Skip to content

ASEAN Forum : Menyebarkan Inisiatif Tata Kelola Sumber Daya Alam ke Wilayah ASEAN

Author :

Authors

Jakarta. Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Pusat Studi ASEAN, Universitas Indonesia menyelenggarakan ASEAN Forum on Natural Resources Governance: Toward ASEAN Economic Community 2015 and beyond yang berlangsung di Jakarta, tanggal 17 April 2013.

Forum yang dihadiri oleh enam puluh peserta yang mewakili pihak pemerintah, kelompok masyarakat sipil, dunia usaha dan universitas ini bertujuan untuk berbagi pengalaman para pihak yang telah mendorong upaya perbaikan pengelolaan sumber daya alam di kawasan, serta mendorong ASEAN untuk menyiapkan prinsip-prinsip tata kelola sumber daya alam yang baik menjelang terbentuknya ASEAN Economic Community di tahun 2015.

“ASEAN Charter telah menyatakan bahwa tata kelola yang baik merupakan prinsip dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam agar proses pembangunan dapat berjalan secara berlanjutan” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam pembukaanya.

Dari kiri ke kanan: Jose Melvin (Bantay Kita), Hendra Sinadia (IMA) dan T Nirarta Samadi (UKP4)

Forum ini menghadirkan sejumlah pembicara seperti T. Nirarta Samadi, Wakil Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang membahas tentang upaya pemerintah Indonesia mendorong keterbukaan informasi melalui pengembangan portal peta digital “One Map” dalam program Open Government Partnership (OGP).

Dengan peta one map ini seluruh data mengenai wilayah pertambangan, hutan, dan lahan gambut dintegrasikan secara digital, dan memungkinkan masyarakat mengakses berbagai informasi seperti peraturan pemerintah, wilayah sumber daya alam dan pihak-pihak yang berwenang dalam pengelolaan sumber daya alam.

“Selain mengintegrasikan data dari Kementerian Lingkungan, Energi dan Sumber daya Mineral serta Kehutanan, peta ini juga memungkinkan masyarakat untuk mengakes dan memberikan informasi terkini mengenai kondisi yang terjadi di lapangan, seperti koreksi wilayah konsensi hutan yang dilakukan oleh LSM Green peace dan komunitas GIS Indonesia. Peta ini juga dipantau oleh lebih dari 80 perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan dan perkebunan” jelas Samadi.

Hendra Sinadia dari Asosiasi Pertambagan Indonesia menambahkan, koordinasi data yang disediakan peta digital bisa menjadi langkah awal perbaikan untuk perbaikan tata kelola sumber daya alam, khususnya pertambangan, namun untuk langkah selanjutnya perlu dilakukan sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Hendra juga menyoroti kasus yang terjadi di Indonesia dimana juga perlu dilakukan secara sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Seperti yang terjadi di Indonesia, sejak diberlakukannya otononomi daerah, kekuasaan pengelolaan tambang berpindah dari pusat ke daerah, namun kondisi ini tidak diimbangi dengan penguatan kapasitas dalam pengelolaan tambang.

“Pertambangan menjadi komoditas politik bagi pemerintah daerah, dengan mengeluarkan berbagai macam ijin pertambangan tanpa menghiraukan prinsip-prinsip dasar pengelolaan tambang seperti daya dukung lingkungan.

Secretary Elisia “Bebet” Gozun,

Sementara di Filipina, buruknya pengelolaan pertambangan telah menimbulkan berbagai dampak negatif, mulai dari kerusakan lingkungan hingga konflik sosial dan politik yang melibatkan masyarakat adat, perusahaan, pemerintah dan aparat keamanan. Pertambangan juga dianggap sarang praktek korupsi dan menimbulkan proses kemiskinan yang berkepanjangan.

“Pelaksanaan prinsip-prinsip transparansi dalam Extractive Industry Transparansi Initiative (EITI)merupakan bukti komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi dan kemiskinan, EITI juga mendorong terbukanya pintu dialog antara pemerintah, kelompok masyarakat sipil dan perusahaan untuk mendorong perbaikan pengelolaan tambang”ujar Elisia “Bebet” Gozun, Penasihat Presiden untuk Perubahan Iklim dan ketua Tim Pelaksana EITI Filipina.

Ditambahkan oleh Jose Melvin, anggota koalisi masyarakat sipil Filipina, Bantay Kita, penerapan prinsip transparansi juga harus dilakukan sejak awal proses pengolahan pertambangan, dengan memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat megngenai rencana pertambangan dan konsekwensi dan dampak kegiatan pertambangan terhadap kehidupan dan lingkungan mereka

“Pemerintah dan perusahaan harus konsisten untuk menerapkan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) dan melibatkan masyarakat untuk membuat keputusan, apakah mereka setuju atau tidak setuju dengan kegiatan pertambangan. Prinsip ini harus menjadi pedoman bagi semua pihak, sehingga tidak ada pemaksanaan dalam kegiatan pertambangan.”tegasnya

Industri Ektraktif untuk masa depan

Forum ini juga mempresentasikan hasil scoping study mengenai tata kelola industri ektraktif di lima negara di Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, Kamboja, Vietnam, Myanmar dan Timor Leste.

Dalam presentasinya, Direktur Eksekutif Energy Analystics and Consulting menjelaskan industri ekstraktif merupakan merupakan sumber bagi pendapatan utama bagi negara-negara di kawasan ini. Namun pengelolaan yang tidak transparan telah mendorong para pemimpin negara di kawasan ini menggunakan sumber daya alam sebagai komoditas ekonomi dan politik yang hanya menguntungkan segelintir golongan.

Pemerintah di negara kaya sumber daya, cenderung untuk memberikan subsidi energi yang tinggi bagi warga negarannya, ketimbang penerapkan kebijakan pajak. Akibatnya, masyarakat kehilangan kekuatan untuk mengawasi dan mendesak pemerintah menjalankan program pembangunan yang sehat dan akuntabel.

“Penerapan EITI adalah salah satu inisiative untuk mendorong perbaikan tata kelola tersebut, tapi pemerintah juga perlu menyiapkan pengelolaan dana yang transparan dan akuntabel dalam bentuk Sovereign Wealth Fund untuk memastikan bahwa negara tetap memiliki sumber keuangan bagi pembangunan jangka panjang dan generasi mereka di masa depan” Ujar Doshi.

Dari kiri ke kanan: Professor Zainuddin Djafar (Universitas Indonesia), Dr. Tilak K. Doshi (National University of Singapore) and Evy Firiani Ph.D (Universitas Indonesia)

Selain itu, tambanya, pemerintah juga harus membentuk badan pengatur sumber daya alam yang independen, menyiapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang jelas, termasuk menentukan badan, tingkat pemerintah dengan wewenang yang jelas, serta penerapan hukum yang jelas dan berlaku pada semua pihak untuk mendorong iklim investasi yang sehat bagi investasi asing dan lokal.

“Pemerintah juga harus mendorong perusahaan nasional yang mengelola sumber daya alam secara professional yang menjamin kedaulatan energi dan keuntungan buat negara,” tegasnya

Professor Zainuddin Djafar dari Universitas Indonesia menambahkan, selain mendorong perbaikan pengelolaan sumber daya alam secara teknis, pemerintah juga perlu mendorong peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk lebih mandiri dan tidak bergantung pada kekayaan alam saja” ujar Djafar.

Forum ini juga memberikan rekomendasi bagi pemerintah ASEAN untuk menyiapkan prinsip pengelolaan sumber daya alam yang memperhatikan aspek perlindungan pada hak asasi manusia, lingkungan, pembagian keuntungan yang adil serta transparansi dan akuntabilitas

Materi Presentasi dapat diunduh di halaman berikut:

  1. Extractive Industries Governance in Southeast Asia
  2. The Philippines Experiences in improving transparency and management in Mining Sector.
  3. Indonesia Country Lesson: Transparency, Participation and Innovation in Natural Resources Management

 

Share on :

Comments are closed for this article!

Related Article

IESR-Secondary-logo

Dengan mengirimkan formulir ini, Anda telah setuju untuk menerima komunikasi elektronik tentang berita, acara, dan informasi terkini dari IESR. Anda dapat mencabut persetujuan dan berhenti berlangganan buletin ini kapan saja dengan mengklik tautan berhenti berlangganan yang disertakan di email dari kami. 

Newsletter