Jakarta, 9 September 2021– Dalam setahun terakhir, terjadi perubahan dinamis di sektor energi. Batas waktu yang semakin dekat dari Perjanjian Paris dan laporan IPCC AR6 terbaru menyatakan bahwa waktu kita semakin singkat untuk menjaga kenaikan suhu. Hal ini telah mengangkat wacana tentang dekarbonisasi dan komitmen netral karbon (net-zero emission) dari seluruh dunia. Penyebaran cepat energi terbarukan adalah salah satu kunci penurunan emisi karena sektor energi adalah salah satu penghasil emisi terbesar. Faktanya, biaya energi bersih terus turun. Studi menunjukkan bahwa angin dan surya adalah yang termurah untuk 2/3 populasi dunia (BloombergNEF, 2020).
Energi surya akan menjadi tulang punggung dekarbonisasi karena fleksibilitasnya untuk dipasang di berbagai skala, mulai dari skala rumah tangga hingga skala utilitas. Sehingga memungkinkan instalasi tenaga surya secara besar-besaran di Indonesia “Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar, dengan semakin murahnya biaya sistem energi surya dan kemampuannya untuk dipasang di berbagai skala daya, akan memungkinkan lebih banyak pihak untuk mengambil bagian aksi kolektif ini tidak hanya untuk menyebarkan energi terbarukan tetapi juga untuk memerangi krisis iklim,” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR merangkum pidatonya saat peluncuran laporan Scaling Up Solar in Indonesia: Reform and Opportunity.
Caroline Chua, Senior Associate BloombergNEF Southeast Asia, sekaligus penulis utama laporan tersebut, menekankan bahwa pencapaian target energi terbarukan Indonesia sebesar 23% pada tahun 2025 membutuhkan upaya dua kali lipat dari kondisi saat ini.
“Target energi terbarukan Indonesia sebesar 23% dapat dicapai dengan memasang solar PV sebesar 18 – 23 GW. Solar sendiri dapat membantu Indonesia memenuhi target 2025 karena dapat digunakan dengan cepat dan teknologinya sudah tersedia dan semakin murah dari waktu ke waktu,” katanya.
Faktor keekonomian tenaga surya juga semakin kompetitif, dan di masa depan akan mengalahkan pembangkit listrik tenaga batu bara. Tarif solar di Indonesia turun 76% dari 25 sen/kWh di 2015 menjadi 5,81 sen/kWh di 2020. Daniel Kurniawan, Analis Solar IESR mengatakan sudah ada minat dari pasar untuk berkembang di Indonesia.
“Tantangannya di sini benar-benar untuk mereplikasi pengadaan solar. Saya pikir pasar sudah mengirimkan sinyal kuat bahwa mereka tertarik dengan Indonesia dan itu bisa dicapai. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana Indonesia dapat berpikir tidak hanya untuk mencapai target energi terbarukan tetapi juga untuk meng-dekarbonisasi sistem energinya,” katanya.
Awal tahun ini, PLN mengumumkan bahwa perusahaan setrum plat merah ini akan menjadi emisi nol bersih pada tahun 2060. Dalam draf baru RUPTL, rencana untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara lama disertakan.
“PLN menyiapkan roadmap menjadi net zero-emission pada 2060. Dalam RUPTL baru kami juga memberikan ruang lebih untuk energi terbarukan dan memasukkan rencana pensiun PLTU batu bara. Menurut kami, semua PLTU batubara akan kami pensiunkan pada tahun 2056 dan akhirnya mencapai net zero-emission pada tahun 2060,” jelas Zainal Arifin, Executive Vice President Engineering, and Technology PT PLN.
Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sepakat bahwa tenaga surya akan menjadi kunci untuk mencapai target Indonesia sekaligus memerangi perubahan iklim.
“Kita perlu mengatasi masalah intermiten dan mengembangkan sistem penyimpanan energi. Dalam perencanaan kami, kami mengharapkan sistem penyimpanan energi berasal dari penyimpanan pompa-hidro yang dapat dikembangkan pada tahun 2030,” katanya.
Komitmen untuk mencapai net zero-emission telah diperbarui, namun perlu kita pastikan bahwa komitmen tersebut diwujudkan dalam perencanaan yang konkrit. Sehingga seluruh pemangku kepentingan di Indonesia dapat menggunakan momentum ini untuk memanfaatkan penggunaan energi terbarukan di Indonesia untuk kepentingan bersama yang lebih besar dalam memerangi krisis iklim.