Semarang, 06 Oktober 2021 – Sektor industri dan bisnis menjadi sektor yang potensial untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan. Tuntutan pasar yang semakin kuat akan produk hijau (green product) mendorong sektor komersial dan industri beralih pada teknologi yang ramah lingkungan demi mempertahankan eksistensinya di pasar global. PLTS menjadi pilihan yang strategis bagi sektor komersial dan bisnis mempertimbangkan masa instalasinya yang relatif cepat, serta ketersediaan sumber energi surya yang merata di seluruh Indonesia. Selain itu, dengan berinvestasi pada PLTS dapat menekan biaya produksi.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa saat ini sejalan dengan usaha mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), sektor industri dihadapkan pada kewajiban nilai ekonomi karbon. Terutama untuk barang-barang yang diekspor seperti ke negara-negara Eropa, Amerika dan Jepang. Jejak karbon suatu produk yang melebihi batas maksimal yang ditentukan akan dikenakan pajak. Ditambah, kesadaran masyarakat tentang isu keberlanjutan (sustainability) semakin meningkat seperti dikatakan survei WWF dan The Economist yang menemukan bahwa pencarian pada search engine dengan kata kunci sustainability meningkat lebih dari 71% sepanjang 2016-2020.
“Shareholder perusahaan-perusahaan sudah meminta agar semua perusahaan ini punya komitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan. Jadi kalau kita ingin Jawa Tengah menjadi pusat industri maka akses energi terbarukan harus dipermudah,” tutur Fabby pada webinar yang diselenggarakan oleh IESR dengan Pemerintah Jawa Tengah berjudul “Energi Surya Atap untuk Sektor Komersial dan Industri di Jawa Tengah” (6/10/2021).
Secara umum, ditinjau dari adopsinya, jumlah pengguna PLTS atap di Indonesia kian meningkat. Berdasarkan data Direktorat Jenderal EBTKE, hingga bulan Agustus 2021 lalu, terdapat 4.133 pelanggan PLTS atap di Indonesia, dengan total kapasitas terpasang 36,74 MWp. Dilihat dari kapasitas PLTS atap berdasarkan wilayah, maka Jawa Tengah dan DIY menduduki peringkat ketiga dengan kapasitas PLTS atap sebesar 5,83 MWp.
Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM, memaparkan bahwa pemerintah memberikan prioritas pengembangan PLTS atap mengingat potensinya yang sangat besar, masa instalasi yang cepat, dan harganya yang sudah sangat kompetitif.
“Strategi jangka menengah yang didorong untuk pengembangan PLTS adalah PLTS atap yang ditargetkan sebesar 3,6 GW pada 2025. Selain itu PLTS skala utilitas juga terus kita dorong pengembangannya,” terang Chrisnawan dalam kesempatan yang sama.
Mendukung infrastruktur dan layanan menuju transisi energi, PLN juga harus berbenah menyiapkan adaptasi jaringan dan menyesuaikan dengan bisnis model yang mengakomodasi energi terbarukan dalam jumlah besar.
“PLTS atap ini berdampak ke jaringan PLN yang ada saat ini, karena sifatnya yang intermiten jadi PLN harus menyediakan unit standby untuk memberi suplai listrik saat daya yang dihasilkan PLTS tidak bisa mencukupi kebutuhan listrik yang ada,” jelas M.Irwansyah Putra, GM PLN Jateng DIY.
Irwan juga menjelaskan dalam mendukung mekanisme pajak karbon, PLN sudah menerbitkan REC (Renewable Energy Certificate). Dengan membeli sertifikat ini, PLN akan menyalurkan listrik yang didapat dari energi bersih pada industri yang bersangkutan.
Menyoal kebijakan untuk mendorong energi terbarukan di Provinsi Jawa Tengah,Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah menuturkan bahwa pihaknya telah menyiapkan ragam kebijakan. Namun, menurutnya untuk mendorong perubahan tertentu, dalam hal ini peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan (PLTS-red),dukungan kebijakan saja ternyata tidak cukup.
“Perubahan itu lebih cepat terjadi kalau didorong oleh mekanisme market driven, jadi bukan sekedar memenuhi aturan tertentu. Dinas ESDM Jawa Tengah sudah mencoba membuat paket-paket kebijakan yang mencakup aspek market ini dengan masukan berbagai pihak seperti pemerintah, perguruan tinggi, dan NGO,” jelas Sujarwanto.
Pemerintah Daerah Jawa Tengah juga melakukan pendampingan bagi sektor komersial dan industri di Jawa Tengah yang bertransisi menuju industri hijau. “Ada beberapa langkah yang ditempuh untuk penerapan industri hijau yaitu pelatihan, memfasilitasi sertifikasi bagi industri hijau juga pemberian penghargaan industri hijau. Beberapa perusahaan di Jawa Tengah mendapat penghargaan ini,” jelas M. Arif Sambodo, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah.
Peluang sektor komersial dan industri untuk mengadopsi PLTS semakin luas dengan tersedianya berbagai skema investasi PLTS seperti cicilan maupun sewa. Anggita Pradipta, Head of Marketing SUN Energy menceritakan bahwa ada tiga skema yang ditawarkan SUN Energy bagi calon pelanggan PLTS atap yaitu Solar Purchase, Performance Based Rental, dan Solar Leasing.
“Untuk sektor komersial dan industri yang ingin memasang panel surya namun terkendala di biaya pemasangan awal, kami rekomendasikan untuk mengambil skema performance based rental. Dengan skema ini, pelanggan akan terikat kontrak selama 15-25 tahun, dimana seluruh biaya pemeliharaan unit PLTS akan menjadi tanggungan SUN Energy, setelah kontrak berakhir baru aset menjadi milik customer,” jelas Anggi.