PLN membutuhkan anggaran hingga Rp 130 triliun per tahun.
JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan menunda penyertaan modal negara (PMN) terhadap 23 BUMN, termasuk ke PT PLN (Persero) dalam postur APBN 2016. Penundaan PMN itu dikhawatirkan dapat mengganggu kinerja PLN, khususnya dalam upaya membangun pembangkit dan transmisi listrik baru dalam upaya meningkatkan produksi listrik nasional.
Pasalnya, pemerintahan saat ini memiliki megaproyek pembangunan pembangkit listrik sebesar 35.000 megawatt (MW). PLN oleh pemerintah mendapat tugas membangun pembangkit dengan total 5.000 MW dan transmisi kelistrikan sepanjang 42.000 kilometer (KM).
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reforms (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, program 35.000 MW merupakan salah satu proyek andalan Presiden Jokowi guna mengatasi krisis listrik yang terjadi di Indonesia. Megaproyek tersebut ditargetkan rampung pada 2019.
“Kalau PMN tidak bisa segera cair, pembangunan pembangkit dan transmisi akan terhambat. Sebab untuk mengerjakan proyek tersebut, PLN membutuhkan dana yang tidak sedikit,” ujar Fabby di Jakarta, Minggu (8/11).
Ia menyebutkan, guna menjalankan proyek kelistrikan 35.000 MW tersebut, PLN membutuhkan anggaran hingga Rp 130 triliun per tahun. Menurutnya, dari kebutuhan anggaran sebesar itu, perseroan diperkirakan hanya mampu memenuhinya senilai Rp 50 triliun.
Oleh sebab itu, sisanya harus bisa ditutupi dengan cara meminjam kepada pihak luar PLN, baik itu dari dalam maupun luar negeri. Jadi, guna menekan besaran dana pinjaman, PLN membutuhkan PMN tersebut.
“Sebenarnya PMN senilai Rp 10 triliun bagi PLN pada 2016 masih terbilang kecil jika dibandingkan kebutuhan pembangunan PLN. Menurut perhitungan saya, setidaknya PLN membutuhkan PMN hingga Rp 25 triliun, barulah program kelistrikan bisa berjalan dengan baik,” ucapnya.
Oleh sebab itu, ia menyebutkan, bila PMN tidak segera diturunkan, PLN akan kesulitan dalam menyukseskan program kelistrikan pemerintah. Menurutnya, efek dari terhambatnya program kelistrikan akan terlihat dalam dua hingga tiga tahun mendatang.
Saat ini saja, menurut Fabby, dari 23 sistem tenaga listrik yang ada, 11 di antaranya telah mengalami krisis dan defisit. Jadi, bila tidak ditanggulangi segera, efeknya akan lebih besar lagi.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Eddy Ganefo menambahkan, dengan tidak dimasukkannya PMN dalam postur APBN 2016 dikhawatirkan dapat menghambat perputaran roda ekonomi Indonesia. Sebab menurutnya, bila PLN tidak mendapatkan tambahan dana untuk membangun pembangkit dan transmisi listrik, peluang swasta untuk terlibat sebagai kontraktor akan ikut tertutup.
Namun menurutnya, bila memang PLN tidak sanggup untuk menjalankan proyek kelistrikan karena minimnya anggaran, bisa diserahkan ke investor swasta untuk mengerjakannya. Dengan begitu, ia menambahkan, dapat mengurangi beban anggaran pemerintah.
“Dengan dibangun swasta, akan tercipta persaingan yang sehat sehingga masyarakat tidak khawatir akan terjadinya harga listrik yang tinggi karena tidak dimonopoli lagi oleh PLN,” ujar Eddy.
Sebelumnya, dalam RAPBN 2016, pemerintah mengajukan anggaran PMN untuk 23 BUMN senilai Rp 40 triliun. Dari jumlah tersebut, PLN direncanakan mendapat Rp 10 triliun. Namun oleh DPR, pembahasan soal PMN ditunda dan akan kembali dibahas pada APBN Perubahan 2016.
Sumber: Sinar Harapan.