Dengar pendapat publik : Harapan Terhadap Calon Anggota Dewan Negeri Nasional (DEN) periode 2020-2024
Jakarta, 9 November 2020 – Dewan Energi Nasional (DEN) memegang peranan penting dalam merancang dan merumuskan Kebijakan Energi Nasional (KEN). Salah satu target KEN dalam Perpres No. 22 tahun 2017 adalah pemanfaatan energi terbarukan (ET) mencapai 23% dari bauran energi primer nasional pada tahun 2025. Faktanya, hingga kini bauran EBT yang tercapai hanya 9 %. Hal ini harus menjadi fokus perhatian bagi para calon anggota DEN, yang saat ini masih dalam proses seleksi, untuk memastikan tercapainya target tersebut dan melakukan koordinasi yang holistik dalam hal penyediaan maupun pemanfaatan energi yang berkeadilan.
Menjelang proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang akan dilakukan oleh Komisi VII DPR kepada para calon anggota DEN, Institute for Essential Services Reform (IESR) melakukan diskusi daring untuk mendengar harapan berbagai kalangan terhadap calon anggota DEN periode 2020-2024 ini. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR memandu perwakilan beberapa kelompok masyarakat untuk mengemukakan pandangannya, yaitu Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Habib Azizi, President Society of Renewable Energy, ITS, Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI, Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI Nasional, La Ode M. Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan dan Wakil Ketua KPK 2015 – 2019, Farhan Helmy, Principal Thamrin School dan Berly Martawardaya Direktur Riset di INDEF yang juga dosen FEB UI. Hadir pula Sekretaris Jenderal DEN, Djoko Siswanto untuk memaparkan proses seleksi calon anggota DEN tersebut.
“Sejak 13 Maret 2020, proses seleksi calon anggota DEN telah dimulai dan akan melakukan fit dan proper test pada 10 – 12 November 2020,” paparnya.
Ia menjelaskan bahwa ada 47 orang calon anggota DEN yang mendaftar. Mereka berasal dari kalangan akademisi, industri, konsumen, lingkungan hidup dan teknologi. Melalui proses assessment awal, 30 orang lulus ke tahap berikutnya. Selanjutnya, dari 30 nama, presiden memilih 16 orang. Kemudian, Komisi VII mengumumkan 16 nama tersebut ke publik sehingga masyarakat dapat memberikan pendapatnya sebelum mereka mengikuti fit dan proper test. Hasil uji kelayakan dan kepatutan tersebut akan menentukan 8 anggota baru DEN yang kepadanya para penggerak lingkungan, aktivis ekonomi dan masyarakat melekatkan harapan.
Farhan Helmy berharap anggota DEN yang terpilih akan melihat dinamika energi tidak hanya di tingkat nasional namun juga internasional. Mengingat dunia sudah bergegas menyiapkan langkah konkret untuk memenuhi Kesepakatan Paris, yakni menjaga agar suhu bumi tidak lebih dari 2oC dengan beralih ke energi terbarukan, maka Indonesia perlu menunjukkan langkah nyata komitmen iklimnya.
“DEN penting mengambil peran dan leadership sebagai prime mover dalam melakukan transformasi. Bila perlu RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) dibongkar karena perkembangan dinamika energi dunia. Kita hanya punya 10 tahun untuk menentukan agar dunia tidak hancur karena kenaikan suhu global, sehingga kebijakan harus dibicarakan secara terbuka. Anggota DEN perlu membuka diri untuk mendialogkan kepada semua pihak.”
Farhan meminta DEN untuk menyiapkan wadah dalam civic engagement dengan mengembangkan naratif yang tidak retorik tapi berbasis bukti.
Urgensi pemanfaatan ET juga menjadi perhatian Berly Martawardaya, Direktur Riset di INDEF dan dosen FEB UI. Ia mendesak DEN untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam pemanfaatan ET dibanding negara ASEAN lainnya. Salah satu cara yang DEN bisa lakukan adalah dengan mendorong kebijakan tarif yang menarik, misalnya dalam rancangan Perpres harga energi terbarukan yang menggunakan instrumen feed-in-tariff (FiT).
“Saat ini harga ET dipatok maksimal 85% dari harga pembangkitan listrik nasional yang dominan energi fosil. Ini harus diubah, harus lebih mahal sedikit menjadi 115-125% dari energi fosil. Jika susah, maka perlu tambahan dana khusus, net present value tetap tapi diberikan FiT tinggi di awal. Ini penting mengingat biaya modal untuk pembangkit ET cukup besar namun memiliki biaya operasional yang minimal,”ujarnya.
Tidak hanya itu, menurutnya PLN harus diberi suntikan modal khusus untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23%. Selanjutnya, jika ET sudah mulai tumbuh, maka instalasi selanjutnya bisa mendapatkan green financing lewat perbankan atau internasional.
Melihat tren perkembangan teknologi ET di dunia, Berly juga meminta DEN menunda pengembangan PLT fosil, khususnya batubara, yang kontraknya 20-30 tahun, sebab harga listrik ET akan lebih murah di 2023/2024.
“Selain merevisi UU Minerba, DEN juga seharusnya mewajibkan lembaga pemerintah ganti lampu LED dan menggunakan PLTS Atap,” tukasnya.
Menurut Berly, DEN perlu membuat kebijakan yang mengatur mengenai pemberian pinjaman lunak bagi masyarakat yang menggunakan PLTS Atap dan mempermudah proses pembangunan dan penjualan listrik off grid ke masyarakat, terlebih ke masyarakat kecil dan terpencil.
Dari sisi konsumen energi, Tulus Abadi menuntut agar DEN mengawal kebijakan energi pemerintah agar tetap konsisten sehingga tidak merugikan konsumen. Ia menganggap definisi elektrifikasi masih menimbulkan kerancuan. Menurutnya tidak adil bila hanya karena 1 rumah di desa dialiri listrik, maka secara otomatis desa tersebut disebut desa berlistrik.
“Pemerintah harus menyediakan akses energi kepada masyarakat dengan standar keekonomian masyarakat. Saat ini kualitas listrik masih jauh dari memadai. Di luar Jawa-Bali, keluhan pemadaman akibat sistem masih banyak terjadi. Selain itu, pengetahuan konsumen terhadap energi sangat rendah, hanya terbatas pada hemat listrik berarti mati lampu. Saya harap DEN bisa menindaklanjuti hal ini dan berkoordinasi dengan lembaga terkait,”tegasnya.
WALHI melalui Nur Hidayati menyoroti permasalahan energi mulai dari penyediaan, produksi, distribusi dan transportasi energi.
“Ada 3 masalah imperatif yang ditimbulkan penyediaan energi di Indonesia saat ini, pertama, krisis ekologis dan krisis iklim terutama yang dihasilkan dari proses ekstraksi, produksi dan transportasi energi fosil. Kedua, inequality,kemiskinan justru terjadi pada masyarakat di wilayah ekstraksi. Mereka secara langsung terkena dampak kesehatan dari proses penambangan energi. Ketiga, konflik agraria karena ketidakjelasan tenurial pada proses penyediaan energi yang menyulut konflik,” ungkapnya.
Hidayati berharap, ke depannya, pada masa transisi energi ini, anggota DEN yang baru tidak hanya melihat transisi energi sebagai peralihan jenis sumber energi tapi juga peka terhadap proses penyediaan energi dan pendistribusiannya.
Senada dengan Hidayati, Mieke Verawati menyoal krisis keterlibatan perempuan dalam bidang energi. Padahal menurutnya, dampak buruk eksplorasi energi menyasar perempuan juga. Selama ini, ia melihat perempuan hanya diposisikan sebagai konsumen energi semata.
“Saya mendorong DEN menggunakan prinsip afirmatif untuk menampung aspirasi setiap kelompok masyarakat, termasuk perempuan, sehingga dalam proses penyediaan energi juga memikirkan kepentingan perempuan. Selain itu, DEN perlu melihat upaya inisiatif berbasis komunitas di mana perempuan berperan penting dalam menyediakan sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan,” tandasnya.
Tidak hanya perempuan, mahasiswa juga ingin mendapatkan peran lebih dalam pemanfaatan ET. Hal ini diungkapkan oleh Habib Azizi. Berdasarkan hasil survei SRE yang dilakukan ke lebih dari 12 universitas, ia menjabarkan bahwa proses desentralisasi untuk mendukung ET dan elektrifikasi di Indonesia belum berjalan. Ia juga melihat inkubasi ide mahasiswa terkait pengembangan ET juga masih kurang progresif. Sementara untuk menghadapi gerak dunia ke arah energi terbarukan, menurutnya kualitas SDM masih rendah karena kurikulum pendidikan belum mendukung pengembangan SDM untuk kemajuan ET.
“Saya berharap DEN mampu meningkatkan kekuatan di hilir sektor energi secara mandiri, menciptakan SDM yang siap untuk ET, melakukan mediasi pelaku industri untuk sumber energi ramah lingkungan, serta merealisasikan ide mahasiswa terhadap sektor energi di Indonesia,” katanya.
Laode M Syarif yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua KPK 2015 – 2019 meminta DEN memahami konteks energi di Indonesia dan serius menunjukkan keberpihakannya pada ET.
“Energi salah satu sektor yang paling korup di Indonesia karena yang paham tentang energi itu sedikit sementara pemain lama yang mendominasi,” ungkapnya.
Ia membeberkan bahwa tata kelola proyek energi nasional menjadi permasalahan yang serius.
“Ada 34 proyek besar energi fosil yang mangkrak, salah satunya PLTU Maluku berkapasitas 30 MW. Minimalkan kerugian negara. Begitu pula dengan pembangkit ET yang tata kelolanya sama parahnya dengan fosil. Di tahun 2018 ada 68 pembangkit berbasis ET mangkrak,” paparnya.
Syarif juga mengulas UU Minerba baru tidak menjawab berbagai masalah seperti masalah lingkungan, keadilan pusat daerah, kepatuhan pembayaran pajak/royalti, korupsi, keberlanjutan ekonomi daerah tambang setelah pertambangan tutup, perizinan, dan konflik kawasan.
Meski agak pesimis, Laode berharap anggota DEN yang baru mampu menunjukkan keberpihakannya pada ET dan memiliki integritas yang baik.
Sakiskan kembali siaran tundanya: