Jakarta, 30 Juni 2022 – Transisi energi merupakan salah satu isu prioritas dari presidensi G20 Indonesia tahun 2022 ini. Peran sebagai pemimpin kelompok negara G20 ini tentu momentum strategis bagi Indonesia untuk menunjukkan komitmennya dalam melakukan transisi energi. Persetujuan Paris pada 2015 telah menyepakati untuk menahan kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius, bahkan berusaha supaya di level 1,5 derajat. Untuk itu, semua pihak harus menekan emisinya dari sektor-sektor yang tinggi emisi seperti energi dan mencapai status karbon netral pada pertengahan abad ini.
Untuk menggali berbagai perspektif tentang transisi energi, engagement group Civil 20 menggelar workshop bertajuk “Making a Just Energy Transition for All” mengundang engagement group Think 20 (T20), Science 20 (S20) dan Business 20 (B20). Hadir pula sebagai panelis,Widhyawan Prawiraatmadja, mantan gubernur Indonesia untuk OPEC.
Dari diskusi yang berjalan, seluruh narasumber sepakat untuk meletakkan aspek manusia sebagai poros dari transisi energi. Disampaikan Vivian Sunwoo Lee, koordinator Internasional C20, bahwa C20 terus menyuarakan pentingnya untuk segera beralih dari sistem energi berbasis fosil ke sistem energi berbasis energi terbarukan.
“Terdapat sejumlah risiko terutama dari sisi finansial dan ekonomi dari infrastruktur energi fosil yang berpotensi menjadi aset terdampar jika kita tidak segera bergegas melakukan transisi energi,” katanya. Vivian juga menyoroti besarnya subsidi energi fosil yang masih diberikan oleh negara-negara G20.
Profesor Yunita Winarto, co-chair Task Force 5 S20 menyatakan pentingnya pendekatan interdisipliner dalam merencanakan dan melaksanakan transisi energi.
“Pendekatan interdisipliner akan menggeser paradigma dari eksploitatif-ekstraktif menjadi environmentally friendly-resilient, dari ekonomi linier ke ekonomi sirkular, dan dari good governance ke proper governance. Dengan begitu niscaya akan tercipta satu keseimbangan sesuai prinsip planet, people, & prosperity for all,” jelas Yunita.
Moekti H. Soejachmoen, Lead co-chair Task Force 3 T20, menjelaskan pentingnya instrumen nilai ekonomi karbon dalam konteks transisi energi.
“Pertumbuhan permintaan energi itu pasti akan terus tumbuh. Itu tidak terelakkan lagi, maka kita harus mencari berbagai cara supaya kebutuhan energi ini terpenuhi, namun di sisi lain kebutuhan kita untuk menurunkan emisi juga tercapai. Maka instrumen nilai ekonomi karbon ini menjadi penting,” jelas Moekti.
Moekti juga menambahkan penting bagi Indonesia untuk memastikan isu yang didorong dalam presidensi G20 tahun ini masih tetap dibahas di tahun-tahun selanjutnya. Mengingat transisi energi merupakan suatu proses yang panjang dan membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Transisi energi akan mengubah total wajah sektor energi Indonesia. Oki Muraza, Policy Manager Task Force Energy Sustainability and Climate, B20, menjelaskan bahwa faktor keterjangkauan harus menjadi salah satu pertimbangan utama dalam melakukan transisi energi.
“Kita harus memastikan faktor keterjangkauan (affordability) dari energi saat proses transisi ini berjalan dapat terjaga. Selain itu, kita juga perlu memperhatikan orang-orang yang saat ini bekerja di sektor hidrokarbon, bagaimana mereka dapat di training supaya tidak kehilangan pekerjaan dalam transisi energi,” jelas Oki.
Widhyawan Prawiraatmadja mengingatkan bahwa perlu adanya penyelarasan persepsi, aturan dan kebijakan di level kementerian terkait transisi energi dan pencapaian komitmen Indonesia di kancah internasional seperti NDC. Hal ini selain untuk percepatan pencapaian target-target nasional maupun internasional, juga untuk memberikan sinyal yang senada pada investor.
“Jika sinyal yang dikirimkan pada investor tidak seragam, tentu persepsi para investor adalah risiko berinvestasi di Indonesia tinggi, dan bukan tidak mungkin membuat mereka berpikir panjang untuk berinvestasi,” tutur Widhyawan.