Jakarta, 27 Oktober 2022 – Pemanfaatan energi surya di Indonesia perlu didorong secara cepat. Aturan yang jelas, dukungan terhadap industri produksi komponen PLTS, serta peningkatan kapasitas untuk menjawab kebutuhan tenaga kerja di bidang energi surya pun perlu dipersiapkan.
Menurut data Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2023, secara kapasitas terpasang PLTS terdapat peningkatan dari 43,9 MWp di 2021 menjadi 63,5 MWp di September 2022. Jumlah ini tergolong kecil, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, khususnya Vietnam yang bahkan sudah masuk dalam orde Gigawatt.
Senda Hurmuzan Kanam, Kepala Balai Besar Survei dan Pengujian Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi memaparkan, kapasitas terpasang PLTS di Indonesia masih dalam tahap awal yakni sekitar 200 MW-400 MW . Ia berpendapat, Indonesia perlu berkaca dengan Vietnam yang bisa memasang sekitar 10 – 20 GW solar panel per tahunnya.
“Dibandingkan dengan Vietnam, Indonesia tertinggal jauh. Kita perlu mencari peluang demand untuk energi terbarukan khususnya PLTS. Saat ini, kami memiliki program hibah PLTS atap untuk menarik minat lebih banyak konsumen listrik menggunakan PLTS atap,” jelas Senda dalam acara Advancing G20 Solar Leadership sekaligus peluncuran laporan ISEO 2023 yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dengan dukungan dari Bloomberg Philanthropies, dan berkolaborasi dengan International Solar Alliance, dan Asosiasi Energi Surya Indonesia.
Senada, Anggota Dewan Energi Nasional, Herman Darnel Ibrahim menyatakan, perkembangan energi surya di Indonesia masih dalam kondisi stagnan, relatif tidak bergerak. Menurutnya, perlu rencana yang lebih jelas untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan pada 2025 dengan memanfaatkan PLTS.
“Setidaknya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) perlu dengan jelas menunjukkan program energi surya dan semua energi terbarukan dan menyebutkan lokasi potensialnya. Saat ini, RUPTL yang ada hanya membahas seluruh energi terbarukan secara nasional dan tidak menyebutkan lokasi potensialnya secara detail. Padahal, keekonomian baru bisa dihitung setelah adanya lokasi, biaya lokasi dan biaya jaringannya. Jadi sebaiknya membangun resource inventory terlebih dahulu,” jelas Herman.
Meski terdapat beberapa tantangan untuk percepatan energi surya, Andhika Prastawa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), menuturkan, produksi panel surya akan semakin berkembang dengan syarat tertentu. Misalnya terdapat insentif bagi konsumen yang menggunakan panel surya produksi dalam negeri dibandingkan luar negeri. Selain itu, Andhika menegaskan, terdapat dua ekosistem yang perlu digencarkan untuk percepatan energi surya yakni ekosistem pemanfaatan dan ekosistem industri.
“Ekosistem pemanfaatan yaitu tenaga surya bisa digunakan di sistem besar maupun isolated. Jadi kita bisa mengakomodasi listrik ke daerah yang belum mendapatkan listrik sama sekali dan tidak memiliki sumber daya lain. Lalu, tumbuhnya ekosistem industri ini berkaitan erat dengan ekosistem pemanfaatannya. Untuk menumbuhkan ekosistem industri diperlukan pasar yang bisa menyerap modul surya,” terang Andhika.
Sementara itu, Anthony Utomo, Wakil Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menjelaskan, PLTS menjadi sebuah kebutuhan karena adanya gerakan dekarbonisasi dan pendekatan net zero emission (NZE). Namun demikian, terdapat beberapa tantangan untuk menggencarkan PLTS tersebut.
“Dua tantangan yang dihadapi Indonesia. Pertama, kesiapan user (pelanggan) menggunakan PLTS, sehingga dibutuhkan edukasi yang konsisten dan masif. Saya kira sejalan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017 yang menjadi konsensus bersama, berisi 30% bangunan pemerintah didorong menggunakan PLTS, rumah mewah 25% dan hilirisasi industri. Kedua, skill (keterampilan) tenaga pemasangan PLTS, perlu adanya pembekalan solar preneur atau UMKM hijau sehingga bisa menyambut fenomena penggunaan PLTS atap di seluruh daerah,” tegas Anthony.
Institute for Essential Services Reform secara konsisten mencatat kemajuan dan tantangan dari pengembangan energi surya dalam kerangka transisi energi pada Indonesia Energy Transition Outlook (IETO). Namun pada 2023, IESR meluncurkan laporan progress energi surya di Indonesia secara terpisah dalam Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2023.