JAKARTA – Setelah menuai kritik dari berbagai kalangan, pemerintah akhirnya berencana mengkaji ulang pungutan dana ketahanan energi dari penjualan premium dan solar. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan Menteri ESDM Sudirman Said untuk melihat secara komprehensif pungutan itu.
”Kita masih punya waktu beberapa hari lagi untuk mengkaji. Arahan Presiden dikaji betul seluruh aspek hukumnya, governance -nya, keuangan negara dan segala macam, dan besok (hari ini) Rabu kita akan rapat di Kantor Menko untuk mengkaji ini semua,” tutur Sudirman Said seusai mengikuti rapat terbatas di Kantor Kepresidenan Jakarta kemarin.
Dia menuturkan, secara prinsip pungutan dana ketahanan energi telah diatur dalam Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan Pemerintah (PP) No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Namun pemerintah akan tetap berhati-hati dalam menerapkan kebijakan pungutan dana ketahanan energi.
Sudirman mengungkapkan, dana ketahanan energi sebagian akan digunakan untuk membayar utang subsidi bahan bakar minyak (BBM) serta membangun jaringan listrik di 2.519 desa yang belum teraliri listrik. ”Itu salah satu aspek ketahanan energi kan ? Kita kan punya prioritas (pungutan) itu untuk apa,” tandasnya.
Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla mengatakan, dana pungutan dari penjualan premium dan solar pada prinsipnya digunakan untuk kebutuhan energi. Bisa dimanfaatkan sebagai dana cadangan kenaikan harga BBM, bisa juga digunakan untuk pengembangan sumber energi baru dan terbarukan.
”Semuanya. Pokoknya dana untuk energi. Boleh bantalan, boleh untuk energi terbarukan,” kata Wapres. Dia mencontohkan, dana tersebut bisa digunakan untuk pengembangan biodiesel. Selain itu dana tersebut juga akan digunakan untuk mengadakan cadangan BBM ketika terjadi kenaikan harga bahan bakar yang tinggi sehingga harganya masih terjangkau masyarakat. ”Ini bukan masyarakat menyubsidi pemerintah. Pemerintah tidak pernah disubsidi, tapi itu ada kelebihan kemudian dicadangkan untuk masyarakat juga nanti,” katanya.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia(YLKI) menyarankan pemerintah untuk membuat regulasi bila ingin memungut dana ketahanan energi dari penjualan BBM. Jika tanpa regulasi, pemerintah dianggap telah melanggar aturan perundangundangan. ”Jika pungutan dana ketahanan energi tanpa payung hukum dan badan pengelola, pemerintah telah menerapkan pungutan liar yang rawan korupsi.
Seharusnya pemerintah memberikan konsep jelas dan payung hukum lebih dulu sehingga transparan,” ujar Ketua Pengurus Harisn YLKI Tulus Abadi. Dia khawatir dana ketahanan energi disalahgunakan pihak tertentu bila dipungut tanpa landasan hukum dan konsep yang benar. Artinya terdapat peluang besar pungutan hanya digunakan untuk kepentingan segelintir orang dan manfaatnya tidak sampai kepada masyarakat. ”Kalau celah ini terus dilanggar, potensi penyalahgunaannya sangat besar. Apalagi dana ini dipungut tidak hanya sekali, tapi berkesinambungan,” ujarnya.
Dia berpendapat, penerapan dana ketahanan energi merupakan langkah tepat sebagai disinsentif terhadap energi fosil yang diprediksi segera habis. Dana itu bisa digunakan untuk mengembangkan energi terbarukan. Konsep ini diterapkan di luar negeri seperti negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat.
”Bedanya, kalau di sini belum jelas konsep dan payung hukum sudah dipungut. Di luar (negeri) konsep jelas, payung hukum jelas. Siapa pengelolanya juga jelas sehingga tepat menumbuhkan energi baru yang ramah lingkungan untuk masa depan,” ujarnya.
Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro mengatakan, Pertamina mendukung langkah pemerintah memungut dana ketahanan energi. Saat ini Pertamina masih menunggu konsep dan payung hukum atas implementasinya di lapangan. ”Sebagai korporasi milik pemerintah tugasnya ialah mematuhi kebijakan pemerintah,” katanya.
Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika mendesak pemerintah membuat konsep dan payung hukum atas pungutan dana ketahanan energi dari penjualan premium dan solar. Jika tidak, pungutan tersebut berpotensi melanggar undang-undang mengenai penerimaan negara bukan pajak. ”Kita minta mekanisme pengumpulan dana harus jelas. Kita minta pemerintah menunda dulu dan mengkaji kembali,” sebutnya.
Kardaya mengatakan, pemerintah salah kaprah jika menyebut pungutan dana ketahanan energi merupakan perintah UU Energi. Sebab dalam Pasal 30 UU Energi disebutkan bahwa sumber pendanaan harus berasal dari APBN, APBD, dan swasta. Bukan dari hasil pungutan atas penjualan premium dan solar. ”Di situ jelas tidak disebut dari pungutan. Maka itu pemerintah harus membangun konsep yang jelas dan dasar hukum jika ingin memupuk dana ketahanan energi,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, sebenarnya pengumpulan dana ketahanan energi sudah tepat. Ini lantaran energi baru dan terbarukan akan memiliki peran penting di masa depan. Namun dia mengingatkan, pemungutan dana ketahanan energi harus mempunyai dasar hukum yang jelas.
rarasati syarief/ nanang wijayanto
Sumber: koran-sindo.com.