Oleh Lutfi Anshori, Reza Ramadhan, Surya Kusuma
Isu nasionalisme gagal mengusir investor asing dari Blok Mahakam. Pertamina “hanya” kebagian 70 persen saham di Blok Mahakam, dibagi lagi dengan Pemda Kalimantan Timur yang kebagian jatah 10 persen. Negara dan rakyat di daerah mendapat apa?
Keputusan pemerintah untuk memberikan jatah saham atau hak partisipasi (participating interest) kepada Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation sebesar 30 persen, dan kepada BUMN minyak dan gas PT Pertamina (Persero) dan Badan Usaha Milik Daerah sebesar 70 persen, dinilai agak mengecewakan oleh sebagian kalangan yang mengkritisi keputusan itu. Dengan komposisi tersebut, sebenarnya Pertamina hanya akan kebagian 60 persen saham, sementara BUMD memiliki hak partisipasi sesuai peraturan pemerintah sebesar 10 persen.
Sebelumnya, Pertamina yang digadang-gadang bakal mengelola 100 persen Blok Mahakam yang terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, setelah berakhirnya kontrak kerja sama pemerintah dengan Total E&P Indonesie pada 2017. Ekspektasi ini kian menyala dan dibakar lagi dengan sentimen nasionalisme dari segenap penjuru. Bagi pendukung ambisi pengelolaan 100 persen Blok Mahakam oleh Pertamina, tekad ini dianggap mencerminkan kedaulatan dan kemandirian energi yang sedemikian lama hanya sebatas wacana.
Sayangnya ambisi besar itu kandas saat pengumuman pemerintah pada 19 Juni 2015. Padahal, harapannya bila Pertamina mendapatkan 100 persen saham serta Total dan Inpex keluar dari Mahakam, maka Pertamina seyogianya masih menguasai 90 persen, dan BUMD tetap kebagian 10 persen.
Pada titik ini terjadi kebingungan informasi bak saling lempar bola. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kabarnya sudah menyerahkan 100 persen pengelolaan Blok Mahakam kepada Pertamina, namun justru Pertamina yang kemudian “terpaksa” memutuskan untuk membagi saham kepada Total dan Inpex.
Pertamina melalui Direktur Utama Dwi Soetjipto memberikan alasan bahwa Total dan Inpex memang harus tetap diajak kerja sama demi keberlanjutan produksi migas di Blok Mahakam. Total dan Inpex masih punya beban tanggungan untuk menyelesaikan pekerjaan plan of development (PoD) pada 2016 dan 2017. Setelah keputusan pemerintah keluar, Pertamina merencanakan investasi US$ 2,5 miliar (Rp 33,3 triliun) per tahun untuk pengelolaan Blok Mahakam.
Perlawanan terhadap keputusan ini muncul dengan mengusung semangat nasionalisme. Marwan Batubara, Direktur Indonesian Resources Studies mendesak agar pemerintah segera membatalkan rencana penyerahan 30 persen saham Blok Mahakam kepada Total dan Inpex. Alasannya, langkah itu akan mengurangi kesempatan bagi Pertamina untuk memperoleh keuntungan maksimal, 100 persen.
“Dengan menjadi pemegang saham mayoritas tunggal Mahakam maka Pertamina akan menjadi penghasil migas terbesar di Indonesia, menjadi tuan di negeri sendiri dan leverage perusahaan meningkat, sehingga perannya sebagai pendukung utama ketahanan energi nasional dapat terwujud,” katanya.
Menurut Marwan, dengan masih mengakomodasi Total dan Inpex, terbukti pemerintah telah tunduk pada pihak asing yang selama ini terus memaksakan keinginan untuk memiliki saham di Blok Mahakam. Arogansi sikap kontraktor asing seperti ini seharusnya dilawan dengan konsistensi sikap yang memihak bangsa sendiri untuk memenuhi ketahanan energi nasional, sambil menunjukkan martabat dan kedaulatan bangsa. “Bukan justru sikap yang menunduk dan patuh, sekaligus mempertontonkan kelemahan bangsa Indonesia di hadapan bangsa lain. Jangan-jangan ada peran pemburu rente yang mempengaruhi.”
Ia juga memprotes pejabat pemerintah yang menyatakan perlu memberikan kesempatan kepada Total dan Inpex tetap memiliki saham di Blok Mahakam agar produksi migas tidak turun. Pernyataan itu secara tidak langsung menganggap produksi akan turun jika dikelola Pertamina. “Pernyataan ini merupakan bagian dari propaganda asing dan sekaligus merupakan bentuk penghinaan pada kemampuan bangsa Indonesia,” kata Marwan.
Semangat serupa juga disampaikan Kurtubi, anggota Komisi VII DPR dari Partai Nasional Demokrat. Menurut dia, setelah berakhirnya kontrak Total di Blok Mahakam seharusnya seluruh aset yang ada di pertambangan migas itu menjadi milik negara. “Negara mempunyai hak untuk mengakuisisi kepemilikan saham migas di Blok Mahakam 100 persen.”
Kurtubi memberi contoh bahwa Pertamina memiliki kapasitas untuk mengelola Blok Mahakam secara mandiri. Itu terbukti di Blok Pertamina di Blok West Madura yang sebelumnya sempat dikelola Pertamina bersama China National Offshore Oil Company dan Kodeco Energy Co Ltd sejak 1981. Kemampuan sama ditunjukkan Pertamina di Blok Offshore North West Java (ONWJ).
“Bila alasan pembagian saham dengan proporsi 70:30 dengan Total dan Inpex karena Pertamina dijanjikan share lapangan milik Total di luar negeri, itu harus dijelaskan sedetail-detailnya.”
Betapa pun, keputusan sudah dibuat. Namun, ada beberapa hal yang berpotensi menciptakan masalah besar di kemudian hari. Pemberian hak partisipasi kepada Pemerintah Daerah Kalimantan Timur sebesar 10 persen saham ternyata menciptakan persoalan baru dari sisi pendanaan. Pemda Kaltim mengaku tidak mampu kelimpahan hak partisipasi sebesar 10 persen yang memang sudah sesuai regulasi. Dengan APBD Kaltim yang tercatat Rp 15 triliun, maka jatah saham 10 persen tersebut setara dengan anggaran sekitar Rp 5,8 triliun. Pembangunan di Kaltim akan dikorbankan apabila BUMD benar-benar mengambil semua jatah 10 persen saham tersebut.
Memang ada sedikit harapan kemungkinan bantuan pembiayaan dari BUMN infrastruktur PT Sarana Multi Infrastruktur. Tetapi, ini pun masih spekulatif. Anehnya, belakangan Pemda Kaltim justru minta agar jatah sahamnya dinaikkan menjadi 19 persen dari sebelumnya 10 persen, dengan alasan untuk berbagi dengan Kabupaten Kutai Kartanegara.
Permintaan itu tentu agak sulit diterima, selain bertentangan dengan regulasi juga dikhawatirkan akan melibatkan pihak swasta yang tergiur dan berebut memberikan penyertaan modal. Inilah yang tak diinginkan pemerintah pusat. Sudah jamak terjadi, swasta kerap menunggangi hak yang dimiliki daerah yang butuh permodalan. Pada akhirnya, swasta pula yang paling diuntungkan, sedangkan pemerintah daerah hanya gigit jari dan tak mendapatkan apa-apa. Peraturan pemerintah bisa mencegah hal ini terjadi.
Tak semuanya melihat keputusan pemerintah ini dari kacamata nasionalisme. Wahyu Prasetyawan, pengamat ekonomi politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan keputusan pemerintah itu tidak perlu terlalu diributkan. Menurut Wahyu, saham kedua perusahaan migas asing itu memang sebaiknya dipertahankan, setidaknya untuk saat ini, karena mereka yang memiliki jaringan pemasaran dan juga teknologi.
Pergantian kepemilikan saham secara mendadak dalam manajemen dan pengoperasian suatu blok seperti Mahakam memang sebaiknya tidak tergesa-gesa.
“Pertamina sebetulnya malah diuntungkan dengan skema ini, karena tidak harus bekerja sendirian di Blok Mahakam,” kata Wahyu. “Saya melihat pemerintah juga hati-hati menangani ini dengan tidak sekaligus mengambil 100 pesen saham di Blok Mahakam, padahal banyak suara yang menginginkan itu. Pemerintah tampaknya menginginkan keberlanjutan operasi Blok Mahakam ini dan adanya transisi yang lancar (smooth).”
Jadi, di sini sebenarnya yang diutamakan adalah kepentingan pemerintah sendiri. Pertama, pemerintah berkepentingan dengan keberlanjutan produksi Blok Mahakam. Kedua, pemerintah juga berkepentingan menarik bermacam-macam jenis pajak dari kegiatan operasi Blok Mahakam.
“Jadi, ini sama sekali bukan masalah Pertamina atau asing, karena pemerintah juga harus memikirkan posisi fiskalnya jika pemasukan dari Blok Mahakam berkurang. Selain itu, pemerintah juga ingin memberikan sinyal postif kepada dunia internasional bahwa Indonesia masih menjadi tempat yang baik untuk investasi,” kata Wahyu.
“Kalau Pertamina maunya memang memiliki 100 persen saham, karena pasti akan meningkatkan keuntungannya. Tapi Pemerintah punya pertimbangan lain, yaitu menjaga agar iklim investasi tidak bergejolak. Ini penting karena Total adalah pemain besar dalam bisnis migas sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Ini namanya win-win solution.”
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan, persoalan Blok Mahakam seyogianya lebih dilihat pada aspek bisnis ketimbang sentimen nasionalisme. Dalam hal ini, kepentingan pemerintah dan rakyat yang harus lebih dulu diprioritaskan.
Menurut dia, kepentingan pemerintah yang terbesar adalah memastikan arus penerimaan dari Blok Mahakam tidak berkurang. Pemerintah juga harus memastikan pasokan gas tidak menurun, karena kalau merosot maka neraca keseimbangan gas akan berubah dan akan menimbulkan risiko ekonomi. Jadi, pemerintah sangat berkepentingan menjaga stabilitas produksi migas di Blok Mahakam. Hal inilah yang menurut dia harus dipahami semua pihak yang merasa punya kepentingan dengan keberlanjutan Blok Mahakam.
“Kalau terjadi penurunan produksi dan kesulitan menaikkan lagi, maka nasionalisme kita justru terancam,” kata Fabby. “Karena pemerintah terpaksa menambah utang. Ditambah lagi, 50 persen kebutuhan migas kita masih impor dari luar, bagaimana mau bicara nasionalisme?”
Menurut dia, hal mendesak yang perlu dilakukan saat ini adalah kegigihan dalam bernegosiasi yang tertuang dalam kontrak. Pemerintah seharusnya bisa memaksimalkan kepentingan publik yang tercermin di dalam pendapatan pemerintah. Hal inilah yang hilang dalam semua perdebatan menyangkut kelangsungn Blok Mahakam.
Andaikata Pemda Kaltim mengambil jatah 10 persen saham, apa dampaknya kepada rakyat di Kalimantan Timur? Berapa banyak jalan atau sekolah modern yang dibangun dari penerimaan migas? Adakah dampak penerimaan migas terhadap perbaikan infrastruktur jalan, pembangunan universitas kelas dunia, atau transportasi yang memadai untuk masyarakat di sana? Perdebatan harus diarahkan menyangkut penerimaan negara semaksimal mungkin dan kesejahteraan masyarakat lokal. Pertamina sendiri diuntungkan bila mau memanfaatkan situasi ini untuk akuisisi teknologi yang bisa digunakan untuk mengelola blok-blok lain.
Fabby mengatakan, dari sisi pemerintah transisi dari Total dan Inpex ke Pertamina adalah harga mati. Tanpa transisi yang berjalan lancar, maka produksi migas akan turun. Situasi ini menjadi buruk karena tren harga minyak dalam dua tahun mendatang diperkirakan tidak terlalu tinggi.
Bagi dia, keputusan pemerintah untuk memberikan jatah kepada Total dan Inpex sebesar 30 persen adalah pilihan rasional dalam kondisi tidak optimal untuk Pertamina, namun menjadi pilihan rasional untuk menyelamatkan produksi migas Indonesia. “Ini adalah pilihan paling rasional, walaupun untuk sebagian orang dipandang tidak nasionalis.”
Menyangkut Pemda Kaltim, Fabby memberi saran bila memang tidak ada anggaran untuk menerima jatah 10 persen saham, maka bisa saja dilakukan kesepakatan dengan pemerintah pusat menyangkut skema pembiayaannya. Pemerintah pusat bisa memberikan dukungan dengan memberikan pinjaman melalui BUMN infrastruktur PT Sarana Multi Infrastruktur.
Skema itu bisa saja dilakukan karena jaminannya revenue (pendapatan) dari Blok Mahakam. Prosedurnya juga tidak terlalu rumit, pemerintah pusat bisa saja meminjamkan dana Rp 5 triliun tetapi skemanya dibuat jelas. Atau ada juga cara lain, pemda ditanya kemampuannya dalam menyerap porsi saham yang diberikan. Bila kemampuannya hanya 5 persen (bukan 10 persen) porsi saham, maka sisanya yang 5 persen tetap dimiliki Pertamina.
Tetapi Pemda Kaltim tetap punya hak beli setelah periode tertentu. Semuanya diatur dalam perjanjian. Opsi ini bisa menutup celah swasta untuk bermain. Dalam hal ini risiko fiskal bisa ditekan dan tidak terpapar risiko yang terlalu besar seperti harga gas turun dan menyebabkan pemerintah harus nombok.
Peralihan kontraktor Blok Mahakam sesungguhnya memberikan peluang besar bagi pemerintah untuk memperbesar penerimaan negara. Besaran penerimaan negara itu bisa diketahui apabila telah selesai dilakukan penghitungan bagi hasil produksi atauequity to be split (EBTS) berdasarkan cadangan migas Blok Mahakam saat ini. Potensi besarnya penerimaan negara itu bisa juga didapatkan dari produksi minyak bumi dan kondensat Blok Mahakam serta kewajiban penyerahan first tranche petroleum (FTP atau hasil produksi migas awal).
Kontraktor kontrak kerja sama yang bekerja di Blok Mahakam saat ini, yaitu Total yang bermitra dengan Inpex 50 persen – 50 persen, telah menginvestasikan setidaknya US$ 27 miliar atau setara Rp 250 triliun sejak masa eksplorasi dan pengembangannya. Selama masa itu, negara juga telah mendapatkan penerimaan US$ 83 miliar atau sekitar Rp 750 triliun.
Kontrak bagi hasil Blok Mahakam ditandatangani pada tahun 1967, kemudian diperpanjang pada 1997 untuk jangka waktu 20 tahun hingga 2017. Kegiatan eksplorasi yang dilakukan pada 1967 menemukan cadangan minyak dan gas bumi di Blok Mahakam pada 1972 dalam jumlah yang cukup besar. Cadangan (gabungan cadangan terbukti dan cadangan potensial atau 2P) awal yang ditemukan saat itu 1,68 miliar barel minyak dan gas bumi 21,2 triliun kaki kubik (TCF). Dari penemuan itu maka blok tersebut mulai diproduksikan dari lapangan Bekapai pada tahun 1974.
Produksi dan pengurasan secara besar-besaran cadangan tersebut di masa lalu membuat Indonesia menjadi eksportir LNG terbesar di dunia pada 1980 – 2000. Kini, setelah pengurasan selama 40 tahun, sisa cadangan 2P minyak saat ini 185 juta barel dan cadangan 2P gas 5,7 TCF. Pada akhir masa kontrak tahun 2017 diperkirakan masih menyisakan cadangan 2P minyak 131 juta barel dan cadangan 2P gas 3,8 TCF pada tahun 2017. Dari jumlah tersebut diperkirakan sisa cadangan terbukti (P1) gas kurang dari 2 TCF.
Sumber: geotimes.co.id.