Memahami Keadilan Iklim dalam Aksi Iklim Global dan Penerapannya di Indonesia

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa

Keadilan iklim menjadi urgensi yang diperjuangkan antar generasi manusia. Terutama bagi mereka yang mempunyai misi membebaskan Indonesia dari ancaman krisis iklim dan krisis ekologi dalam tatanan politik yang demokratis yang berdasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL menekankan pentingnya untuk memahami keadilan iklim yang termuat dalam dokumen Persetujuan Paris 2015, Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), Laporan Penilaian Keenam (AR6), Kelompok Kerja 2 yang berjudul Dampak, Adaptasi dan Kerentanan. Torry memaparkan, laporan penilaian keenam (AR 6) telah memperluas perhatian pada ketidakmerataan terkait kerentanan, respon, kuasa, partisipasi dan keadilan iklim. 

“Di dalamnya juga menjelaskan adanya pandangan tentang masyarakat yang adil akan berhasil beradaptasi. Sebaliknya, adaptasi yang berhasil akan menghasilkan masyarakat yang adil,” tegas Torry dalam diskusi yang dilaksanakan Yayasan Madani, Walhi, Kemitraan, Pikul dan Institute for Essential Services Reform (IESR), pada Senin (3/10/2022).

Torry menuturkan, isu pembangunan berketahanan iklim perlu diperhatikan untuk memperkecil ketimpangan, mensinergikan adaptasi dan mitigasi serta memberikan manfaat bagi kelompok miskin dan rentan. Keadilan iklim menjadi prasyarat adaptasi efektif dan mencegah maladaptasi rekognisi, keadilan prosedural, keadilan distributif dan institusi yang kuat tetapi fleksibel. 

“Setidaknya ada empat hal yang harus dikerjakan yaitu rekognisi terhadap agensi yang mewakili kelompok rentan, perlu ada prosedur kelompok rentan bisa bersuara dan solusinya serta mendistribusikan keadilan,” ujar Torry. 

Torry memaparkan, keadilan distributif memiliki prinsip yaitu pihak yang lebih rentan itu harus mendapatkan keadilan lebih banyak. Untuk menerapkan keadilan iklim, setidaknya Indonesia harus memiliki institusi yang kuat dan fleksibel.  Sementara itu, Bivitri Susanti, Pendiri dan Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menekankan bahwa setiap pihak termasuk masyarakat memiliki peran penting dalam keadilan iklim, sehingga partisipasi akar rumput dan anak muda dalam diskusi menjadi hal penting dilakukan. 

“Tiga hal yang harus disoroti (untuk pelaksanaan keadilan iklim di Indonesia,red) yakni pembuatan keputusan politik, peradilan, dan masyarakat sipil. Kita perlu melibatkan lebih banyak masyarakat sipil agar mereka juga bisa memahami konteks perubahan iklim,” ucap Bivitri. 

Diskusi Keadilan Iklim
Diskusi keadilan iklim dilaksanakan oleh Yayasan Madani, Walhi, Kemitraan, Pikul dan Institute for Essential Services Reform (IESR), di Jakarta, pada Senin (3/10/2022)

Perubahan iklim akan membawa dampak buruk yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat pesisir. Menurut  Parid Ridwanuddin Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Walhi sebanyak 199 kabupaten/kota pesisir di Indonesia akan terkena banjir rob tahunan pada 2050, sekitar 118.000 hektar wilayah akan terendam air laut, 23 juta warga terdampak dan kerugian diperkirakan mencapai Rp1.576 triliun. 

“Kita juga perlu menyadari dalam satu tahun nelayan hanya bisa melaut selama 6 bulan. Setiap tahun rata-rata 100 nelayan hilang/meninggal di laut akibat melaut pada saat cuaca buruk,” terang Parid. 

Perubahan iklim, lanjut Parid, berdampak pula terhadap peningkatan suhu yang membuat ikan berpindah dari wilayah tropis. Dengan demikian, kondisi ini bisa mengurangi pendapatan nelayan tradisional.  Berkaca dari berbagai perubahan iklim dan peran masyarakat, Parid menekankan, pentingnya RUU Perubahan Iklim sebagai satu cara untuk mendorong keadilan iklim di Indonesia.

“RUU ini harus menjadi prioritas Gerakan masyarakat sipil di Indonesia, dan mengajak jejaring internasional,” tegas Parid. 

 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa di diskusi keadilan iklim pada Senin (3/10/2022).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memaparkan, dampak dari memburuknya iklim kian terasa saat ini.  Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI)-BNPB periode 2005-2017, kejadian bencana di Indonesia memang lebih banyak terkait hidrometeorologi. Pada tahun 2016, kejadian bencana hidrometeorologi sekitar 2.287 kejadian, sedangkan bencana geologi sebanyak 26 kejadian. Pada tahun 2017, ada 2.139 kejadian bencana hidrometeorologi dan 18 kejadian bencana geologi. 

“Ini menjadi konteks penting, siapa yang membayar dampak dari kejadian tersebut? Hal ini juga berkaitan dengan reformasi keadilan pajak. Misalnya pihak yang memproduksi emisi lebih besar seharusnya dikenakan biaya yang lebih karena krisis iklim,” tegas Fabby. 

Share on :

Leave a comment