Jakarta, 14 Maret 2023 – Pemerintah Indonesia perlu ambisius lagi untuk mendorong percepatan dekarbonisasi sistem energi agar kenaikan suhu bumi tidak melebihi dari 1.5°C. Sebagai negara yang meratifikasi Persetujuan Paris, Indonesia terikat secara hukum untuk mengintegrasikan kebijakannya untuk meraih netral karbon pada 2050. Deon Arinaldo, Program Manajer Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan, demi mendukung target global 1,5°C, emisi sistem energi Indonesia harus mencapai puncaknya sebelum tahun 2030 dan mencapai nol pada 2050.
“Untuk itu, transisi sistem energi perlu direncanakan dan dimulai sejak awal. Sistem kelistrikan merupakan sektor yang paling siap untuk bertransisi karena pembangkit energi terbarukan tersedia dengan potensi melimpah, serta kompetitif dengan energi fosil,” terang Deon dalam acara Implementation of a Just Energy Transition in Indonesia yang diselenggarakan oleh International Institute for Sustainable Development pada Selasa (14/3/2023).
Mengutip studi IESR berjudul Deep Decarbonization of Indonesia Energy System, kata Deon, transisi sistem energi di Indonesia perlu mencapai tiga milestone di antaranya terdapat 100 GW panel surya, tidak ada PLTU baru kecuali 11 GW yang masuk dalam rencana pengembangan serta 2 GW prosumer panel surya dalam tahap pertama pada periode 2018-2030, kemudian pada tahap kedua yaitu 100% energi terbarukan, penyimpanan baterai skala utilitas, mulai memasang elektroliser 2 GW dan penyimpanan CO2 dan penangkapan karbon dari udara langsung (DAC) di periode 2030-2045, lalu pada tahap ketiga yaitu melanjutkan penggunaan 100% energi terbarukan setelah 2045.
“Untuk mencapai transisi sistem energi, energi terbarukan terutama surya mempunyai peran besar dalam pembangkitan listrik Indonesia, dalam skenario netral karbon,” papar Deon.
Selain itu, Deon menekankan, transisi energi setidaknya membutuhkan pendekatan transformatif terhadap semua aspek, dari kebijakan, ekonomi, sosial hingga teknis. Misalnya saja dalam aspek kebijakan, setidaknya perlu mempertimbangkan langkah yang lebih jelas, tidak hanya sekadar BaU (business as usual). Indonesia sebagai negara berkembang juga bisa mengambil peran dalam transisi energi, namun di sisi lain terdapat tekanan bagi negara maju untuk menyediakan teknologi, dana dan bantuan.
“Demi mendukung target 1,5°C, tentunya perlu mengubah cara pandang kita, cara kita bekerja dan sistem energi itu sendiri. Untuk itu, diperlukan pesan yang lebih kuat dalam energy planning dan kebijakan,” jelas Deon.
Dalam kesempatan yang sama, Satya Widya Yudha, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) menekankan, diperlukan adanya climate finance sebagai motor utama pencapaian netral karbon. Untuk itu, Indonesia perlu bantuan negara lain dalam rangka mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Demi mencapai target tersebut, kata Satya, Indonesia juga mempunyai strategi untuk dekarbonisasi di pembangkitan listrik.
“Kita mencoba masih memanfaatkan energi fosil namun dengan teknologi energi bersih. Namun demikian, kita juga terus mengakselerasi penggunaan energi terbarukan seperti kendaraan listrik dan pengembangan hidrogen. Sampai nanti waktunya energi terbarukan bisa digunakan sepenuhnya,” terang Satya.