Masa puncak produksi Blok Cepu yang tadinya mencapai 3-5 tahun, akan berkurang menjadi hanya 1,5-2 tahun.
KATADATA – Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, Jawa Timur saat ini menjadi tumpuan produksi minyak mentah nasional. Blok minyak ini diandalkan untuk bisa mengejar target lifting tahun ini. Selama satu dekade terakhir, pemerintah kesulitan mengejar target lifting minyak yang sudah ditetapkan setiap tahunnya.
Saat ini pemerintah mengupayakan target lifting tahun ini bisa tercapai. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, lifting minyak ditargetkan 825.000 barel per hari (bph). Hingga akhir semester I, realisasi lifting minyak bumi hanya sebesar 763.600 bph. Meski belum bisa mengejar target, pemerintah yakin hingga akhir tahun bisa tercapai, dengan mengandalkan Blok Cepu yang sudah mulai berproduksi pada kuartal II.
Produksi Blok Cepu akan mencapai puncak dalam beberapa bulan di akhir tahun. Puncak produksinya mencapai 165.000 bph. Masalahnya tambahan produksi ini masih belum bisa mengejar target. Jika puncak produksinya dimulai Oktober, kemungkinan lifting minyak hanya akan mencapai 805.000 bph.
Meski demikian, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melihat masih ada potensi di blok tersebut. Ternyata puncak produksi Blok Cepu masih bisa digenjot hingga 205.000 bph. Peluang ini langsung ditangkap, Blok Cepu pun akan dipaksa berproduksi hingga 205.000 bph. Blok Cepu dipaksa berproduksi lebih demi mengejar target lifting yang dalam 10 tahun terakhir tidak pernah tercapai dan penerimaan negara dari sektor migas.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menyadari bahwa paradigma pemanfaatan energi sebagai pendapatan negara harus diubah. “Selama ini energi hanya menjadi komoditas utama pemerintah dalam mendapatkan pendapatan negara,” kata Direktur Jenderal Migas I.G.N. Wiratmadja saat meluncurkan buku “Peta Jalan Kebijakan Gas 2014-2030” di Hotel Mercure, Surabaya, akhir bulan lalu. Namun, tetap saja untuk produksi minyak digenjot maksimal.
(Baca: Puncak Produksi Blok Cepu Terancam Mundur ke Awal 2016)
Memaksa produksi lebih tinggi ini pasti memiliki risiko. Sugeng Suparwoto, Direktur PT Surya Energi Raya, mengatakan peningkatan volume dapat membuat masa puncak produksi Blok Cepu jadi lebih singkat. Peningkatan volume produksi yang hanya 24 persen akan membuat masa puncak produksi berkurang hingga lebih dari 50 persen. “Semula 165.000 bph kurang lebih 3-5 tahun. Kalau dengan sekarang 205.000 bph mungkin 1,5-2 tahun peak production (puncak produksi),” ujar Sugeng kepada Katadata di Jakarta (22/9).
Bukan hanya masa puncak produksinya yang menjadi singkat. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan peningkatan produksi akan menyebabkan cadangan minyak habis lebih cepat. Padahal seharusnya Indonesia bisa berhemat, mengingat cadangan minyak yang ada saat ini sedikit dan konsumsinya meningkat setiap tahun. Data SKK Migas menyebut cadangan minyak nasional saat ini hanya tersisa 3,7 miliar barel. Cadangan ini hanya bisa mencukupi kebutuhan dalam 10 tahun. Sementara penemuan cadangan minyak baru sangat minim. “Kalau perusahaan pompa lebih banyak cadangan minyaknya bisa habis lebih cepat. Padahal harga saat ini rendah,” ujarnya.
Selain masalah cadangan, peningkatan produksi di tengah harga minyak yang rendah, menimbulkan potensi kehilangan pendapatan yang besar. Penerimaan negara yang didapat dari produksi minyak saat harga rendah lebih kecil dibandingkan saat harga normal, apalagi saat harga sedang tinggi.
Rovicky Dwi Putrohari, Penasehat Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), menyarakan dengan harga yang rendah saat ini, sebaiknya produksi minyak dikurangi. Meningkatkan produksi pada saat harga rendah sering dinilai malah merugikan. “Kalau harga tinggi baru nggenjot produksi” ujarnya.
Pihak operator Blok Cepu ExxonMobil Indonesia menyatakan sudah menyadari adanya risiko yang muncul dengan peningkatan produksi puncak Blok Cepu. Bahkan, perusahaan ini menyatakan telah mempersiapkan manajemen risiko untuk menghadapi fluktuasi harga minyak dan kendala lainnya. Erwin Maryoto, vice president public & government affairs ExxonMobil Indonesia menyampaikan bahwa terkait resiko harga jual minyak yang rendah saat ini sudah melakukan evaluasi dan rencana yang baik.
“Untuk mengelola risiko yang berkaitan dengan harga, ExxonMobil senantiasa mengevaluasi rencana tahunan serta rencana investasi dalam berbagai skenario harga,” ujarnya kepada Katadata (23/9).
Dari sisi nilai, peningkatan produksi membuat pendapatan dari Blok Cepu bisa lebih tinggi, mengingat harga minyak yang sedang rendah saat ini. Dalam perencanaan pengembangan (plan of development/PoD) awalnya, puncak produksi ditargetkan 165.000 bph dengan menggunakan asumsi harga minyak US$ 80 per barel. Dengan asumsi ini, nilai pendapatan dari hasil produksi mencapai US$ 13,2 juta.
Dengan harga minyak saat ini, di bawah US$ 50 per barel, maka pendapatannya bisa lebih rendah, menjadi hanya US$ 8,3 juta per hari. Setiap kontraktor pasti berharap peningkatan produksi bisa membuat pengembalian investasinya di blok migas tersebut bisa tercapai sesuai jadwal. Surya Energi juga berharap peningkatan produksi akan membuat pengembalian investasi yang sudah dikeluarkan di blok tersebut bisa sesuai jadwal.
Surya Energi merupakan pemegang 75 persen saham PT Asri Dharma Sejahtera. Adapun Dharma Sejahtera adalah perwakilan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro yang memiliki saham partisipasi Blok Cepu sebesar 4,5 persen. Sementara kepemilikan saham terbesar di blok ini dipegang oleh ExxonMobil Indonesia, sebanyak 45 persen dan PT Pertamina (Persero) 45 persen.
Editor: Safrezi Fitra
Sumber: katadata.co.id.