Jakarta, 19 Mei 2022 – Energi terbarukan dipandang sebagai quick win untuk mengamankan kenaikan suhu global tidak lebih dari 2 derajat Celcius, menurut Perjanjian Paris. Indonesia yang target pengurangan emisinya 29% atas upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030 secara aktif mencari cara yang lebih efektif untuk mengamankan targetnya. Waktu yang tersisa untuk mencapai target hanya sekitar 8 tahun. Yayan Mulyana dari Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri Kementerian Luar Negeri Indonesia mengaku hal ini sulit namun Indonesia optimis bisa mencapainya.
Gandi Sulistiyanto, Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan, saat menyampaikan keynote speech dalam webinar “Meningkatkan Investasi dari Korea Selatan untuk Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia pada Kamis, 19 Mei 2022, mengatakan bahwa kedua negara terus mengembangkan momentum dan kepentingan bersama dalam investasi energi terbarukan.
“Kedutaan Besar Indonesia di Seoul siap mendukung target Pemerintah untuk memiliki 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Sementara Korea Selatan menargetkan 35% energi terbarukan pada tahun 2040. Kedua negara sedang menjalin komunikasi yang intens untuk mengembangkan produsen baterai mobil listrik untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik yang mulai merambah pasar Indonesia,” kata Gandhi.
Ia menambahkan, sesuai dengan prinsip keberlanjutan dan pembangunan manusia, pihaknya fokus pada empat sektor yaitu pembangunan manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan keuangan berkelanjutan, dan ketahanan energi nasional.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan bahwa transformasi energi merupakan inti dari mitigasi perubahan iklim.
“Konsumsi energi di Indonesia diproyeksikan meningkat 7-8 kali lipat dari saat ini sebagai konsekuensi dari elektrifikasi besar-besaran transportasi dan peralatan rumah tangga lainnya, kita memiliki konsekuensi ganda dari situasi tersebut yaitu mengganti energi fosil saat ini dengan yang terbarukan dan untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat pada saat yang sama, ”katanya.
Dokumen LCCR LTS Indonesia memproyeksikan bahwa akan ada pengurangan emisi yang cepat setelah tahun 2030 jika pembangkit listrik dipasok oleh energi terbarukan 43% pada tahun 2050. Dokumen tersebut mencoba diterjemahkan ke dalam RUPTL PLN saat ini yang menunjukkan keinginan pemerintah untuk menyebarkan lebih banyak energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Sebuah studi menunjukkan bahwa Indonesia secara teknis layak dan layak secara ekonomi untuk mencapai nol emisi pada tahun 2050 dengan menggunakan 100% energi terbarukan.
“Studi IESR Deep decarbonization of Indonesia energy system menyajikan peta jalan langkah demi langkah untuk mencapai nol bersih pada tahun 2050 yang mencakup transportasi, sektor ketenagalistrikan, dan industri,” tambah Fabby.
Tenaga surya yang potensi pada sektor residensial mencapai hingga 655 GWp akan menjadi tulang punggung sistem energi berbasis terbarukan.
Minho Kim, perwakilan Komipo, Badan Usaha Milik Negara Korea mengatakan, sebagai pengusaha, pihaknya melihat Indonesia sebagai pasar potensial sekaligus mitra energi terbarukan mengingat sumber daya yang tersedia melimpah.
“Komipo sudah beroperasi di Indonesia untuk proyek panas bumi dan tenaga air. Nanti kami juga berencana untuk mengembangkan green hydrogen/ammonia,” kata Minho.
Minho menambahkan, munculnya pasar karbon menjadikan energi terbarukan sebagai komoditas panas baru karena dibutuhkan. “Semakin banyak perusahaan bergabung dengan inisiatif RE 100, permintaan energi bersih semakin tinggi, oleh karena itu penyediaan energi bersih bukan lagi pilihan tetapi keharusan karena merupakan kebutuhan industri dan permintaan pelanggan,” pungkasnya.