Jakarta, 24 September 2021 – Dunia tengah bergerak dalam percepatan transisi energi menuju energi bersih untuk mengejar target Persetujuan Paris dalam mencegah naiknya suhu rata-rata bumi melebihi 1,5 derajat Celcius. Pembiayaan energi terbarukan di Indonesia makin terbuka luas seiring meningkatnya komitmen negara maju membantu transisi energi terbarukan di negara berkembang. Pembiayaan tersebut membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah yang dapat meminimalisir risiko pendanaan dan meningkatkan minat investasi ke energi terbarukan.
Hal tersebut dikatakan oleh Deni Gumilang selaku penasehat Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) dalam Indonesia Energi Transition Dialogue (IETD) 2021 hari kelima, Jumat (24/09/2021).
Deni mengatakan, saat ini sudah tersedia berbagai macam instrumen de-risking (pengurangan risiko) pendanaan energi terbarukan untuk Indonesia, diantaranya penyediaan jaminan, green bond (sukuk hijau), dan pinjaman lunak (concessional debt). Namun, menurut Deni instrumen derisking ini perlu didukung dengan kebijakan dan regulasi yang dapat mengurangi risiko investasi energi terbarukan, diantaranya dengan penetapan target energi terbarukan yang jelas.
“Selama ini masih ada banyak perbedaan target penurunan emisi di dalam pemerintah. Jika ada konsistensi dalam target, maka kerjasama antar seluruh pemangku kebijakan akan lebih mudah dijalankan,” imbuh Deni.
Selanjutnya, Deni menjabarkan bahwa Indonesia perlu memperhatikan dukungan teknis pembangunan energi terbarukan yang terintegrasi, menciptakan iklim perizinan yang mendukung proyek skala kecil, dan meningkatkan kredibilitas proyek energi terbarukan agar bisa bankable dalam memperoleh pendanaan.
.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Direktur PT SMI, Edwin Syahruzad, mengatakan PT SMI sudah menyediakan proyek derisking dengan pemberian dukungan teknis. Hal itu memudahkan pengembang untuk mengakses teknologi dan pembiayaan suatu proyek energi terbarukan.
Anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Faisal Basri menyampaikan, energi terbarukan dibutuhkan untuk mendorong perkembangan ekonomi Indonesia. Sebab, apabila tidak segera dilakukan dekarbonisasi, Indonesia diprediksi mengalami defisit energi yang cukup besar.
“Kalau kita tidak segera melakukan dekarbonisasi maka tahun 2040 kita akan defisit energi sebesar USD 80 miliar. Karena kita lebih banyak mengimpor daripada ekspor energi. Itu terjadi karena kebutuhan kita akan naik luar biasa. Oleh karena itu kita butuh rencana jangka panjang makro ekonomi dengan cara dekarbonisasi lebih cepat,” kata Faisal.
Namun menurut Faisal, pada kenyataannya selama ini kebijakan pemerintah belum berpihak pada energi terbarukan. Hal tersebut tercermin dari APBN yang masih memberi subsidi ratusan triliun untuk energi fosil.
Faisal berpendapat pemerintah perlu mengedepankan kebijakan yang nyata untuk mendukung riset energi terbarukan dan memastikan perkembangan industri energi terbarukan agar Indonesia tidak hanya menjadi konsumen saja.
Mendukung pernyataan Faisal, Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau, IESR mengungkapkan bahwa sinergitas pertumbuhan ekonomi dengan transisi energi penting untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia.
“Ada beberapa kesempatan (opportunities) yang dapat dikembangkan seperti melalui pengembangan kendaraan listrik, melakukan efisiensi energi, menciptakan industri hijau sehingga dapat menciptakan banyak lapangan kerja hijau,” tandas Lisa.
Arunabha Ghosh, Founder dan CEO, Council on Energy, Environment, and Water (CEEW) menambahkan pentingnya menyelaraskan pengembangan sumber daya manusia agar bisa segera memenuhi lapangan pekerjaan hijau (green jobs) yang akan tercipta seiring dengan transformasi energi dan ekonomi negara.
“Di India, kita mempunyai dewan keterampilan (skill council) untuk pekerjaan hijau yang dibentuk untuk mendorong tenaga kerja di energi terbarukan. Di dalam dewan keterampilan tersebut, terdapat berbagai program untuk melatih puluhan ribu orang dari berbagai latar belakang, tidak harus lulusan universitas ternama,” urainya.