Jakarta- Pemerintah harus menjembatani ketidaksepakatan soal revisi harga jual uap/tarif listrik panas bumi dari PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) ke PT PLN (Persero).
Pengamat listrik Fabby Tumiwa, mengatakan dari sisi harga sekarang ini sudah ada dua mekanisme, yakni secara bisnis (B to B) danceiling prices. “Sekarang tinggal bagaimana PGE melakukan negosiasi dengan PLN untuk menentukan harga,” kata dia.
PGE dan PLN sebelumnya meneken interim agreement yang akan berakhir pada 31 Desember 2015. Interim agreement meliputi perjanjian jual beli uap (PJBU) dan perjanjian jual beli listrik (PJBL) delapan unit pembangkit yang dikelola PGE, yaitu tujuh PJBU unit di Kamojang, Jawa Barat dan Lahendong, Sulawesi Utara dan satu PJBL di Kamojang.
Berdasarkan PJBU/PJBL, untuk Kamojang interim agreement US$ 6,2 sen per kilowatthour (kwh). Sedangkan usulan PGE US$ 7,43 sen per kwh dan usulan PLN US$ 3,3 sen per kwh. Sedangkan untuk pembangkit PGE di Kamojang, interim agreement US$ 9,7 sen per kwh. Adapun usulan PGE US$ 10,11 sen per KWH dan PLN US$ 5,82 sen per kwh. Sementara itu untuk Lahendong, interim agreement sebesar US$ 6,2 sen per kwh dengan usulan PGE US$ 11,11 sen per kwh dan permintaan PLN bergerak mulai dari level US$ 2,69 sen hingga US$ 5,34 sen per kwh.
Menurut dia, yang paling utama adalah harga tersebut masuk dalam kategori harga ekonomis dengan mempertimbangkan beberapa aspek seperti pengembalian investasi dan margin bagi perusahaan. “Jika terpenuhi, sebenarnya tidak lagi menjadi masalah. PLN dan PGE silakan secara terbuka melakukan renegosiasi harga sehingga tidak saling merugikan,” katanya.
Direktur Panas Bumi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Yunus Saifulhak, sebelumnya menyatakan proses revisi harga panas bumi bagi PGE berlangsung terlalu lama. Revisi tidak bisa dengan mudah dilakukan lantaran ada beberapa pihak yang khawatir untuk mengambil keputusan.
Whisnu Bagus Prasetyo/WBP
Sumber: beritasatu.com.