Pidato Jokowi Soal Energi di COP21 Paris Masih Meragukan. Kenapa?

Presiden Joko Widodo telah menyampaikan pandangan Indonesia tentang penanganan perubahan iklim dalam sesi Leaders Event pada Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP) ke-21 di Paris, Perancis pada Senin (30/11/2015)sore waktu setempat atau Senin malam WIB.

Sesi Leaders Event merupakan sesi penyampaian pandangan masing-masing negara anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tentang komitmen dan penanganan perubaha iklim global dalam COP21 tersebut. Sebanyak 150 kepala negara dan kepala pemerintah dijadwalkan menyampaikan pendapat dan pandangannya.

Presiden Joko Widodo menyampaikan pandangan Indonesia tentang penanganan perubahan iklim dalam sesi Leaders Event pada Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP) ke-21 di Paris, Perancis pada Senin (30/11/2015)sore waktu setempat atau Senin malam WIB. Foto : Delegasi RI COP21
Presiden Joko Widodo menyampaikan pandangan Indonesia tentang penanganan perubahan iklim dalam sesi Leaders Event pada Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP) ke-21 di Paris, Perancis pada Senin (30/11/2015)sore waktu setempat atau Senin malam WIB. Foto : Delegasi RI COP21

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 29% dibawah business as usual pada tahun 2030 dan 41% dengan bantuan internasional.

“Penurunan emisi dilakukan dengan mengambil langkah, di bidang energi, dengan pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif, peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23% dari konsumsi energi nasional tahun 2025. Pengolahan sampah menjadi sumber energi,” katanya.

Menanggapi pidato Jokowi tersebut, Jalal, Reader on Political Economy and Corporate Governance Thamrin School of Climate Change and Sustainability melihat ketidakjelasan sektor produksi yang mendapat pengalihan subsidi BBM.

 “Tidak jelas benar apa yang disebut sebagai ‘sektor produktif’ itu, dan ini bisa saja berarti sektor yang menggunakan tetap membuat atau menggunakan bentuk-bentuk energi yang tidak terbarukan. Pernyataan tentang bauran energi terbarukan sebesar 23% tetap berarti 77% energi yang kita pergunakan akan berasal dari fosil,” katanya.

“Lagi pula, pernyataan ‘sumber energi terbarukan hingga 23%’ itu juga sumir. Pertama, karena dalam regulasi disebutkan EBT (energi baru terbarukan), energi baru dan terbarukan, yang bisa berarti tidak seluruhnya merupakan energi terbarukan.Fracking, sebagai misal, bisa dikatakan sebagai sumber energi baru, namun jelas tidak terbarukan,” lanjutnya.

Jalal melihat hingga saat ini hampir seluruh pakar energi menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia tidak menunjukkan keseriusan sama sekali terkait dengan pengembangan EBT. “Dari 35.000 MW pembangkit listrik yang hendak dibuat, jauh lebih banyak yang menggunakan batubara sebagai sumber energinya,” tambahnya.

Sedangkan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform(IESR) yang sedang berada di Paris mengikuti COP21 menyayangkan Jokowi dalam pidatonya tidak menyatakan dengan jelas dan lebih rinci pengembangan dan implementasi energi bersih di Indonesia.

“Presiden harus bicara bahwa Indonesia juga punya ambisi untuk mengembangkan energi bersih. Secara realistis tidak mungkin Indonesia menghilangkan batubara dalan 15-20 tahun mendatang,” kata Fabby yang dihubungi Mongabay.

Fabby mengutip laporan International Energy Agency (IEA) yang menyatakan bila komitmen global untuk menangani perubahan iklim dengan menjaga kenaikan temperatur dibawah 2 derajat celcius maka penggunaan dua per tiga sumber energi fosil global saat ini harus dihentikan.

“Artinya untuk negara seperti Indonesia perlu akselerasi untuk pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan. Jadi salah satu kuncinya adalah pengurangan emisi dari penggunaan batubara (sebagai sumber energi) dengan penerapan clean coal,”katanya.

Apalagi Presiden Jokowi pada rangkaian kegiatan di COP21 Paris, menghadiri peluncuran acara Mission Innovation on Clean Energy yang diluncurkan Presiden Barack Obama bersama 19 negara lain termasuk Indonesia dalam side event COP21 Paris.

Mengenai pengalihan subsidi ke sektor produktif, Fabby mengatakan penghapusan subsidi BBBM memang telah dilakukan Presiden Jokowi, tetapi pengalihan subsidi BBM ke pengembangan energi terbarukan sangat kecil, terbukti anggaran Kementerian ESDM untuk energi terbarukan masih kecil.

“Kalau pertumbuhan energi terbarukan masih seperti sekarang, maka target bauran 23% sulit tercapai. Untuk mencapai target 23 persen, pengembangan energi terbarukan harus tumbuh 2-3 kali dari sekarang. Selain untuk pembangkit listrik, pemanfaatan energi terbarukan untuk transportasi juga penting, tetapi belum optimal optimal,” lanjutnya.

Sementara mengenai pengolahan sampah untuk energi telah diwacanakan sejak 10 tahun terakhir, tetapi belum ada proyek city waste yang berhasil di Indonesia. “Sehingga masih pekerjaan rumah dalam negeri untuk pengembangan energi terbarukan,” tambahnya.

Jokowi-Pav-Indonesia-3
Presiden Joko Widodo mengunjungi Pavilion Indonesia usai menyampaikan pandangan Indonesia tentang penanganan perubahan iklim dalam sesi Leaders Event pada Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP) ke-21 di Paris, Perancis pada Senin (30/11/2015)sore waktu setempat atau Senin malam WIB. Foto : Delegasi RI COP21

Senada dengan itu, Walhi melihat pembangunan sektor energi 35.000 megawatt dalam RPJMN 2015-2019, sebagian besar masih mengandalkan batubara, energi yang kotor yang justru akan semakin menaikkan emisi Indonesia.

“Bagaimana mungkin target menurunkan emisi karbon 29% pada 2030 dapat tercapai, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara, justru meningkat 2 kali lipat dari 201 juta ton CO2 pada 2015 menjadi 383 juta ton CO2 pada 2024. Artinya, komitmen yang disampaikan oleh Presiden meragukan,” kata Direktur Walhi, Abetnego Tarigam dalam siaran persnya.

“Pertanyaan kritisnya dari pidato yang disampaikan hari ini di Paris adalah jika terdapat gap antara RPJMN dengan INDC Indonesia yang telah disubmit ke UNFCCC sebagai sebuah komitmen Indonesia menurunkan emisi global, akan kah ada masa transisi untuk menjembatani kotradiksi antara komitmen penurunan emisi dengan kebijakan pembangunan yang memproduksi emisi,” tambahnya.

Sumber: Mongabay.

Share on :

Leave a comment