Jakarta, 15 Desember 2022 – Institute for Essential Service Reform (IESR) meluncurkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023. IETO 2023 merupakan jilid ke-6, sebelumnya laporan ini berjudul Indonesia Clean Energy Outlook di 2017, namun berubah nama pada tahun 2020. Transformasi ini melebarkan analisis dari awalnya hanya berfokus pada perkembangan energi bersih saja menjadi analisis sistem energi secara keseluruhan, termasuk sistem pendanaannya.
Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, IESR, dalam sambutannya menyatakan transisi energi di Indonesia sudah memasuki babak baru. Hal ini tercermin dari beberapa kebijakan yang diterbitkan sudah mulai mendukung adopsi teknologi rendah karbon dan rendah emisi, seperti Perpres 112/2022. Selain itu, tercapainya komitmen pendanaan bagi transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP) dan proyek infrastruktur yang merupakan hasil dari KTT G20. Topik tersebut diulas pula pada IETO 2023.
“Pendanaan menjadi salah satu kunci sukses transisi energi di Indonesia. Selanjutnya, kami juga menyoroti peran tenaga surya dalam transisi energi serta perkembangan kendaraan listrik di dalam laporan IETO 2023,” ucapnya.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam pemaparannya pada peluncuran laporan dan diskusi Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023 yang diselenggarakan oleh IESR dengan dukungan Bloomberg Philanthropies, menjelaskan bumi mengalami kenaikan temperatur 1,1°C. Tanpa intervensi, diperkirakan kenaikan ini dapat mencapai 2,8°C. Ia menekankan transisi energi menuju energi terbarukan menjadi krusial untuk membatasi kenaikan suhu bumi melebih 1,5°C.
“Studi IESR menunjukkan bahwa solar PV (PLTS) ditambah dengan storage dengan kapasitas 50% dan 100%, maka energi terbarukan akan lebih murah dibandingkan mengoperasikan PLTU setelah tahun 2032. Artinya, apabila kita masih mempertahankan pembangkit fossil dalam sistem energi maka kita akan menghadapi kenaikan biaya energi yang jauh lebih mahal,” terang Fabby Tumiwa.
Fabby menekankan, memperbesar porsi energi terbarukan di dalam sistem energi Indonesia jauh lebih menguntungkan daripada memanfaatkan energi fosil ataupun mempertahankan energi fosil dengan teknologi penangkap karbon, seperti carbon capture and storage (CCS). Namun, saat ini terdapat 87% dari listrik yang dikonsumsi Indonesia masih berasal dari energi fossil, hanya 13% dari energi terbarukan. Untuk itu, Fabby menuturkan terdapat tiga hal yang perlu dilakukan dalam mendorong transisi energi.
“Pertama, memanfaatkan sebesar-besarnya potensi energi terbarukan Indonesia untuk sektor listrik, transportasi, industri dan sektor lainnya. Berdasarkan kajian terakhir ESDM, Indonesia mempunyai potensi energi terbarukan yang jauh dari lebih cukup untuk mencapai 100% energi terbarukan dalam rangka mencapai net zero emissions (NZE). Dengan menaikkan energi terbarukan, kita juga harus mengurangi PLTU batubara. Kedua, menggenjot investasi untuk transisi energi,” ujar Fabby.
Studi IESR menilai, untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat, dibutuhkan investasi rata-rata USD 25-30 miliar dari sekarang sampai 2030. Untuk mendapatkan investasi, diperlukan no regret policy atau sekalinya sudah ada kebijakan, tidak boleh dicabut atau diberhentikan. Kedua, perlu dilakukan reformasi kebijakan yang menghambat EBT. Untuk itu, kata Fabby, Pemerintah harus mengkaji ulang pemberian DMO untuk batubara karena kebijakan tersebut kontradiktif dengan upaya Indonesia mendorong energi terbarukan. Ketiga, mengelola proses transisi energi. Transisi energi merupakan tindakan yang beresiko karena akan menyebabkan adanya kenaikan biaya dalam jangka pendek, dan saat bersamaan kita masih bergantung pada energi batubara. Untuk itu, proses transisi energi perlu dikelola secara efektif sehingga proses transisi energi akan mulus.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana memaparkan transisi energi menjadi salah satu isu prioritas pada Presidensi G20 Indonesia tahun 2022. Hal ini bisa dilihat dengan tercapainya kesepakatan Bali Compact yang bisa menjadi panduan untuk mencapai NZE 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, Indonesia telah mempunyai peta jalan transisi energi baru terbarukan (EBT) menuju net zero emission pada 2060 yang dibuat Kementerian ESDM.
“Indonesia berencana membangun PLTS mulai tahun 2030 secara masif, diikuti PLTB onshore dan offshore dimulai 2027 serta geothermal juga akan dimaksimalkan. PLTA akan dioptimalkan dan listriknya akan dikirimkan ke pusat beban di pulau-pulau lainnya, serta pembangkit listrik nuklir beroperasi tahun 2039,” ujar Rida Mulyana.
Akbar Bagaskara, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan IESR menyatakan, sistem kelistrikan adalah low hanging fruits untuk mencapai NZE. Sistem kelistrikan menyumbang 250 MtCO2 emisi atau sekitar 40% emisi di sektor energi. Status energi terbarukan pada bauran energi 12,67% sedangkan target 2025 sebesar 23%. Untuk itu, kata Akbar, Indonesia perlu mengurangi kapasitas fosil dan mencari alternatif sumber energi demi mencapai target tersebut.
“Setidaknya Indonesia bisa memanfaatkan energi terbarukan yang belum maksimal seperti surya dan angin. Kemudian, jaringan transmisi (grid) harus juga dibuat fleksibel. Meski demikian, perlu aturan tentang panduan sistem operasional dan negosiasi pada unit pembangkit,” papar Akbar.
Senada dengan Akbar, Raditya Yudha Wiranegara, Peneliti Senior IESR menegaskan, hal yang bisa dilakukan untuk memberikan penetrasi energi terbarukan yakni mengoperasikan PLTU secara fleksibel. Secara teknis, pengoperasian ini membutuhkan perubahan di dalam komponen utama PLTU.
“Pengoperasian secara fleksibel akan membutuhkan fleksibilitas dalam hal perjanjian jual beli listrik dan kontrak suplai bahan bakar. Berdasarkan IEA, dengan membuat kontrak-kontrak ini lebih ‘luwes’ akan terdapat penghematan sebesar 5% dari total biaya operasi selama setahun atau setara USD 0,8 miliar. Grid Code (kode jaringan) juga harus dibuat lebih detail. Hal ini juga mutlak diperlukan agar operator memiliki pedoman regulasi pengoperasian secara fleksibel,” jelas Raditya.
Julius Christian, Peneliti Spesialis Bahan Bakar Bersih IESR menerangkan, sampai saat ini konsumsi energi fosil di transportasi mencapai 87%, industri mencapai 56% dan bangunan mencapai 41%. Dalam sektor transportasi, penggunaan kendaraan listrik menjadi strategi krusial untuk menuju sistem transportasi rendah karbon karena memiliki efisiensi energi yang lebih tinggi dan memanfaatkan energi terbarukan. Julius menjelaskan, tercatat 199 bangunan yang tersertifikasi sebagai bangunan hijau di Indonesia sampai saat ini, padahal seharusnya bangunan yang luas sudah wajib memiliki sertifikasi bangunan hijau.
“Untuk mempercepat transisi energi maka perlu fokus dalam empat hal yakni regulasi untuk mendorong masyarakat dan industri beralih ke teknologi yang hemat karbon, Pemerintah juga perlu melakukan lebih banyak sosialisasi agar awareness masyarakat meningkat untuk beralih ke rendah karbon, insentif dan skema pembiayaan juga patut diperhitungkan, serta menyiapkan ekosistem pendukungnya,” papar Julius.
Di sisi lain, Martha Jessica, Peneliti Sosial dan Ekonomi IESR mengatakan, pentingnya kerjasama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menggalakkan transisi energi dan mencapai NZE. Saat ini terdapat 71,05% provinsi di Indonesia telah menetapkan Rencana Umum Energi Daerah (RUED), di mana masing-masing daerah mengatur target bauran energinya.
“Salah satu provinsi yang menunjukkan komitmen untuk pengembangan energi terbarukan yaitu Jawa Tengah. Menariknya, tahun ini terdapat komitmen baru untuk pemulihan hijau. Hal ini didefinisikan sebagai pemanfaatan anggaran publik untuk menyasar level tapak, terutama untuk pembangunan energi terbarukan. Sekitar Rp 8,9 miliar telah dianggarkan untuk komitmen tersebut. Pembangunan ini kemudian sudah berhasil meningkatkan pendapatan penggunanya sebanyak 2-3 kali lipat, di mana petani mendapatkan sumber air yang lebih mudah lewat penggunaan pompa air tenaga surya,” papar Martha.
Handriyanti Puspitarini, Peneliti Senior IESR menuturkan, beberapa hal penting dalam status transisi energi di Indonesia yaitu penggunaan energi fossil meningkat tahun ini karena perekonomian yang semakin menggeliat, namun kondisi ini dapat dipastikan berubah karena banyaknya bantuan luar negeri untuk menekan emisi, terutama dalam sektor ketenagalistrikan. Ia menilai aturan yang mendukung penetrasi energi terbarukan perlu tersedia. Ia mencontohkan pembatasan kapasitas PLTS atap sebesar 15% akan menurunkan minat masyarakat untuk memanfaatkannya dan menekan partisipasi masyarakat terkait bauran energi terbarukan dalam skala nasional.
“Untuk itu, terdapat perubahan yang dibutuhkan yakni memperbanyak dukungan finansial untuk pengembang proyek PLTS atap, memperjelas skema tarif dan proses perizinan, serta meningkatkan akses pengembang ke modal dengan suku bunga lebih rendah. Implementasi PP 112/2022 juga perlu diamati di tahun depan. Masyarakat sendiri juga berpendapat bahwa ini menjadi saatnya Indonesia bertransisi energi dan memanfaatkan sumber energi lainnya seperti surya, air dan angin,” tegas Handriyanti.