Jakarta, 28 Oktober 2021 – Beberapa hari menjelang COP 26 di Glasgow, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Climate Transparency Report, Profil Negara Indonesia 2021. Secara khusus, laporan tahunan tentang aksi iklim negara-negara G20 ini, menyoroti aksi iklim Indonesia yang meliputi adaptasi, mitigasi dan mobilisasi keuangan untuk penanganan perubahan iklim.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam sambutannya menyampaikan bahwa peluncuran laporan Climate Transparency ini sangat relevan dengan COP26 karena laporan ini mengukur pencapaian aksi iklim Indonesia apakah selaras target Persetujuan Paris atau tidak.
“Waktu kita tinggal kurang dari satu dekade untuk memastikan kenaikan temperatur global di bawah 1,5 derajat celcius. Indonesia juga disorot selain karena kita negara anggota G20, juga karena Indonesia berada di peringkat 10 besar negara penghasil emisi terbesar di dunia,” jelas Fabby.
Untuk itu, menurut Emil Salim, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI yang juga merupakan pakar di bidang lingkungan hidup, para pembuat kebijakan di Indonesia perlu menetapkan kebijakan politik yang mampu menurunkan emisi karbon dan mencapai netral karbon pada tahun 2050 demi kelangsungan hidup generasi mendatang.
“Nasib generasi muda pada tahun 2050 tergantung pada keputusan politik yang kita buat sekarang. Jangan hanya memikirkan keuntungan ekonomi saat ini, karena generasi muda ini yang akan menanggung konsekuensi dari pilihan yang tidak mereka buat. Pikirkan apa yang akan terjadi pada bangsa Indonesia apabila dampak perubahan iklim semakin buruk,” ucap Emil Salim.
Memaparkan laporan aksi iklim Indonesia, Lisa Wijayani, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR menggarisbawahi bahwa aksi iklim Indonesia masuk dalam kategori “highly insufficient” atau sangat tidak memadai dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Penggunaan energi fosil mencapai 82% pada tahun 2020 membuat sektor energi sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di indonesia (45,7% selain emisi dari hutan dan penggunaan lahan).
Berdasarkan temuan Climate Transparency, Lisa menjelaskan bahwa tahun 2020 seharusnya menjadi puncak penggunaan batubara dan mulai tahun 2030-2040 penggunaannya harus sedikit demi sedikit dikurangi hingga tidak lagi digunakan.
“Selain itu, untuk mengurangi emisi dari sektor transportasi, Indonesia harus meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 40-60% pada tahun 2040 atau 70-90% pada tahun 2050,” jelas Lisa terkait sub sektor penghasil emisi terbesar kedua yakni transportasi.
Laporan Climate Transparency juga mendorong penciptaan ekosistem yang mendukung pengembangan energi terbarukan di antaranya dengan menghentikan subsidi pada energi fosil.
“Pencabutan subsidi akan membantu energi terbarukan bersaing dengan energi fosil,” imbuh Lisa.
Dari sisi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan, Budi Haryanto, Epidemiologis Universitas Indonesia, memaparkan tingginya angka kematian akibat kenaikan suhu bumi.
“Diperkirakan pada 2030-2050, perubahan iklim akan menyebabkan tambahan kematian per tahun sebanyak ¼ juta orang akibat malnutrisi (kekurangan nutrisi), malaria, stres akibat gelombang panas,” terangnya.
Lebih jauh, Budi mendorong agar pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan mempunyai data kesehatan yang berhubungan dengan adaptasi perubahan iklim.
Secara frekuensi, bencana akibat iklim semakin meningkat. Hal ini disampaikan oleh Raditya Jati, Deputi Sistem dan Strategi, Badan Nasional Penanganan Bencana. Ia menambahkan, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki risiko cukup tinggi terhadap bencana alam.
“7 dari 10 bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi dan frekuensinya tahun ini lebih tinggi dari tahun 2020,” tutur Raditya.
Agar emisi GRK berkurang secara signifikan, transformasi juga perlu dilakukan di sektor ekonomi, dengan beralih ke ekonomi hijau. Eka Chandra Buana, Direktur Perencanaan Makro Ekonomi dan Analisis Statistik, Bappenas menyampaikan bahwa ekonomi hijau menjadi game changer bagi perekonomian Indonesia pasca Covid-19. Menurutnya, pembangunan rendah karbon dengan memanfaatkan energi terbarukan akan menjadi tulang punggung untuk mencapai target ekonomi hijau Indonesia dan net-zero emission pada tahun 2060.
“Perhitungan Bappenas, untuk mencapai net-zero pada tahun 2060, Indonesia harus meningkatkan penggunaan EBT hingga 70% pada tahun 2050, dan 87% pada 2060. Perhitungan ini masih dalam proses,” tutur Eka Chandra.
Suksesnya pembangunan rendah karbon tentu memerlukan peran serta semua pihak, terutama pemerintah kota. Bernardia Tjandradewi, Sekretaris Jenderal United Cities and Local Governments Asia Pacific (UCLG ASPAC) mengemukakan tanggung jawab pemerintah kota menjadi vital, terutama secara statistik, 60-80% emisi gas rumah kaca di dunia ini dihasilkan di daerah perkotaan.
“UCLG ASPAC mendorong peran para kepala daerah (walikota) dalam penanganan perubahan iklim dengan memberikan pelatihan pada pemerintah kota tentang perencanaan aksi iklim, akses pada pembiayaan terkait iklim, dan adopsi dan pengembangan perangkat monitoring,” jelas Bernardia.
Apapun solusi untuk menurunkan emisi GRK, termasuk melakukan transisi energi menuju energi terbarukan, haruslah dilakukan secara adil. Desi Ayu Pirnasari, Peneliti di Universitas Leeds, menekankan transisi yang berkeadilan akan membentuk ketahanan iklim dan inklusi sosial di masyarakat.
“Strategi hendaknya mengedepankan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan ownership (kepemilikan) pada agenda yang kita buat, untuk membantu kita mencapai target. Keadilan iklim tidak hanya pada mitigasi atau aksi, namun juga untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang rentan,” tegasnya.
1 Comment
Informatika
Bagaimana Institute for Essential Services Reform (IESR) menggambarkan Climate Transparency Report, Profil Negara Indonesia 2021, dan apa fokus utama dari laporan tersebut menjelang COP 26 di Glasgow?
Visit us telkom university