Malam itu, saya tengah tertidur. Tiba-tiba, seekor makhluk berbulu melompat ke ujung tempat tidur saya. Saya hampir berteriak – namun ketika mata saya sudah terbiasa dengan kegelapan di ruangan, saya tersadar bahwa makhluk tersebut adalah kucing gendut milik si empunya rumah.
Itu adalah pengalaman saya menginap di Kepayang, sebuah desa di Kecamatan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Listrik desa dibangkitkan dari penggunaan generator diesel kecil, dan terbatas pemakaiannya dari pukul 6 sore sampai 10 malam untuk menghemat bahan bakar. Maka, selepas jam 10 semua rumah menjadi gelap; walau beberapa rumah memiliki generator mereka masing-masing, mereka jarang menggunakannya sehabis jam 10.
Tanpa jaringan listrik? Saya mencapai desa ini melalui jalur sungai – menggunakan kapal mesin kecil yang berangkat dari sungai Musi di Palembang, ibu kota provinsi. Perjalanan tersebut memakan waktu tiga jam, dengan pemberhentian singkat di pom Pertamina terapung di tengah perjalanan. Sejujurnya, saya sempat takut, namun rute tadi memakan waktu tersingkat – transportasi darat akan lebih panjang dan melelahkan.
Penduduk desa tentunya mengharapkan akses energi yang lebih baik, bersih, dan terjangkau – dan ketika jaringan listrik yang luas belum akan datang ke desa dalam waktu dekat, energi terbarukan lokal dapat memberikan mereka pilihan pembangkitan listrik. Namun, mereka tidak tahu dari mana harus memulai.
Saya bisa menceritakan lebih banyak lagi (dan saya senang menceritakannya), namun saya akan langsung ke poinnya: akses energi, terutama yang berkelanjutan, masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Dan ketika akses saja masih menjadi kemewahan, bisa disebut apa kemampuan seseorang untuk memilih sumber energinya? Utopia?
*****
Di antara semua privilese (hak istimewa) yang saya punya dan pernah saya rasakan, memiliki akses energi adalah salah satu hal yang saya anggap biasa. Sebagai salah satu kebutuhan mendasar, listrik seharusnya tidak menjadi hak istimewa – namun ketika saya mendapat kesempatan untuk mengerti Indonesia (dalam konteks ketimpangan) dengan mendatangi beberapa desa terpencil di Indonesia, termasuk kepulauan Natuna (Anda tahu itu di mana?); secara pandangan helikopter atau angka yang menunjukkan akses listrik keseluruhan belum bisa menjadi representasi kenyataannya.
Di tahun 2019, IESR meneliti kualitas akses energi di dua provinsi dengan rasio elektrifikasi terendah di Indonesia Timur menggunakan kerangka kerja multi-tingkat (MTF) yang dikembangkan oleh ESMAP milik Bank Dunia. Temuan IESR sesuai dengan hipotesis awal kami: akses tidak selalu berarti kualitas, dan indikator akses Indonesia sejauh ini yaitu rasio elektrifikasi (ER) tidak lagi sesuai untuk mempromosikan penggunaan dan pengembangan produktif. Lebih dari 70% rumah tangga yang disurvei menerima listrik hanya sekitar 4 jam/hari (akses listrik tingkat 1) dan hanya dapat digunakan untuk mentenagai peralatan kecil seperti lampu dan radio.
Sebelum studi ini, kami berargumen bahwa program lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE), yang membagikan perlengkapan lampu hemat energi pada komunitas terpencil dan tidak dialiri listrik, tidak seharusnya dihitung sebagai elektrifikasi, namun pre-elektrifikasi karena sifatnya yang terbatas untuk pemakaian produktif. Penting pula untuk mendefinisikan kembali akses energi dan melihat akses lebih dalam dari koneksi. Rekomendasi dari kami termasuk mengoptimisasi penggunaan energi terbarukan lokal, karena dapat menjadi sumber energi yang demokratis. Selain itu, teknologi energi terbarukan termasuk energi surya yang sudah termasuk dalam arus utama kebijakan energi Indonesia, sudah lebih murah dibandingkan perluasan jaringan listrik dan generator diesel.
Kemewahan dalam memilih sumber energi sendiri
Beberapa minggu yang lalu, saya melihat keramaian di Twitter mengenai fitur terbaru iPhone milik Apple: Pengisian Daya Bersih. Fitur ini hanya tersedia di AS dan menurut penjelasan resminya: “..iPhone Anda mendapatkan prediksi mengenai emisi karbon di jaringan listrik lokal Anda dan menggunakannya untuk mengisi daya iPhone Anda di saat produksi energi yang lebih bersih.” Membandingkan bagaimana kita memilih energi bersih di Indonesia dan di AS tentunya bagai membandingkan apel dengan jeruk – maka mari kita lihat lagi perjalanan Indonesia menuju demokrasi energi.
Indonesia memiliki sistem kelistrikan yang ketat dan terintegrasi secara vertikal yang dimiliki oleh satu perusahaan milik negara yaitu PLN, yang memiliki kepemilikan operasional tunggal atas pembangkitan energi, transmisi, dan distribusi (singkatnya – sebuah monopoli). Benar, secara teknis memang ada produsen daya independen dan perusahaan swasta yang memiliki lisensi bisnis wilayah usaha – namun kebanyakan dari kita sebagai konsumen individu akan mendapatkan listrik dari PLN (sehingga saya akan menyebut konsumen PLN sebagai konsumen). Pembangkitan daya kita masih didominasi energi fosil (dan ~60% dari batubara), sehingga tidak terlalu susah untuk menyimpulkan bahwa listrik yang kita pakai sekarang juga berbasis fosil.
Tahun 2013, konsumer dapat secara ‘legal’ memilih sumber energi mereka sendiri – melalui instalasi PLTS atap. Tahun itu, Presdir PLN menetapkan regulasi internal yang memperbolehkan operasi paralel PLTS atap dengan jaringan listrik PLN. Syaratnya: net-metering, 1:1 tarif import, dan adanya tagihan dasar. Tanpa peluncuran besar, bahkan tanpa sosialisasi yang memadai – namun ini menjadi pencapaian besar.
Di level individu, energi solar tetap menjadi satu-satunya energi terbarukan yang terjangkau yang dapat kita pakai untuk mentenagai aktivitas kita (saya punya satu di atap rumah saya!). Dengan landasan tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) memulai upaya awal untuk mengarusutamakan energi surya di tatanan energi Indonesia di 2016 – menyumbang bagian signifikan dalam dicetuskannya peraturan menteri (Permen) pertama mengenai PLTS atap, mendorong keterlibatan aktif dari stakeholder yang beragam dalam mempromosikan energi surya, mendorong regulasi yang lebih baik (Permen awal telah direvisi dua kali dan digantikan sekali), dan hingga kini, melawan kemunduran saat kementrian mencoba ‘membatasi’ adopsi PLTS atap.
Kami percaya bahwa energi adalah jasa esensial (yang lainnya sandang, pangan, papan, colokan, paketan), dan kami mendukung penuh ide bahwa konsumen seharusnya memiliki kebebasan untuk memilih sumber energi mereka – terbarukan dan lebih berkelanjutan yang mampu memberikan akses energi berkualitas. Tidak seharusnya ini menjadi hak istimewa atau kemewahan. Tahun 2019-2021, kami bertanya pada masyarakat sekitar Jawa-Bali apakah mereka berkenan untuk berpindah ke energi surya – dan hasilnya terdapat potensi pasar (pemakai dan pengikut awal) sebesar 13% di Jabodetabek, 19% di Surabaya, 9.6% di Jawa Tengah, dan 23.3% di Bali. Pengusaha juga memiliki ketertarikan serupa: 9.8% potensi pasar di Jawa Tengah dan 21.1% di Bali. Bukan angka yang kecil, kan?
Sekarang, apakah kebijakan yang kini berlaku, praktik bisnis, naratif, dan bahkan pandangan dan gaya hidup pribadi kita – cukup untuk mendukung hak konsumen, masyarakat, untuk memilih sumber energi berkelanjutan kita sendiri?
Saya cukup kesusahan menyarikan tulisan panjang ini – jadi saya hanya ingin mengucapkan terima kasih telah membaca tulisan ini dalam keseluruhannya dan mendukung karya kami. Anda dapat membantu kami lebih lanjut dengan membagikan tulisan ini ke sesama.
Sampai berjumpa lagi.
Penerjemah: Regina Felicia Larasati