Skip to content

Menuju COP 26: Perubahan iklim dan peran publik untuk melestarikan bumi

Siaran Tunda


Indonesia meratifikasi Persetujuan Paris pada 22 April 2016 melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 dan menyusun rencana penurunan emisi dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Indonesia telah berjanji untuk mengurangi emisinya sebesar 29% dengan usaha sendiri dan sebesar 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Indonesia juga menyatakan komitmen untuk mengatasi perubahan iklim dan mencegah kenaikan suhu di bawah 2°C pada rata-rata global atau 1,5° C di atas tingkat pra-industri. Selain itu agar dapat memenuhi target suhu yang ditetapkan dalam Persetujuan Paris, semua negara di dunia diharapkan agar dapat mencapai net zero emission di tahun 2050 termasuk Indonesia.

Dalam pemutakhiran NDC dan dokumen 2050 LTS-LCCR (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience), Indonesia menyatakan baru akan mencapai net zero emission di tahun 2060. Hal ini menunjukkan Indonesia akan mundur 10 tahun dari target netral karbon yang telah ditetapkan oleh Perjanjian Paris. Berdasarkan laporan IPCC Sixth Assessment Report (AR-6), kesempatan untuk menstabilkan iklim menjadi semakin sempit. Hal ini terlihat dari beberapa dampak krisis iklim yang sering terjadi. Peningkatan kejadian cuaca ekstrim mempengaruhi frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan  siklon tropis. Akibatnya sejumlah infrastruktur rusak dan menimbulkan kerugian baik secara fisik maupun secara finansial. Berdasarkan hasil studi Bappenas, pada tahun 2023 kerugian ekonomi dari dampak perubahan iklim mencapai 112.2 triliun rupiah.

Selain itu, adanya risiko iklim mulai menimbulkan ketimpangan dimana negara maju sebagai kontributor emisi terbesar mengalami dampak yang lebih sedikit dibandingkan negara berkembang yang menghasilkan emisi lebih rendah. Kenaikan muka air laut mengancam mata pencaharian mereka yang bergantung pada daerah pesisir. Kekeringan dapat menimbulkan kelangkaan pasokan makanan dan sulitnya mencari sumber air yang berakibat pada munculnya konflik sosial. Wanita, anak-anak, lansia dan disabilitas menjadi kelompok rentan yang akan mengalami dampak krisis iklim akibat kurangnya akses pendidikan, finansial dan informasi yang mereka dapatkan. Adanya pemahaman bahwa isu perubahan iklim merupakan konsep ‘dunia barat’ dan hanya merupakan konsumsi organisasi elit yang digerakkan oleh penggiat lingkungan dapat menghambat percepatan aksi mitigasi perubahan iklim.

Mendorong pemerintah untuk meningkatkan ambisi iklim diperlukan upaya dari seluruh masyarakat untuk meningkatkan aksi mitigasi dari pemerintah serta menambah kemawasan diri dari sisi masyarakat sendiri sehingga mewujudkan masyarakat yang berketahanan iklim. Selain itu, keterbukaan akses informasi juga penting bahwa partisipasi masyarakat terutama para pemimpin komunitas dan pemuka kelompok dalam melihat langkah konkrit untuk mendorong peningkatan ambisi yang lebih serius dari pemerintah Indonesia.

Date

Okt 19 2021
Expired!

Time

14:00 - 16:00

More Info

Siaran Tunda

Speakers

QR Code
IESR-Secondary-logo

Dengan mengirimkan formulir ini, Anda telah setuju untuk menerima komunikasi elektronik tentang berita, acara, dan informasi terkini dari IESR. Anda dapat mencabut persetujuan dan berhenti berlangganan buletin ini kapan saja dengan mengklik tautan berhenti berlangganan yang disertakan di email dari kami. 

Newsletter