Sepanjang tahun 2021, merespon desakan global terhadap aksi iklim yang selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia telah memutakhirkan beberapa dokumennya seperti NDC yang menargetkan netral karbon di tahun 2060 lebih cepat dan merilis ‘green’ RUPTL yang diklaim memberi ruang lebih banyak bagi energi terbarukan. Terbaru, Indonesia mengumumkan untuk mengkaji peluang memensiunkan PLTU batubara lebih dini. Meski belum ambisius untuk sejalan dengan target Persetujuan Paris, keputusan Indonesia tersebut patut diapresiasi dan dikawal implementasinya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Arifin Tasrif, pada gelaran KTT Perubahan iklim COP-26, menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Statement. Menteri ESDM menyetujui 3 dari 4 butir deklarasi yaitu, (1) mendorong pengembangan energi terbarukan & efisiensi energi; (2) transisi meninggalkan PLTU pada 2040an; dan (3) memperkuat upaya domestik dan internasional untuk mendukung transisi energi yang berkeadilan.
Arifin menjelaskan bahwa Indonesia sedang melakukan simulasi untuk melakukan pensiun PLTU sebesar 9,2 GW sebelum 2030. Sebanyak 3,7 GW dari 9,2 GW pembangkit akan pensiun dini dan diganti dengan pembangkit listrik energi terbarukan. Rencana progresif ini menuntut peta jalan yang komprehensif untuk transisi batubara.
Ditemui terpisah, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menegaskan bahwa transisi untuk meninggalkan batubara di Indonesia perlu dipersiapkan dengan matang.
Menurutnya, peta jalan transisi batubara yang komprehensif perlu disiapkan untuk memastikan bahwa transisi yang terjadi adalah transisi yang mempertimbangkan kebutuhan semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari ditinggalkannya batubara untuk suplai energi, serta memastikan semua orang mendapat akses energi yang tangguh (reliable) dan terjangkau (affordable).
Dalam acara “From Coal to Renewables: the Energy Transition in Emerging Markets” yang diselenggarakan oleh Accenture dalam rangkaian COP-26 di Glasgow, Fabby Tumiwa menjelaskan, sebagai salah satu negara penghasil batubara terbesar di dunia, 60% batubara Indonesia diperuntukkan untuk ekspor. Hal penting lain yang harus dicatat adalah, 85% produksi batubara Indonesia hanya terkonsentrasi pada 4 provinsi.
“Peran batubara di Indonesia bukan sekedar sebagai penghasilan bagi negara, namun juga penghasilan pokok untuk provinsi penghasil batubara. Ketika dilakukan transisi, dan batubara perlahan akan ditinggalkan, daerah-daerah ini perlu diperhatikan sebab jika tidak akan terancam collapse,” jelas Fabby.
Sebagai negara yang banyak bergantung pada energi fosil dan dengan situasi yang cukup kompleks, keterbukaan pemerintah untuk melakukan dekarbonisasi pada tahun 2060 atau lebih cepat, dinilai sebagai suatu maju dan dapat dicapai oleh Fabby Tumiwa.
“86% listrik di Indonesia dihasilkan oleh PLTU batubara. Melakukan transisi ke energi terbarukan dalam situasi ini tentu tidak mudah. Namun bukan berarti tidak mungkin,” tutur Fabby.