Pada awal tahun 1990-an, fenomena padam listrik menjadi hal yang umum di Indonesia. Pada banyak kesempatan, hal ini terjadi tanpa ada pemberitahuan lebih lanjut dari perusahaan utilitasnya, yakni PLN. Kondisi seperti ini terjadi lebih buruk di luar pulau Jawa dan Sumatra. Lahir dan dibesarkan di Kalimantan, saya mengamati fenomena ini di lingkungan sekitar rumah. Hampir setiap rumah memiliki generator listrik yang dijadikan sebagai cadangan ketika pemadaman listrik terjadi. Akan tetapi, situasi ini berubah ketika pemerintah mulai meningkatkan kapasitas terpasang pembangkit listrik sepanjang akhir tahun 90-an, yang dipelopori oleh pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Pengembangan pembangkit listrik yang masif ini didukung oleh tersedianya batubara lokal yang melimpah dan harganya yang murah. Akibatnya, biaya pembangkit listrik ini lebih murah dibandingkan pembangkit listrik jenis lainnya. Pengembangan pembangkit listrik ini diperkuat dengan Undang-Undang (UU) Ketenagalistrikan No. 30 Tahun 2009, menggantikan UU sebelumnya Nomor 15 Tahun 1985, yang memberikan izin kepada pihak swasta dalam sektor ini. Di Indonesia, pengembangan PLTU dilaksanakan melalui tiga program yang didukung oleh pemerintah, yakni 35.000 MW dan Program Jalur Cepat Fase 1 & 2. Sampai saat ini, listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik ini berkontribusi sebesar 65% bagi ketersediaan listrik. Tidak mengeherankan jika sepertiga emisi CO2 Indonesia berasal dari sektor tersebut.
Ditambah dengan menurunnya harga pembangkit listrik energi terbarukan, PLTU akan kehilangan daya saingnya secara ekonomis. Ini merupakan situasi yang tidak asing lagi baik dalam konteks global maupun Indonesia. Studi oleh BNEF dan IESR baru-baru ini telah memproyeksikan penurunan harga dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) bahkan jauh di bawah dari harga PLTU di tahun 2023. Di tahun 2040, harga PLTS akan lebih terjangkau daripada biaya jangka pendek PLTU (short marginal running cost). Dalam merealisasikan hal itu, pemerintah telah mengeluarkan sebuah rencana untuk mempensiunkan 9.2 GW PLTU pada tahun 2030. Sebesar 5.5 GW darinya akan dipensiunkan lebih awal, sementara sisanya, dengan perkiraan sebesar 3,7 GW, akan digantikan dengan energi terbarukan. Rencana tersebut memang akan melepaskan PLTU dari bauran energi Indonesia pada tahun 2060. Walaupun inisiatif pemerintah sangat diapresiasi, rencana ini masih jauh dari kata sepadan dengan ketetapan pencapaian 1.5°C dalam Perjanjian Paris. Pertanyaan saat ini adalah bagaimana agar rancangan tersebut dapat sejalan dengan targetnya.
Berdasarkan analisis IESR, dengan mempertahankan rencana pemerintah, mempensiunkan PLTU tetap dapat dibuat sepadan dengan Perjanjian Paris. Mempertimbangkan seluruh dampak sosial dan ekonominya, jalur pensiun yang sepadan dengan 1.5°C akan membuat sekitar 21,7 GW PLTU, yang dimiliki oleh PLN dan IPP, akan dihentikan para tahun 2031-2040. Antara tahun 2041-2045, sekitar 12,5 GW dari PLTU akan dipensiunkan. Analisis ini juga menunjukkan bahwa percepatan dalam mempensiunkan PLTU merupakan hal yang dapat dilaksanakan juga menguntungkan. Dengan perginya PLTU dari campuran pembangkit listrik di Indonesia secara cepat, analisis menemukan bahwa subsidi listrik batubara dan biaya kesehatan yang dapat dihindari bisa mencapai 2-3 kali lebih besar daripada biaya aset terdampar, penonaktifan, dan kerugian pendapatan batubara negara. Ini diperkirakan bahwa biaya pensiun dari percepatan pensiun PLTU berkisar 4.3 juta dolar AS di tahun 2030 dan 28 juta dolar ASdi tahun 2045. Potongan biaya yang tampaknya besar ini tentu akan membutuhkan dukungan internasional yang signifikan, terlepas dari manfaat yang diperoleh dalam jangka panjang akan lebih besar.