Hari ke-4 Indonesia Energy Transition Dialogue 2020 | #IETD2020 #TransisiEnergi
Strategi pengurangan emisi karbon dengan melakukan transisi energi terbarukan perlu mempertimbangkan semua aspek selain aspek energi. Tujuannya agar tercipta akselerasi transisi energi yang berkeadilan.
Oleh karena itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) menerbitkan satu seri laporan skenario struktur model transisi energi terbarukan untuk peta jalan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Berdasarkan perubahan kebijakan nasional tahun ini, struktur model transisi RUEN tidak akan mencapai target pengurangan emisi karbon di tahun 2025. “Transisi energi terbarukan hanya tercapai 15 persen,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
Namun, jika menggunakan skenario penghentian PLTU pada 2029, Indonesia bisa menyumbang 24 GW energi terbarukan pada 2025 dan 408 GW pada 2050. Dengan menggunakan skenario struktur model tersebut, emisi Gas Rumah Kaca bisa turun sebanyak 700-750 juta ton karbon hingga 2050.
Dalam laporan tersebut, IESR juga memaparkan rekomendasi untuk mencapai angka dekarbonisasi tersebut. Pertama, dua sektor utama yang harus diprioritaskan untuk transisi adalah sektor ketenagalistrikan dan transportasi. Pemerintah harus akselerasi bauran listrik di sektor transportasi dengan energi terbarukan, sedangkan dalam sektor ketenagalistrikan pemerintah harus melakukan moratorium PLTU baru.
Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman Hutajulu mengatakan pembatasan konsumsi batu bara pada PLTU harus diimbangi dengan upaya pemerintah mempertahankan tarif listrik terjangkau untuk masyarakat. “Batubara porsi konsumsinya besar dan itu yang membuat harga listrik tetap terjangkau, jika harga EBT bisa mendekati harga itu, kita bisa agresif transisi energi,” kata Jisman.
Jisman mengatakan untuk saat ini pemerintah sudah melakukan blending, yaitu menggunakan biofuel untuk pembangkit listrik. Jisman mengatakan 815 GW yang dihasilkan dalam proses blending berjalan dengan lancar. Hingga kini ada potensi 1,8 GW yang dihasilkan dari proses blending.
Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Dr. Deendarlianto mengatakan transisi batu bara menuju ke energi terbarukan harus dilakukan dengan perlahan. Berdasar survei PSE, Indonesia masih memerlukan penelitian dan pengembangan yang lebih masif. Dengan penelitian dan pengembangan yang terbatas, pembatasan batu bara akan mengganggu sistem kelistrikan negara.
“Impor akan besar, kemudian ekonomi terganggu. Kita bisa melakukan elektrifikasi pada kendaraan, tapi hanya bisa untuk kendaraan baru supaya investasinya tidak terlalu mahal. Menurut studi kami, mobil listrik yang bisa masuk ke Indonesia maksimal hanya 400.000 dan hanya bisa bertambah 2 persen tiap tahunnya,” kata Deen.