Jakarta, 24 Februari 2022 – Perkembangan energi surya di Indonesia sejak 2018 terbilang meningkat meski tidak signifikan. Kementerian ESDM mencatat, terdapat kenaikan kapasitas terpasang untuk PLTS atap menjadi 48,79 MW pada akhir 2021 dari hanya 1,6 MW pada 2018. Perkembangan progresif juga terjadi pada PLTS skala utilitas, dengan diperolehnya harga listrik PLTS terendah di bawah 4 sen USD/kWh. Salah satu penyebab meningkatnya adopsi PLTS, selain karena teknologi yang semakin berkembang, juga disebabkan oleh adanya kebijakan Peraturan Menteri ESDM nomor 49 tahun 2018 sebagai aturan resmi pertama yang tentang PLTS atap.
Institute for Essential Services Reform (IESR) memproyeksikan peningkatan kapasitas PLTS dalam 10 tahun mendatang yang berasal dari penetapan target PLTS oleh pemerintah sebesar 4,7 GW di RUPTL 2021-2030. Berlakunya Peraturan Menteri ESDM nomor 26 tahun 2021 memberikan harapan baru bagi pelanggan PLN yang akan memasang PLTS atap sebab aturan baru ini dianggap menguntungkan semua pihak.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), sekaligus Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) dalam webinar bertajuk “Indonesia Solar Chapter: Unlocking the Unlimited Potential to Embrace a Greener Future” (24/2/2022) menyatakan bahwa energi surya terus berkembang di Indonesia baik untuk skala rumah tangga maupun utilitas.
“Dalam tahun-tahun mendatang, energi surya memiliki potensi yang menjanjikan di Indonesia karena pemerintah memiliki target penggunaan PLTS yang cukup banyak seperti target 3,6 GW pada 2025 dan penggantian PLTD dengan PLTS dan baterai,” ungkapnya.
Namun Fabby menggarisbawahi sejumlah tantangan perkembangan PLTS di tanah air seperti kerangka kebijakan yang belum cukup kuat, juga peran PLN sebagai pembeli tunggal (single offtaker) untuk listrik yang dihasilkan sehingga perkembangan PLTS sangat bergantung pada kondisi grid PLN. Kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk panel surya juga membuat investor kurang percaya diri untuk berinvestasi di Indonesia.
“Industri panel surya dalam negeri belum terlalu matang untuk menghasilkan modul surya tier-1. Padahal untuk proyek PLTS yang bankable diwajibkan untuk menggunakan modul tier-1,” jelasnya.
Fendi Liem, Founder/Managing Director PT Selaras Daya Utama (SEDAYU), sepakat bahwa kejelasan aturan dari pemerintah menjadi pemicu pertumbuhan eksponensial dari PLTS atap. Keluarnya Peraturan Menteri ESDM 49/2018 tidak dapat dipungkiri memberikan jaminan rasa aman baik pada investor maupun calon konsumen PLTS atap sejak tahun 2018 lalu. Fendi mengingatkan agar seluruh stakeholder pemerintah melakukan percepatan koordinasi dan sinkronisasi saat ada aturan baru.
“Seringkali kami menemui aturan yang tidak sinkron antar lembaga di pemerintah. Hal ini tentu menimbulkan kesan kurang baik dari pihak pengusaha. Keinginan untuk berinvestasi pun akhirnya bisa berkurang karena aturan antar lembaga pemerintah sendiri tidak selaras,” jelas Fendi.
Fendi melihat tahun 2022 merupakan momentum naiknya PLTS atap setelah Permen ESDM 26/2021 berlaku yang memberikan lebih banyak keuntungan bagi pelanggan PLTS atap, jangan sampai momentum ini terlewat begitu saja. Salah satu pekerjaan rumah pemerintah untuk menangkap momentum ini dengan memperkuat kerangka kebijakan sehingga pengembang maupun konsumen tidak lagi ragu-ragu untuk berinvestasi pada PLTS.
Erik Peper, Country Director Indonesia Infunde Development, melihat pengembangan energi surya untuk percepatan transisi energi di Indonesia adalah suatu hal yang tepat. Namun terdapat sejumlah kendala seperti skalabilitas, perizinan lahan, dan pengelompokan proyek. Erik juga melihat masih ada kegamangan dari Pemerintah Indonesia untuk menggunakan teknologi energi bersih.
“Transisi energi harus disiapkan dengan hati-hati dan melihat kemungkinan perkembangan situasi di masa depan. Teknologi yang saat ini murah/ekonomis bisa jadi mahal di waktu mendatang. Konsekuensi finansial dari transisi energi harus dilihat sebagai investasi karena akan memberi manfaat di masa depan.”