Peluncuran Studi dan Alat Levelized Cost of Electricity (LCOE)
Latar Belakang
Penurunan biaya teknologi energi terbarukan yang cepat, khususnya PV surya dan angin telah mendorong negara-negara di seluruh dunia untuk menyatakan komitmen mereka terhadap emisi net-zero. Biaya pembangkit listrik rata-rata global untuk PV surya dan angin (rata-rata di darat dan lepas pantai) masing-masing turun menjadi 4,8 dan 5,5 sen/kWh, yang merupakan penurunan lebih dari 60% dalam dekade terakhir. Pada tahun 2021, pemerintah Indonesia juga mengajukan strategi jangka panjang (LTS) kepada UNFCCC, dengan skenario yang lebih ambisius dari NDC yang mengharapkan penurunan emisi GRK setelah tahun 2030 dan mencapai NZE pada tahun 2060 atau lebih awal. Selanjutnya, di bidang energi, Kementerian ESDM Indonesia memperkenalkan Skenario Net Zero Emission di Bidang Ketenagalistrikan, yang menargetkan 87% energi terbarukan (RE) dan 13% pembangkit fosil tereduksi (yaitu CCS batubara dan CCS Gas) dengan total kapasitas 672 GW pada tahun 20601.
Meskipun komitmen pemerintah Indonesia terhadap mitigasi perubahan iklim telah diperkuat, sistem kelistrikan di Indonesia praktis masih sangat bergantung pada PLTU yang berkontribusi sekitar 67,5% dari pangsa bauran pembangkit listrik pada tahun 20222. Diperkirakan akan terus meningkat pada tahun beberapa tahun ke depan, mengingat sekitar 13,8 GW kontrak CFPP sedang dalam proses3. Syukurlah, komitmen yang lebih kuat telah diungkapkan oleh pemerintah melalui Perpres 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang menetapkan mekanisme plafon harga baru untuk energi terbarukan, yang berpotensi menarik lebih banyak investasi dan minat pengembang . Selanjutnya, arahan tersebut merupakan dasar hukum awal untuk pensiun dini CFPP dan mengamanatkan roadmap pensiun CFPP. Namun, masih ada aspek yang kurang, misalnya skema insentif agar energi terbarukan bisa lebih kompetitif.
Indonesia mungkin sedang dalam proses transisi dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil ke energi terbarukan. Bagaimana transisi akan berdampak pada biaya sistem tenaga masih belum jelas, karena tergantung pada jumlah energi terbarukan yang akan diintegrasikan, jenis teknologinya, dan waktu pembangunannya. Alat komparatif untuk memeriksa bagaimana masing-masing teknologi bersaing satu sama lain dan proyeksinya dapat membantu dalam meningkatkan pemahaman tentang berapa biaya sistem tenaga pada saat transisi. Levelized Cost of Electricity (LCOE) adalah alat umum untuk melakukan analisis tersebut. Untuk membandingkan teknologi penyimpanan yang berbeda untuk memberikan layanan tertentu ke sistem daya, Levelized Cost of Storage (LCOS) serupa juga dapat digunakan.
Dengan latar belakang tersebut, Institute for Essential Services Reform menerbitkan laporan dan peluncuran platform LCOE dan LCOS yang akan memberikan informasi tentang data dan proyeksi biaya listrik di berbagai teknologi di Indonesia. Laporan dan alat penelitian ini dapat diakses publik untuk menjadi data referensi bagi semua orang, dalam menghitung dan memperkirakan biaya listrik di masa mendatang.
1 https://www.irena.org/publications/2022/Jul/Renewable-Power-Generation-Costs-in-2021
2 https://iesr.or.id/pustaka/indonesia-energy-transition-outlook-ieto-2023
3 https://web.pln.co.id/statics/uploads/2021/10/ruptl-2021-2030.pdf
Tujuan
Tujuan dari peluncuran laporan kajian & alat ini adalah sebagai berikut:
- Meluncurkan laporan IESR tentang update Levelized cost of electrical berbagai pembangkit listrik di
- Untuk meluncurkan alat IESR LCOE dan memamerkan kemampuannya kepada para pemangku
- Untuk membahas manfaat memiliki alat LCOE
- Membahas advokasi kebijakan terkait transisi energi/implementasi energi terbarukan yang dapat didorong dari bukti seperti alat LCOE
Speakers
-
Prof.Dr. Evvy Kartini- Founder | National Battery Research Institute
-
Refi Kunaefi- Managing Director | Akuo Energy Indonesia
-
Andriah Feby Misna-Director of Various New & Renewable Energy | Ministry of Energy and Mineral Resources
-
Dr. Andhika Prastawa-Principal Engineering Researcher | Badan Riset dan Inovasi Nasional