneksi antara Jawa, Kalimantan, dan pulau-pulau lain akan menjadi lebih penting setelah tahun 2030 karena sistem energi menjadi lebih berbasis listrik. Model IESR menunjukkan bahwa pada tahun 2050, kapasitas transmisi keseluruhan 158 GW perlu dibangun untuk menghubungkan Indonesia dari barat ke timur.Namun, pembangunan jaringan transmisi biasanya membutuhkan waktu lama sehingga sangat penting untuk memulai perencanaan beberapa dekade sebelumnya.
Selanjutnya, berdasarkan BPS, tahapan pertama dalam membengkokkan kurva emisi yang mencapai puncak di tahun 2030 adalah dengan pengembangan energi terbarukan hingga 45 persen di sektor ketenagalistrikan. Selain itu, pengembangan yang massif elektrifikasi di sektor transportasi dan industri serta penerapan kebijakan moratorium pembangkit listrik batubara akan menekan emisi GRK menjadi 45 Mton CO2eq di tahun 2045.
Tahun 2045 menandai masuknya tahap 2 upaya dekarbonisasi penuh dalam BPS dengan terjadinya penurunan emisi hingga 92%. Pada tahapan ini, energi terbarukan menjadi 100 persen pemasok listrik di Indonesia. PLTS menjadi penyumbang energi listrik terbesar dengan 88 %, diikuti oleh tenaga air sebesar 6% , panas bumi sebesar 5%, dan energi terbarukan lainnya sebesar 1%. Mengatasi masalah intermitten, teknologi penyimpanan energi menjadi pilihan terbaik dengan pangsa sekitar 52% dari total sistem penyimpanan, diikuti oleh hidrogen pada 37% dan sistem penyimpanan lainnya sekitar 11%.
“Pendapat Pamela terhadap 100 persen energi terbarukan dalam sistem energi di Indonesia”
Tahap 3 pada tahun 2050, upaya dekarbonisasi berlanjut pada untuk sektor transportasi dan industri. Untuk mendekarbonisasi sepenuhnya sektor transportasi, konsumsi hidrogen di sektor transportasi perlu dua kali lipat dalam lima tahun. Di sektor industri, listrik memainkan peran penting dengan hampir 67% panas berasal dari pemanas listrik pada tahun 2050. Sisanya, panas dihasilkan dari hidrogen dan metana sintetis terbarukan serta bioenergi untuk menghasilkan suhu yang lebih tinggi. Emisi dari pemanasan industri mencapai nol pada tahun 2050.
Tentu saja untuk melakukan transformasi sistem energi memerlukan iklim investasi yang baik. IESR memperkirakan jumlah investasi yang diperlukan sebanyak USD 20-25 miliar per tahun mulai sekarang hingga 2030, jauh lebih tinggi dari rata-rata investasi di sektor energi terbarukan Indonesia yang kurang dari USD 2 miliar per tahun. Dalam kurun waktu 2030-2040, negara akan membutuhkan investasi tahunan sebesar USD 60 miliar untuk meningkatkan upaya dekarbonisasi. Investasi panel surya (termasuk panel surya atap) akan menjadi yang tertinggi sekitar USD 2-7 miliar per tahun selama sepuluh tahun ke depan. Antara tahun 2030-2040, investasi panel surya perlu ditingkatkan menjadi USD 20-25 miliar per tahun. Selain itu, investasi dalam baterai akan menjadi sangat penting dan mencapai hingga USD 13-16 miliar per tahun dari tahun 2030 hingga 2040.
Pemerintah Indonesia harus memperbaiki iklim investasi di dalam negeri secara cepat dan komprehensif. Kebijakan dan kerangka regulasi yang mendukung dapat menarik lebih banyak investor swasta untuk berinvestasi di energi terbarukan, efisiensi energi, dan rendah karbon, serta proyek transportasi di dalam negeri. Pemerintah perlu menyelaraskan target jangka menengah hingga jangka panjang serta secara konsisten mewujudkannya.
Melalui laporan ini, IESR merekomendasikan kepada pemerintah, diantaranya, untuk segera mengambil keputusan dalam melakukan dekarbonisasi secara menyeluruh di sistem energi Indonesia. Semakin cepat keputusan ini diambil maka akan menghindari kerugian 5 kali lebih besar dibandingkan bertahan dengan bahan bakar fosil. Tidak hanya itu, Indonesia pula akan mampu mengamankan pasokan energi nasionalnya dan membuka peluang investasi yang besar yang akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Analisis IESR menunjukkan bahwa setidaknya 3,2 juta pekerjaan baru akan tercipta dari pembangunan yang berlandas pada emisi nol karbon 2050. Ditinjau dari dampak lingkungan, emisi nol karbon akan menjamin kualitas udara yang lebih bersih sehingga meningkatkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan dan mengurangi biaya perawatan kesehatan.
IESR juga mendorong adanya kepemimpinan politik yang kuat dengan menempatkan dekarbonisasi sistem energi sebagai prioritas nasional. Salah satu langkah penting yang pemerintah bisa ambil adalah dengan memperbaharui dan meningkatkan target NDC untuk tahun 2030 yang lebih ambisius dibandingkan dokumen LTS CCR 2050 yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). NDC yang lebih ambisius ini menjadi tonggak penting bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinannya dalam COP 26 mendatang dalam memerangi perubahan iklim.
Selanjutnya, IESR merekomendasikan agar pemerintah membuat kebijakan yang tepat untuk merealisasikan target emisi nol karbon 2050. Di sektor kelistrikan, agar pembangunan energi terbarukan melesat cepat perlu ada kepastian dalam kebijakan tentang Standar Portofolio Terbarukan (RPS), insentif fiskal dan non-fiskal untuk energi terbarukan, Feed-in-Tariffs (FIT), sertifikat energi terbarukan, sistem lelang yang kompetitif, dan ketersediaan dana energi terbarukan. Selain kebijakan, perampingan PPA dan proses tender juga akan membantu mengurangi risiko bagi calon investor sehingga mampu mempercepat memobilisasi investasi swasta di bidang energi terbarukan.
Pemerintah perlu segera menyetujui undang-undang energi terbarukan dan mengesahkan Perpres tentang tarif energi terbarukan yang memuat Feed-in-Tariffs untuk energi terbarukan skala kecil.
Laporan “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050” merupakan hasil kajian IESR bekerja sama dengan Agora Energiewende, dan Lappeenranta-Lahti University of Technology (LUT). Laporan tersebut dapat diunduh di link berikut :
Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A Pathway to zero emissions by 2050