Jakarta- Direktur Jenderal Kelistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman menjelaskan bahwa peraturan baru terkait jual beli listrik melalui Peraturan Menteri ESDM bertujuan untuk menertibkan pengembang swasta agar taat regulasi.
“Adanya Peraturan Menteri (Permen) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik ini agar swasta tidak seenaknya sendiri, serta menaati kesepakatan, selama ini banyak pembangkit listrik yang terbengkalai,” kata Jarman di Jakarta, Minggu (5/2).
Dalam Permen no 10/2017 pengembang akan terkena penalti jika tidak menaati aturan atau bahkan Power Purchase Agreement (PPA) bisa batal.
Permen No 10/2017 mengatur tentang Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) antara pembeli (PLN) dengan penjual (independet power producer/IPP) terkait aspek komersial untuk seluruh jenis pembangkit termasuk panas bumi, pembangkits listrik tenaga air (PLTA) dan PLT Biomass. Sementara, pembangkit energi baru terbarukan (EBT) yang intermiten dan Hidro di bawah 10 megawatt (MW) diatur dalam peraturan sendiri.
Dalam hal ini jika penjual tidak dapat mengirimkan energi listrik sesuai kontrak karena kesalahan penjual, maka penjual wajib membayar penalti kepada PLN. Penalti proporsional sesuai biaya yang dikeluarkan PLN untuk menggantikan energi yang tidak dapat disalurkan.
Setuju dengan hal tersebut, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mangapresiasi adanya peraturan tersebut, untuk menegaskan aturan terhadap pengembang.
Namun terkait dengan peraturan energi terbarukan yakni Permen No 12 tahun 2017 ia berpendapat bahwa aturan tersebut perlu dikaji kembali. Menurutnya, pembelian listrik maksimal 85 persen dari biaya pokok produksi setempat berpotensi mengurangi iklim investasi.
“Ini seperti memberatkan jika 85 persen biaya pokok produksi (BPP) setempat harus dilaksanakan, belum lagi energi terbarukan didorong harus meningkat 35 persen,” katanya.
Sumber: beritasatu.com.