Semarang – 4 Agustus 2021, Revisi Peraturan Menteri ESDM No. 49/2018 tentang penggunaan PLTS atap oleh pelanggan PLN sedang ditunggu oleh berbagai pihak. Perbaikan peraturan yang lebih mendukung calon pengguna dan meningkatkan keekonomian PLTS atap akan menjawab minat masyarakat dan pelaku usaha yang cukup tinggi, termasuk di Jawa Tengah. Selain itu, revisi yang mendukung pemanfaatan PLTS atap akan memuluskan langkah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam mewujudkan Jawa Tengah Provinsi Surya.
Sejak 2019, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mendeklarasikan inisiatif Central Java Solar Province (Jawa Tengah Provinsi Surya) bersama Institute for Essential Services Reform (IESR) untuk mendorong pemanfaatan energi surya yang lebih ambisius.
“Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memiliki komitmen dan rencana mengembangkan energi bersih dengan memanfaatkan energi surya. Selain direncanakan dalam RUED (Rencana Umum Energi Daerah) dan Renstra (Rencana Strategis) Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Gubernur Jawa Tengah sendiri telah mengeluarkan Surat Edaran Gubernur untuk pemanfaatan PLTS atap di bangunan pemerintah, publik, komersial, dan industri; guna mendorong akselerasi pemanfaatan energi surya di Jawa Tengah,” ujar Sujarwanto Dwiatmoko, Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah.
Inisiatif Jawa Tengah Provinsi Surya ini meliputi pendampingan teknis, analisa kebijakan dan regulasi, survei pasar, dan peningkatan kapasitas untuk para pemangku kebijakan di bidang energi di tingkat provinsi maupun kab/kota, serta penciptaan iklim pemanfaatan PLTS yang mendukung untuk menjadikan Jawa Tengah sebagai Provinsi Surya pertama di Indonesia. Sejak dideklarasikan dan hingga akhir Kuartal II 2021, Jawa Tengah mencatatkan kapasitas terpasang PLTS atap sebesar 7884 kWp dari berbagai sektor, meningkat tajam dibandingkan angka di tahun 2019 sebesar 155,2 kWp. Sektor industri menyumbang kapasitas terbesar dengan 4261 kWp, disusul dengan sektor bisnis dan rumah tangga masing-masing sebesar 608 kWp dan 435 kWp.
“Pelaku usaha terutama dari sektor industri menyambut baik surat edaran Gubernur Jawa Tengah, seiring dengan prinsip keberlanjutan yang sekarang banyak diadopsi oleh berbagai perusahaan. Selain itu, adanya revisi Permen ESDM No. 49/2018 yang menurunkan biaya paralel kapasitas dari 40 jam per bulan menjadi 5 jam untuk pelanggan industri dan tersedianya skema leasing (zero-capex) juga meningkatkan keekonomian PLTS atap,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Bagi rumah tangga, pelaku usaha bisnis/komersial, dan UMKM, tingkat keekonomian PLTS atap saat ini masih dipandang kurang menarik. Studi pasar yang dilakukan IESR di 7 kabupaten/kota di Jawa Tengah menunjukkan bahwa mayoritas menginginkan periode balik modal di bawah 7 tahun. Hal ini sulit tercapai dengan tarif ekspor impor listrik 1:0,65 yang saat ini berlaku. Revisi peraturan yang disebut-sebut akan meningkatkan tarif menjadi 1:1 akan menjawab harapan calon pengguna, karena mampu memperpendek periode balik modal dari di atas 10 tahun menjadi di bawah 8 tahun.
Tommy, salah satu pengguna PLTS atap di Semarang, Jawa Tengah mendukung tarif ekspor impor menjadi 1:1. “Jika regulasi net-metering dibuat 1:1 dan tidak ada limitasi kapasitas, orang akan sangat tertarik (untuk memasang PLTS atap). Dulu (sebelum keluarnya Permen 49/2018), regulasi net-metering sempat 1:1, beberapa orang tertarik pasang meskipun harga masih mahal dan penyedia jasa terbatas,” ucapnya.
Nilai keekonomian menjadi salah satu dorongan utama berbagai pihak dalam pemanfaatan PLTS atap. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Dinas ESDM, juga meluncurkan program pemulihan ekonomi untuk UMKM pasca pandemi Covid-19, yaitu “Energi Gratis bagi UMKM”. Program ini meliputi pembangunan PLTS atap bagi UMKM yang terkena dampak Covid-19. Pemasangan PLTS atap merupakan solusi atas biaya energi yang memiliki porsi yang cukup signifikan di operasional UMKM. Penghematan yang diperoleh dari penggunaan energi surya, diharapkan dapat mengurangi beban biaya penyediaan energi tersebut. Dengan tarif net-metering yang lebih tinggi yaitu 1:1, tentu saja penurunan biaya operasional UMKM tersebut akan lebih optimal dan mempercepat kembalinya roda perekonomian yang sebelumnya terhambat.
Sujarwanto menyebutkan bahwa apabila nantinya terdapat peningkatan tarif net metering, maka hal tersebut adalah sebuah keputusan terbaik. Sebab menurutnya apapun ketentuan dalam revisi Permen tersebut telah disepakati antara PLN dengan Kementerian ESDM, dengan mempertimbangkan keekonomian PLTS atap.
Selanjutnya, menurut beliau, di luar tarif ekspor impor listrik, revisi Permen ini harus mampu meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan PLTS, baik secara on-grid, maupun off-grid.
“Permen yang kita butuhkan adalah Permen yang mampu untuk menumbuhkan (pelanggan PLTS) on-grid maupun off-grid secara berimbang dan mendorong partisipasi masyarakat,” imbuhnya.
Fabby yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menegaskan bahwa revisi peraturan tersebut diharapkan memihak pengguna.
“PLTS atap telah menjadi program strategis Pemerintah Provinsi Jawa Tengah serta tingginya minat masyarakat dalam adopsi PLTS atap, perbaikan Permen ESDM No. 49/2018 dengan klausul yang lebih meningkatkan keekonomian akan berkontribusi pada upaya percepatan pemanfaatan PLTS atap di Jawa Tengah.”
Pasar yang tumbuh di Jawa Tengah juga akan membuka lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Masyarakat tidak hanya dapat menemukan penyedia layanan PLTS atap lokal, namun juga dapat memunculkan tenaga ahli di bidang energi surya di Jawa Tengah. Berdasarkan kajian IESR, setiap 1 GWp PLTS dapat menciptakan tenaga kerja sebesar 20.000 – 30.000 orang. PLTS atap juga dapat menjadi peluang usaha baru di Jawa Tengah. Sudah ada beberapa koperasi dan BUMDes yang memiliki unit usaha di bidang PLTS atap. Multiplier effect tersebut dapat diciptakan apabila terdapat regulasi yang mendukung adopsi PLTS atap yang lebih luas.