Menilik Pasar Karbon Indonesia: Tantangan, Peluang dan Jalan untuk Masa Depan

Kemajuan pesat dalam penetapan harga karbon di Indonesia telah mencapai tonggak penting. Peraturan Presiden (Perpres) 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) menjadi landasan pembangunan infrastruktur dan kerangka pelaksanaannya. Lahirnya regulasi NEK merupakan respon terhadap Pasal 6 Persetujuan Paris yang memperbolehkan para pihak memperdagangkan karbon guna menurunkan emisi. Beberapa instrumen yang ditawarkan dalam peraturan ini, terdiri dari perdagangan karbon, pembayaran berbasis hasil, dan pajak karbon, yang telah dua kali tertunda dan diperkirakan akan diluncurkan pada tahun 2025. Di antara semua instrumen tersebut, perdagangan karbon diidentifikasi sebagai instrumen yang matang dengan mekanisme cap-and-trade yang memungkinkan institusi untuk mengklaim emisi intensif tinggi mereka dengan membeli kredit dari aktivitas lain yang menyediakan stok karbon.

Untuk memperkuat pelaksanaan perdagangan karbon berdasarkan Undang-Undang 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertugas menyelenggarakan dan mengawasi perdagangan karbon di pasar karbon. Hanya dalam waktu 7 bulan, OJK menerbitkan peraturan perdagangan karbon melalui pertukaran karbon dan resmi meluncurkan pasar karbon pada 26 September 2023. Artinya, pembiayaan merupakan salah satu solusi untuk menjembatani kesenjangan dalam pencapaian target iklim dan berperan penting dalam meningkatkan kesadaran akan dampak buruk perubahan iklim, khususnya bagi sektor bisnis.

Sebelumnya, Indonesia telah mengenal Pasar Karbon Sukarela (Voluntary Carbon Market, VCM) sejak beberapa dekade terakhir sebelum memutuskan untuk membentuk pasar karbon wajib untuk memenuhi target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution, NDC) untuk sektor-sektor tertentu. Misalnya, proyek Lahan Gambut Sumatera Merang yang berhasil menjual 3 juta kredit karbon kepada perusahaan-perusahaan besar dan Indonesia Climate Exchange (ICX), sebuah platform perdagangan, diciptakan untuk membangun ekosistem bagi sektor swasta dengan skema sukarela.

Pada tahap pertama perdagangan karbon, 99 PLTU yang mencakup 86% pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia berpartisipasi dalam skema cap and trade. Setiap PLTU mempunyai jatah maksimum atau kuota emisi yang ditetapkan berdasarkan kriteria kinerja dan unit sebelumnya. Bagi mereka yang mengeluarkan emisi kurang dari ambang batas, mereka dapat menukarkan sisa kuota ke perusahaan lain yang melebihi batas maksimum. Ketika emisi PLTU telah melebihi kuota yang diberikan, maka mereka harus mengurangi emisi tersebut dengan membeli kuota dari PLTU lain atau membeli kredit karbon.

Keberhasilan program percontohan ini, meskipun memerlukan beberapa perbaikan, telah mendorong sektor-sektor lain untuk mempertimbangkan perdagangan karbon dan memperluas penerapannya di luar sektor energi, sambil menunggu diterbitkannya peta jalan perdagangan karbon yang saat ini sedang dibahas di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Dengan terbentuknya pasar karbon, maka produk perdagangan yang akan diperjualbelikan adalah kuota karbon dari sektor yang memenuhi syarat yang disebut PTBAE-PU dan kredit karbon atau SPE-GRK. PTBAE-PU hanya dapat diperjualbelikan oleh sektor wajib yang mempunyai batas maksimum emisi emisi, sedangkan kredit dapat diberikan dari berbagai proyek, misalnya proyek restorasi gambut dan energi terbarukan, di mana seluruh peserta dapat membeli kredit tersebut untuk menghindari emisi. Untuk berpartisipasi dalam pertukaran karbon, semua entitas, baik penghasil emisi atau bukan, harus mendapatkan izin dari National Standard Registry (SRN), sebuah platform yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai database emisi nasional dan memvalidasi kredibilitas produk dan peserta yang terlibat dalam pertukaran karbon. Dengan besarnya harapan, pemantauan dan evaluasi emisi yang cermat dapat dengan mudah diintegrasikan antar sektor dalam satu platform dan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi data yang diperlihatkan kepada publik.

Peluncuran pertukaran karbon hanya satu bulan setelah OJK mengeluarkan peraturannya telah menimbulkan beberapa pertanyaan, salah satunya adalah apakah Indonesia cukup siap untuk mengelolanya. Dengan tidak adanya ekosistem pasar yang komprehensif, diperlukan perencanaan dan implementasi yang matang oleh pemerintah, khususnya regulator dan kementerian terkait. Meski antusiasme ditunjukkan oleh 13 transaksi dengan total volume setara 459.914 metrik ton CO2 dengan harga satuan sekitar USD 4,51 yang didominasi oleh BUMN pada hari pertama peluncurannya, pembelajaran dari beberapa sistem perdagangan emisi (ETS) ), seperti Tiongkok, menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu yang cukup lama, hampir satu dekade, untuk membangun ekosistem pasar yang kuat dan matang. Validasi, kredibilitas, dan transparansi data merupakan aspek fundamental yang patut diwaspadai oleh berbagai pemangku kepentingan, antara lain OJK, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan lainnya. Integrasi pasar antara perdagangan karbon sektor tenaga listrik dan sektor kepatuhan yang akan datang dengan pasar karbon yang baru dirilis harus diterapkan untuk mencapai satu sistem dan mekanisme penetapan harga yang sama, karena pihak sukarela mendominasi pasar saat ini.

Penting juga untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan di pasar guna menjaga antusiasme pasar dan menjamin kelancaran transaksi. Mengingat pengalaman awal Skema Perdagangan Emisi Uni Eropa (EU ETS), di mana kelebihan pasokan menyebabkan harga karbon mendekati nol pada tahun 2007, maka tindakan pencegahan harus diambil untuk mencegah harga karbon menjadi tidak kompetitif. Selain itu, pasar karbon akan segera memungkinkan perusahaan-perusahaan di luar Indonesia untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon, yang dapat menyebabkan kebocoran karbon jika harga tidak kompetitif dan perusahaan-perusahaan dalam negeri tidak mendapatkan manfaat dari insentif yang diberikan oleh pasar karbon.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang mengatur kuota dan ambang emisi di bidang ketenagalistrikan harus membatasi emisi yang diperbolehkan oleh setiap perusahaan pemilik pembangkit listrik. Dengan rencana kuota maksimal 85% pada tahun 2024, diharapkan dapat mendorong setiap operator untuk menyusun strategi penurunan emisi. Saat ini, kuota masih didasarkan pada intensitas emisi dan rata-rata emisi tahun sebelumnya, sehingga dapat menyebabkan alokasi yang lebih tinggi pada tahun berikutnya. Oleh karena itu, pemantauan berkala diperlukan untuk mengurangi kuota emisi setiap pembangkit listrik.

Pasar karbon juga membuka peluang untuk menginformasikan prinsip-prinsip taksonomi hijau secara luas, terutama kepada lembaga keuangan, investor, dan pemilik proyek. Hal ini dapat memungkinkan identifikasi apakah suatu proyek dapat diperdagangkan di pasar karbon dan termasuk dalam klasifikasi taksonomi hijau. Hal ini dapat meningkatkan transparansi dalam penilaian dan kepercayaan sekaligus membantu investor dan lembaga keuangan dalam memobilisasi pendanaan untuk proyek-proyek berkelanjutan. Namun, koordinasi dan kesepakatan kelembagaan lebih lanjut juga diperlukan untuk mencapai hal ini.

Meskipun pasar karbon di Indonesia masih tergolong baru, penerapannya yang efektif diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku industri, khususnya pada sub-sektor pembangkit listrik dan sektor energi secara keseluruhan. Penyebaran informasi kepada khalayak yang lebih luas penting untuk menarik lebih banyak pembeli dan pedagang untuk berpartisipasi dalam pertukaran karbon di luar sektor energi. Pada tahap awal ini, diperlukan insentif dari pemerintah karena untuk bisa lolos kriteria ‘hijau’, diperlukan proses tambahan yang menimbulkan biaya tambahan dan berpotensi menjadi beban, sehingga membuat pasar karbon menjadi tidak menarik. Pasar ini juga menciptakan peluang bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pendanaan iklim, sekaligus mendorong peluncuran pajak karbon sebagai alat pelengkap yang penting. Pemantauan dan evaluasi berkala diperlukan untuk menjaga semua kegiatan pada jalur yang benar, sementara peningkatan dan pengembangan lebih lanjut diperlukan agar pasar memenuhi syarat di tingkat internasional.

Resmikan PLTS Atap Terbesar di Jateng: Keniscayaan Transisi Energi

Refleksi Satu Tahun Jateng Solar Province

Klaten, 6 Oktober 2020 — Satu tahun semenjak pencanangan Jawa Tengah (Jateng) sebagai  pionir provinsi surya (Jawa Tengah Solar Province)  pada 17 September 2019 oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah yang bekerja sama dengan Institute Essential Services Reform (IESR) yang juga didukung oleh Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), perkembangan pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di Jateng semakin meningkat. 

Provinsi Jawa Tengah sendiri memiliki potensi radiasi energi surya 4,05 kWh/kWp per hari, sedikit di atas rata-rata Indonesia (3,75 kWh/kWp). PLTS Atap merupakan solusi utama untuk pemanfaatan potensi tersebut. Pemasangan PLTS dapat membantu Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mencapai target bauran energi terbarukan dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) tahun 2020 sebesar 11,60%.

Potensi Teknis PLTS Terapung di Jawa Tengah

Inisiasi Jateng Solar Province ini ternyata selaras dengan upaya PT Tirta Investama (Danone- AQUA) menggunakan listrik energi terbarukan. Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Jawa Tengah ini pada 6 Oktober 2020 meresmikan instalasi PLTS Atap sebesar 2,9 MWp di pabriknya di Klaten. PLTS Atap yang dipasang di pabrik AQUA di Klaten terdiri dari 8.340 modul panel surya di empat gedung atap seluas 16.550 m2. Pembangkit ini dapat menghasilkan energi untuk 2500 unit rumah dengan daya terpasang 900 VA.

Sebagai bagian dari RE100, grup Danone secara global berkomitmen untuk menggunakan energi terbarukan 100% untuk operasionalnya pada 2030. Instalasi PLTS Atap merupakan bagian untuk memenuhi target tersebut. Dengan peresmian di Klaten, sampai 2020 Danone-AQUA telah mengoperasikan 5,67 MWp PLTS di empat pabriknya.   

Fabby Tumiwa,  Direktur IESR, yang menjadi penanggap di acara peluncuran ini mengapresiasi langkah PT Tirta Investama dengan pemanfaatan energi terbarukan yang dapat berkontribusi pada penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai komitmen Indonesia untuk mencapai target Paris Agreement. PLTS Atap juga memberikan kontribusi penting terhadap komitmen Jawa Tengah mewujudkan Jateng Solar Province

Dia juga menyoroti pula keterlibatan Total Solar selaku perusahaan multinasional yang awalnya berkecimpung di bidang minyak dan gas yang saat ini beralih ke sektor energi terbarukan.

“Investasi PLTS Atap oleh Danone-AQUA adalah fenomena menarik karena mempertemukan dua perusahaan multinasional yang saling bersinergi mendorong transisi energi global untuk memastikan kenaikan suhu global tidak melebihi 2 derajat,” paparnya.

Menurutnya, transisi energi merupakan sebuah keniscayaan melihat banyaknya pelaku industri di dunia yang menetapkan target untuk menggunakan listrik yang bersih melalui pemanfaatan teknologi energi terbarukan. 

Menurut Fabby, investasi PT Tirta Investama menunjukan bahwa teknologi PLTS semakin terjangkau dan kompetitif harga listriknya. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa harga modul surya turun 90 persen dalam 1 dekade terakhir, harga listrik dari PLTS semakin murah dan dapat menandingi pembangkit fosil seperti PLTU. Pemanfaatan PLTS yang meluas juga menunjukan bahwa isu intermitensi energi terbarukan bukanlah kendala yang tidak dapat diatasi. Ini membongkar mitos yang selama ini beredar bahwa PLTS tidak handal dan mahal. 

Menyoal target pemerintah untuk bauran energi terbarukan sebesar 23 persen di tahun 2025, Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Kementerian ESDM  memaparkan bahwa masih ada selisih antara target dan perencanaan yang cukup besar yang harus segera diatasi. 

“Saat ini, proyeksi kita masih ada di 15 persen dari 23 persen,” ungkapnya.

Harris menjelaskan bahwa pemerintah sudah melakukan beberapa tindakan untuk memenuhi target selisih 8 persen tersebut.

“Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) nomor 49 Tahun 2018 yang sudah mengalami perbaikan menjadi Permen nomor 13 Tahun 2019 dan nomor 16 Tahun 2019. Usahanya ini untuk membuat PLTS Atap menjadi lebih menarik tidak hanya di industri rumah tangga tapi tapi juga semua bangunan komersial,” imbuhnya.

Ganjar  Pranowo, Gubernur Jawa Tengah memuji langkah industri untuk penerapan energi ramah lingkungan. Ganjar menegaskan pentingnya transformasi perilaku dalam memasuki era transisi energi ini.

“Ada lampu tenaga surya untuk penerangan jalan yang mati karena tidak dirawat atau aki (baterai) nya hilang. Dana perawatan dari pemerintah pusat tidak tersedia tapi hal seperti ini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu perlu payung kerjasama antar lembaga pemerintah, pelatihan untuk merawatnya serta perlu keseriusan dari berbagai pihak sehingga teknologinya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan” ungkapnya.

Ganjar berpendapat Indonesia bisa bergerak lebih maju di bidang PLTS karena tersedianya bahan dasar pembuatan sel surya. Oleh karena itu Indonesia perlu membangun industri sel surya dan pendukung lainnya. 

“Bekerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia, kita pasti bisa membuat teknologi sel, modul surya, baterai yang bisa diproduksi massal untuk rumah tangga,”simpul Ganjar pula (US, FT).

Energi Terbarukan Sebagai Strategi Green Economic Recovery Pasca-COVID19



Akselerasi pembangunan energi terbarukan sebagai strategi green economic recovery pasca-COVID19

Pandemi virus corona menciptakan krisis global yang belum pernah terjadi pada generasi abad ini. Ketika tulisan ini dibuat, terdapat 3,308 juta orang yang terkena wabah ini, dengan kematian mencapai 234 ribu lebih di seluruh dunia. Hingga akhir Maret lalu terdapat lebih dari 100 negara yang menerapkan lockdown atau partial lockdown, yang berdampak pada kehidupan milyaran orang.

Aktivitas ekonomi di berbagai tingkatan lokal, nasional, global melambat drastic bahkan terhenti. Disrupsi logistik terjadi di berbagai negara, jaringan rantai pasok terkoyak, aktivitas produksi dan konsumsi mengalami stagnasi, permintaan energi anjlok, dan sebagai akibatnya kesempatan kerja pun semakin pupus dan tingkat pengangguran meningkat, demikian juga kemiskinan meningkat. 

The coronavirus lockdown is saving lives but destroying livelihoods,” kata Tim Harford, dalam artikelnya di Financial Times, 2 April 2020. International Monetary Fund (IMF) memperkirakan ekonomi global akan anjlok minus 3% tahun ini.

Indonesia juga terkena dampak sosial dan ekonomi dari wabah virus corona. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan jauh lebih rendah dari target yang dicanangkan tahun lalu. Kementerian Keuangan memprediksi ekonomi kita menghadapi ketidakpastian dan kemungkinan hanya tumbuh minus 0,4% – 2,3%. Sejumlah lembaga internasional memprediksi ekonomi Indonesia bisa tumbuh 1%-2,5%, tetapi berbagai prediksi tersebut tergantung pada faktor seberapa buruk dampak pandemi serta efektivitas respon pemerintah mengatasi perlambatan ekonomi dan besaran stimulus yang dialokasikan untuk memacu pemulihan ekonomi.  

Sejauh ini pemerintah merespon pandemi virus corona dengan tiga strategi: pertama, membatasi penyebaran virus corona lewat kebijakan PSBB; kedua, memperkuat fasilitas dan pelayanan kesehatan untuk menghadapi pandemi; ketiga, meredam dampak ekonomi yang diakibatkan karena aktivitas ekonomi yang melambat dengan memperkuat jaring pengaman sosial dan dukungan fiskal terhadap dunia usaha dan UMKM yang terdampak. Ketiga strategi ini terlihat dalam perubahan dan realokasi belanja dalam APBN 2020 yang mengalami penghematan anggaran K/L, realokasi belanja, dan perluasan pemanfaatan dana desa, serta tambahan anggaran untuk belanja penanganan COVID-19 yang diatur dalam Perpu No. 1/2020.

Jika diamati, respon pemerintah sejauh ini baru berorientasi pada penanganan krisis dan dampak krisis saat ini. Sejauh ini belum terlihat adanya strategi untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca-COVID-19. Dampak dari Pandemi COVID-19 memberikan tantangan yang lebih besar bagi pemerintah untuk mencapai target pembangunan nasional, antara lain: menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkualitas, menciptakan pemerataan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan membangun infrastruktur secara merata di seluruh Indonesia.

Kapasitas fiskal untuk pemerintah juga berkurang dengan menurunnya sumber-sumber penerimaan dari pajak dan pendapatan non-pajak. Pulihnya sumber penerimaan negara ditentukan oleh pulihnya ekonomi dunia dan ekonomi Indonesia yang masih tidak menentu. Oleh karena itu pilihan strategi pemulihan menjadi sangat instrumental dalam rangka optimalisasi sumber daya dan dana yang terbatas untuk menghadapi krisis multi-dimensi tersebut, sekaligus berupaya mencapai target-target pembangunan yang telah direncanakan.

Tantangan yang dihadapi tidak saja berkaitan dengan dampak yang dihasilkan oleh pandemi. Dunia, termasuk Indonesia pada saat yang bersamaan menghadapi ancaman perubahan iklim dan menurunnya kualitas dan daya dukung lingkungan. Ancaman-ancaman tersebut, jika tidak diatasi, dapat menjadi penghambat tercapainya pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan dalam jangka panjang, serta dapat memperbesar risiko dan biaya yang harus dikeluarkan dalam menghadapi krisis serupa dengan pandemi COVID-19, bahkan yang lebih besar, di masa depan. Oleh karena itu otoritas kebijakan perlu mempertimbangkan pemanfaatan sumber daya dan kapasitas fiskal secara optimal untuk menghadapi krisis dan tantangan multidimensi dalam merumuskan strategi pemulihan ekonomi.

Di sisi lain pandemi COVID-19 menciptakan peluang bagi Indonesia masuk ke dalam jalur pertumbuhan ekonomi rendah karbon (low carbon economy) yang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi 5,6% sampai 2024 dan selanjutnya rata-rata 6% sampai 2045. Jalur ini memberikan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari pendekatan business as usual seperti saat ini. Walaupun demikian pertumbuhan tinggi dapat terjadi dengan syarat jika aktivitas pembangunan mengintegrasikan mitigasi perubahan iklim untuk mengurangi emisi gas rumah kaca 41% pada 2030, termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan energi terbarukan mencapai 23% bauran energi primer hingga 2030 (Bappenas, 2019).

Untuk itu dalam menyusun paket stimulus pemulihan ekonomi pasca-pandemi, Presiden Joko Widodo harus mengintegrasikan transisi energi menuju sistem energi yang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, akselerasi pengembangan energi terbarukan, penciptaan lapangan kerja dalam jangka pendek, dan penguatan industri energi terbarukan nasional, serta penurunan emisi gas rumah kaca. Dengan pengintegrasian ini, diharapkan stimulus fiskal yang disiapkan oleh pemerintah dapat menciptakan dampak pada ekonomi dalam waktu singkat dan meletakan fondasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan.

Strategi ini sejalan dengan rekomendasi Managing Director International Monetery Fund (IMF), Kristalina Georgieva yang disampaikan di Petersberg Climate Dialogue, yang menyatakan bahwa kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah untuk menghadapi virus corona perlu diharmonisasikan dengan tindakan untuk mengatasi perubahan iklim dan memastikan pemulihan (ekonomi) yang berkelanjutan secara lingkungan. 

Untuk itu IESR mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan green economic recovery pasca-COVID19 melalui Program Surya Nusantara. Ini adalah program untuk memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap sebesar 1 GWp yang dilakukan di 500-600 ribu rumah tangga miskin penerima subsidi listrik masing-masing sebesar 1,5 kWp – 2 kWp yang on grid. Program dimulai persiapannya di 2020 dan dilaksanakan di 2021 dan dapat dilanjutkan hingga 2025 untuk mendukung tercapainya target 6,5 GW dari energi surya sebagaimana target Perpres No. 22/2017 tentang RUEN.

Program Surya Nusantara membutuhkan stimulus anggaran sebesar 15 triliun di tahun pertama, dapat semakin berkurang dari tahun ke tahun seiring dengan penurunan harga modul surya. Sumber anggarannya berasal dari APBN dan selanjutnya dapat diperluas ke APBD. Sebagian besar dari dana ini akan dinikmati oleh industri dan pelaku usaha serta pekerja domestik, yang akan berputar di dalam ekonomi Indonesia.

Program ini diperkirakan dapat menyerap 30 ribu pekerja secara langsung dan tidak langsung selama setahun penuh. Untuk eksekusinya, diperlukan tenaga kerja terampil sebagai installater dan untuk melakukan O&M. Penyiapan tenaga kerja terampil dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan yang tersertifikasi. Pelatihan ini dapat diintegrasikan dengan Program Prakerja. Pelaksanaan pelatihan dilakukan melalui bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja, BUMN dan perusahaan EPC yang akan menampung tenaga kerja untuk melaksanakan program ini.

Program Surya Nusantara dapat memberikan berbagai manfaat bagi ekonomi Indonesia, antara lain: pertama, penyerapan tenaga kerja hingga 30 ribu yang akan mengurangi tekanan pengangguran; kedua, penghematan subsidi listrik Rp. 1,3 triliun per tahun dan akan semakin bertambah jika program ini diperluas dan dilakukan sampai 2025. Dengan penurunan subsidi dari program tahun pertama, secara kasar investasi yang dikeluarkan pemerintah akan kembali dalam waktu 10-12 tahun; ketiga, adanya potensi mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 1,05 juta ton/tahun yang dapat berkontribusi pada target penurunan 29% emisi GRK dalam nationally determined contribution (NDC); keempat, merangsang tumbuhnya industri photovoltaic nasional dan terbukanya pasar dan investasi untuk industri pendukung PLTS; dan kelima, terbukanya pasar PLTS Atap.  IESR memperkirakan potensi PLTS Atap untuk rumah tangga di Jawa-Bali saja mencapai 12 GW. Pemanfaatan PLTS Atap oleh rumah tangga. bangunan komersial dan industri akan mengurangi tekanan terhadap PLN untuk berinvestasi menambah kapasitas pembangkit.

Program Surya Nusantara, jika dilakukan dapat menjadi contoh nyata green economic recovery in action, yang menunjukan kepemimpinan Indonesia merespon krisis di kawasan Asia Tenggara dan di tingkat dunia. 

 

[*] Penulis adalah Direktur Eksekutif IESR, Email: fabby@iesr.or.id

Stimulus Akselerasi Energi Terbarukan untuk Pemulihan Ekonomi Pascapandemi #VirusCorona

Ditengah tekanan pandemi #COVID-19 ada kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk memprioritaskan strategi pembangunan rendah karbon, mendukung investasi energi terbarukan salah satunya.

Apa yang bisa dilakukan:

1) Siapkan stimulus untuk mempercepat PLN mengganti PLTD dan PLTU di luar Jawa yang sudah berusia di atas 20 tahun dengan pembangkit energi terbarukan: surya, air, biomass, angin, dan panas bumi. Ada potensi 1000 MW. berikan bunga rendah (<7%) bagi pelaku usaha lokal untuk membagun pembangkit energi terbarukan <20 MW, kombinasikan dengan kebijakan feed-in-tariff yang sedang disiapkan Permennya. Akan ada ribuan tenaga kerja yang terserap dan kredit bank yang mengucur. Sektor riil bergulir;

2) Kombinasikan dengan aktivitas ekonomi lokal dengan sistem produksi biomasa oleh masyarakat. Ini menciptakan lapangan kerja baru yang bisa jadi alternatif terhadap kebun kelapa sawit yang harga produknya mengalami tekanan;

3) Latih tenaga kerja untuk bekerja di sektor energi terbarukan sebagai teknisi, digabungkan dengan program PLTS Atap #SuryaNusantara;

4) Pasang PLTS Atap di pelanggan listrik 900 VA yang disubsidi dalam 5 tahun. Ada 8 juta pelanggan PLN pada kelompok ini. Jika setiap rumah dipasang 1 kWp maka akan didapat 8GW pada akhirnya. Pemerintah dapat menghapus subsidi listrik segera setelah PLTS Atap dipasang. Lanjutkan dengan 24 juta pelanggan 450VA. Alokasikan APBN untuk ini, lakukan bulk procurement sehingga dapat harga yang kompetitif dari produsen PV lokal dan untuk EPC. Ada ratusan kontraktor yang akan menyerap puluhan ribu tenaga kerja dalam 5 tahun;

5) Berikan insentif dan subsidi untuk membangun industri energi terbarukan: turbin air, boiler biomassa, industri PV dari hulu ke hilir dan pembuatan turbin angin, serta industri battery;

6) Berikan kredit lunak untuk rumah tangga untuk memasang PLTS Atap. Ada 4 juta rumah tangga yang berpotensi memasang 12-15 GW. Sebagian besar perlu kredit lunak.

Pemerintah bisa menciptakan “solar economy” dari sini dengan potensi investasi masyarakat $12-20 milyar. #LawanVirusCorona #StimulusEnergiTerbarukan

Kembangkan industri photovoltaic di dalam negeri, Indonesia bisa belajar dari India

Pemerintah Indonesia terkait (Kementerian Perindustrian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) bisa belajar dari India. Kita perlu kebijakan industri yang fleksible. Penerapan TKDN penting tapi jangan sampai menghambat pembentukan pasar dan perkembangan PLTS yang kompetitif. 

Sumber Berita: https://www.pv-tech.org/news/India-proposes-20-customs-duty-on-solar-imports-in-2020-2021-budget
India proposes tax cuts for new IPPs and 20% customs duty on solar imports | Sumber Berita: https://www.pv-tech.org/news/India-proposes-20-customs-duty-on-solar-imports-in-2020-2021-budget

Presiden RI Joko Widodo bisa merevolusi pemanfaatan energi surya sekaligus membangun industri surya di Indonesia dengan belajar dari India. Apa yang dilakukan pemerintah India:

1) Tetapkan target nasional PV yang ambisius; 

2) Bangun permintaan dan pasar untuk teknologi PV lewat program nasional yang dilakukan secara konsisten. India punya target PV 100 GWp sampai 2022; 

3) Ijinkan impor modul surya dan PV dalam prosesnya tapi Research & Development dan penguatan industri dalam negeri dilakukan; 

4) Setelah industri perakitan sel dan modul surya tumbuh dengan kapasitas >3 GWp per tahun, pemerintah menjamin pasar melalui mandatory policy penggunaan modul surya untuk proyek2 yang dapat subsidi/dukungan finansial pemerintah; 

5) Program solar park skala besar dikembangkan dan membuat harga listrik dari PLTS lebih murah dan kompetitif, industri PV dalam negeri “dipaksa” melakukan inovasi dan efisiensi; 

6) Setelah industri PV dalam negeri berkembang dan kompetitif, pemerintah menetapkan bea masuk 20% atas sel dan modul surya impor. Sebaliknya investasi di pembangkit PLTS diberikan insentif pengurangan pajak, untuk menjaga pertumbuhan permintaan sehingga output industri dapat diserap. 

Lewat kombinasi target energi surya, India bisa meningkatkan kapasitas industri sel surya dari 3 GWp pada 2014 menjadi 29 GWp pada 2019. 

IESR merekomendasikan Pak Jokowi ‘all out’ mendorong pengembangan energi surya. Sampai 2030, kita punya potensi 30 GWp utility scale PLTS dan 15 GWp PLTS Atap. Target RUEN hanya 6,5 GWp sampai 2025. Presiden harus menugaskan PLN untuk agresif membangun PLTS skala besar di Indonesia, diatas tanah dan diatas danau/bendungan. Dalam 5 tahun ke depan 5 GWp PLTS skala besar dapat dipasang. Kemudian dorong pemanfaatan PLTS Atap di seluruh gedung pemerintah sesuai amanat Perpres No. 22/2017 dan substitusi subsidi listrik rumah tangga miskin 450 VA dengan PLTS Atap 1-1,5 kWp per rumah. 

Untuk yang PLTS Atap bagi rumah tangga miskin, Pemerintah (Jokowi.red)  bisa prioritaskan pemakaian modul surya dalam negeri. Jika 500 ribu – 1 juta rumah tangga miskin bisa pasang PLTS Atap setiap tahun, kebutuhan modul mencapai 1-1,5 GWp, ini cukup untuk membuat industri surya yang terintegrasi dari wafer-sel-modul surya dan industri pendukungnya.

Presiden Jokowi bisa mendorong provinsi – provinsi di Indonesia untuk melakukan program PLTS dan memperkuat inisiatif seperti #JatengSolarRevolution oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dan #BaliCleanEnergyIsland oleh I Wayan Koster, Gubernur Bali, serta inisiatif Pemprov DKI Jakarta. 

Indonesia bisa mencapai 23% energi terbarukan di 2025, perlu strong leadership President Jokowi

#SuryaNusantara #1BY20 #SolarRevolution

Bagaimana Prospek Perkembangan Energi Bersih di Indonesia di 2020?

 

Pada Desember 2019 lalu, IESR meluncurkan laporan Indonesia Clean Energy Outlook 2020. Dalam laporan ini, disampaikan evaluasi perkembangan energi terbarukan dan efisiensi energi selama 2019, serta pandangan prospek pengembangan energi bersih di Indonesia pada 2020 ini. Bagaimana prospek perkembangan energi bersih, khususnya energi terbarukan di Indonesia pada 2020? Salah satu temuan dalam ICEO 2020 mengindikasikan investasi di bidang energi terbarukan mengalami penurunan.  Sejak 2015, realisasi investasi EBT terus menurun, padahal target investasi tahunan terus mengalami koreksi dari target Renstra KESDM 2015-2019. Bahkan target investasi EBT untuk 2019 sebesar $1,8 milyar hanya tercapai $1,5 milyar. Sepanjang 2015-2019 kapasitas pembangkit energi terbarukan (on-grid dan off-grid) bertambah 1,6 GW atau 11% dari total tambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik sebesar 15,5 GW. Pencapaian ini jauh lebih rendah dari realisasi pada periode 2010-2014. Pada 2020 KESDM memasang target pembangkit energi terbarukan dapat bertambah 685 MW. Angka ini jauh lebih tinggi dari realisasi penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan pada 2019 sebesar 376 MW. Walaupun lebih tinggi tetapi sesungguhnya pertambahan kapasitas ini masih lebih rendah dari penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan yang ditargetkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Untuk memenuhi target RUEN, setiap tahun sejak 2020, diperlukan penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan baru sebesar 4-5 GW.

Untuk dapat mencapai target tersebut maka diperlukan investasi yang cukup, kesiapan atau kemauan off-taker dan ketersediaan proyek-proyek yang feasible. Off taker yang terbesar adalah PLN yang memasok 95% energi listrik di Indonesia. Bagaimanakah status ketiga faktor ini di 2020?

Pertama, sejauh ini Indonesia belum menjadi target utama investasi energi bersih bagi investor asing. Daya tarik investasi untuk energi terbarukan tergolong biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol. Beberapa faktor utama antara lain: iklim investasi makro, kualitas kebijakan dan regulasi, rencana dan realisasi pembangunan energi terbarukan, ketersediaan pendanaan, serta akses pada teknologi dan rantai pasok domestik memiliki daya tarik yang lebih rendah bagi investor asing dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang menjadi kompetitor kita. Investor berpandangan kebijakan dan regulasi tidak stabil, mudah berubah, kualitasnya rendah, dan ketidakjelasan dalam implementasinya. Hal-hal ini menyebabkan persepsi risiko investasi di sektor energi terbarukan sangat tinggi yang berakibat pada meningkatnya cost of money untuk investasi proyek energi terbarukan di negara kita.

Di 2020 ini, investor sepertinya akan mencermati langkah pemerintah memperbaiki iklim investasi energi terbarukan. Perubahan kebijakan dan regulasi yang menghambat perkembangan energi terbarukan selama tiga tahun terakhir ini ditunggu oleh para pelaku usaha. Rencana pemerintah menerbitkan aturan feed in tariff (FiT) untuk pembangkit listrik ET skala kecil dalam bentuk Peraturan Presiden menjadi angin segar bagi pelaku usaha swasta. Tapi FiT saja mungkin tidak cukup karena harga/tarif hanyalah sebagian dari hambatan pengembangan ET. Bagaimana pemerintah melalui instrumen regulasi mengalokasikan risiko-risiko tarif, kebijakan, teknologi, evakuasi daya secara berimbang untuk PLN dan pengembang, dan proses bisnis yang transparan juga menjadi perhatian para investor, khususnya investor asing. Sentimen positif akan terjadi di 2020 kalau ada realisasi komitmen politik dan produk perundangan yang signifikan di tahun ini. 

Kedua, PLN sebagai satu-satunya off-taker listrik swasta, perkembangan energi terbarukan sangat dipengaruhi oleh visi, minat, perencanaan, lelang dan eksekusi dari BUMN ini. Beban pencapaian target energi terbarukan pun sebagian besar harus dipikul oleh PLN. Untuk mencapai target 23% sesuai Perpres No. 22/2017 maka dalam lima tahun mendatang, minimal 75-80% penambahan pembangkit listrik baru harus berasal dari energi terbarukan. Pada prakteknya untuk dapat masuk ke dalam sistem ketenagalistrikan, maka proyek energi terbarukan harus masuk dalam perencanaan PLN, yaitu Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Pada RUPTL 2019-2028, PLN merencanakan menambah 16,7 GW pembangkit energi terbarukan dimana 8 GW direncanakan pada kurun waktu 2019-2024. Untuk mencapai target RUEN, maka kapasitas pembangkit untuk energi terbarukan harus ditambah menjadi 12-15 GW pada kurun waktu tersebut dan dilipatgandakan pada lima tahun berikutnya. Konsekuensinya untuk dapat menampung kapasitas pembangkit energi terbarukan yang lebih besar maka PLN perlu melakukan pengurangan kapasitas pembangkit-pembangkit thermal yang direncanakan atau yang telah dioperasikan 5-10 GW dalam lima tahun mendatang.

Ada perbedaan antara target KESDM untuk penambahan kapasitas terpasang pembangkit ET di 2020 sebanyak 685 MW dengan RUPTL PLN sebesar 933 MW. Perbedaan ini merupakan sinyal bahwa ada persoalan dalam perencanaan kelistrikan dan koordinasi, khususnya untuk pembangkitan ET. Bagaimana perbedaan ini akan direkonsiliasi dalam RUPTL 2020-2029 yang kemungkinan akan terbit dalam beberapa waktu kedepan juga menjadi perhatian para investor dan pengembang.

Ketiga, ketersediaan proyek-proyek energi terbarukan yang bankable dan siap didanai merupakan salah satu faktor yang penting dalam memenuhi target penambahan kapasitas pembangkit listrik. Selama ini ketersedian proyek-proyek pembangkit energi terbarukan yang bankable jumlahnya terbatas. Berbeda dengan pembangkit thermal yang berkapasitas besar, pembangkit energi terbarukan kapasitasnya bervariasi dari skala dibawah 5 MW, 5-10 MW, 10-50 MW, dan diatas 50 MW. Misalkan untuk PLTS yang direncanakan mencapai 0,9 GW, hingga 2025 nanti, dapat terdiri dari 20-50 proyek dengan ukuran rata-rata 20-50 MW per proyek. PLTB yang direncanakan hingga 0,85 GW hingga 2025 dapat terdiri dari 15-30 proyek dengan kapasitas 10-100 MW per proyek.

Jadi, prospek pengembangan energi terbarukan di 2020 sebenarnya lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan adanya komitmen politik dari Presiden, langkah-langkah merevisi kebijakan dan regulasi harga ET (FiT) oleh Menteri ESDM, dan dukungan jajaran direksi PLN untuk mengembangkan energi terbarukan untuk mencapai target RUEN. Walaupun demikian, aksi-aksi positif ini tidak serta merta langsung meningkatkan daya tarik investasi dan realisasi investasi pembangkit pada tahun ini. Apabila pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan di tahun ini, paling tidak untuk tiga aspek diatas, dampaknya pun baru akan terasa dua sampai tiga tahun mendatang, yang ditandai dengan meningkatnya minat investor dan meningkatnya stok proyek-proyek pembangkit yang siap dikembangkan secara komersial.

Pemerintah harus melihat bahwa 2020 adalah tahun untuk memulihkan kepercayaan investor, dan tahun untuk memperkokoh fondasi untuk transformasi energi yang berkelanjutan di Indonesia. Kegagalan untuk melakukan perbaikan di tahun ini dapat berujung pada hilangnya momentum positif, hengkangnya investor asing, serta hilangnya kesempatan membangun sistem energi modern yang berkelanjutan dan kompetitif secara biaya dalam jangka panjang. Kalau ini terjadi, perlu waktu lama untuk membalik keadaan.

Jakarta, 15 Januari 2020.

Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Selamat Tahun Baru 2020! Apa harapan anda di 2020? Kami di IESR berharap di tahun ini energi terbarukan dapat bangkit kembali setelah mati suri selama 3 tahun terakhir. Mengapa kebangkitan energi terbarukan menjadi harapan kami? 

Pertama, membangun energi terbarukan adalah amanat UU No. 30/2007 tentang Energi, yang kemudian diturunkan dalam PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Tujuannya adalah menjamin kemandirian dan ketahanan energi nasional. Pasal 9 butir (f) dari PP tersebut mentargetkan bauran energi baru dan terbarukan mencapai 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Ini adalah kebijakan dan target pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. 

Kedua, peningkatan bauran energi terbarukan dan pemanfaatannya dapat membantu Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik. Hal ini sesuai dengan komitmen Indonesia yang meratifikasi Paris Agreement dengan UU No. 16/2016, yang juga memuat komitmen Indonesia menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan usaha sendiri dan tambahan 12%, menjadi 41% dengan dukungan internasional. Sektor kelistrikan adalah salah satu kontributor utama emisi GRK. Berdasarkan kajian KESDM dan UNDP (2018), emisi GRK sub-sektor pembangkitan listrik mencapai 199 MtCO2e pada 2017 dan diperkirakan hingga 2030 akan tumbuh sebesar 10,1% per tahun. Dengan demikian pada 2030, emisi GRK diproyeksikan mencapai 699 MtCO2e (BAU). Dengan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi sebesar 20% maka emisi GRK dapat turun 36% dari skenario business as usual. Dengan itu faktor emisi listrik nasional turun dari 1,005 tCO2e/MWh menjadi 0,729 tCO2e/MWh. Oleh karena itu adanya peningkatan energi terbarukan yang signifikan menunjukan Indonesia turut berperan mengurangi risiko iklim global yang akan mengancam kehidupan generasi sekarang dan generasi masa depan. 

Ketiga, dengan memperbesar pemanfaatan energi terbarukan, biaya pasokan energi jangka panjang akan semakin rendah dan terjangkau. Berbeda dengan pembangkitan energi fosil yang cenderung naik dari tahun ke tahun karena harga bahan bakar, pengaruh nilai tukar dan inflasi, biaya O&M pembangkit energi terbarukan khususnya surya, angin dan hidro relatif rendah dan kenaikan terjaga. Capital expenditure (capex) pembangkit PLTS, PLT Angin skala besar juga cenderung turun. Oleh karena itu memperbesar porsi energi terbarukan dalam pasokan tenaga listrik dalam jangka panjang dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik.   

Pengembangan pembangkit energi terbarukan selama lima tahun terakhir nyaris mandek.

Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) 2020 yang diluncurkan IESR bulan lalu mencatat penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan 2015-2019 hanya mencapai 1,6 GW, lebih rendah dari periode 2010-2014 yang mencapai 1,8 GW. Ini kabar yang kurang baik karena dibandingkan target kebijakan, penambahan kapasitas ini hanya 10-15% dari yang seharusnya terbangun sesuai target RPJMN 2015-2019.  

Praktis sejak berlakunya Permen ESDM No. 12/2017, yang kemudian digantikan dengan Permen ESDM No. 50/2017, pengembangan energi terbarukan mandek. Dari 75 PPA yang ditandatangani sepanjang 2017-2018, terdapat 5 proyek yang diterminasi dan 27 proyek lainnya belum memperoleh pendanaan. Sebagian besar proyek yang berjalan, tidak menggunakan mekanisme harga yang diatur di dua Permen tersebut dan kemungkinan bisa berjalan karena menggunakan pendanaan sendiri atau instrumen pembiayaan korporat. 

Yang lebih parah lagi adalah Permen No. 50/2017 telah menyebabkan para pelaku usaha swasta asing dan domestik kehilangan kepercayaan terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia. Para investor yang datang ke Indonesia pada 2015 dan 2016 karena melihat adanya peluang investasi di bidang energi terbarukan, secara perlahan angkat kaki dan mencoba peruntungan di negara tetangga, Vietnam, yang pada 2017 dan 2018 justru mengeluarkan kebijakan feed in tariff (FiT) untuk pembangkit listrik surya dan angin. Kebijakan ini menjadi insentif bagi para investor yang berbondong-bondong memanfaatkannya.  

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kedua, ada harapan pengembangan energi terbarukan. Sejauh ini ada sejumlah sinyal positif yang mengindikasikan pemerintah memiliki keinginan yang kuat mendorong energi terbarukan Indikasinya saat memperkenalkan Menteri ESDM yang baru pada Oktober 2019 lalu, Joko Widodo memerintahkannya untuk mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan yang dimiliki Indonesia. Selain itu, pada saat menghadiri Indonesia Mining Award pada bulan November tahun lalu, Presiden menyatakan bahwa dunia sudah bergerak menuju pada pemanfaatan energi yang ramah lingkungan ketimbang menggunakan batubara

Terlepas dari pernyataan dan sikap politik tersebut, Presiden Joko Widodo sesungguhnya menghadapi tantangan untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dari 8% menjadi 23% pada 2025 seperti yang ditargetkan dalam Perpres No. 22/2017. Ini artinya, dalam lima tahun mendatang akan jadi ajang pembuktian apakah Presiden Joko Widodo mampu membangun pembangkit energi terbarukan dari 8 GW menjadi 30-35 GW dan pemanfaatan BBN untuk mengganti BBM.

Apa saja tantangan yang dihadapi Presiden Joko Widodo dan kabinetnya dan apa yang perlu dilakukan?

Pertama, kebutuhan me-mobilisasi investasi publik dan swasta.  Diperlukan investasi $70-90 miliar (~ Rp. 1000 triliun) untuk membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan dan infrastruktur pendukungnya. Hanya 10%-15% dari kebutuhan investasi ini yang dapat dipenuhi oleh BUMN dan anggaran publik. Sisanya harus berasal dari swasta/investor asing dan domestik. Untuk menarik investasi, khususnya investasi asing, pemerintah harus meningkatkan kondisi iklim investasi dengan mengeluarkan kebijakan yang transparan, terukur, dan pasti. Kebijakan tidak transparan dan regulasi yang tidak konsisten dengan kebijakan ataupun target kebijakan menjadi penyebab investor dan perbankan menganggap investasi di sektor energi terbarukan beresiko dan tidak menarik. Regulasi Indonesia harus dapat memberikan insentif yang lebih baik, risiko yang lebih rendah dan kepastian investasi jangka panjang yang lebih baik.  

Kedua, daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia yang rendah. Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) yang dikeluarkan oleh EY, secara konsisten menempatkan Indonesia pada peringkat bawah dari 40 negara yang dikaji. Pada RECAI edisi Oktober 2019, Indonesia berada di peringkat 38. Tiga negara Asia Tenggara, Thailand, Filipina dan Vietnam memiliki peringkat yang lebih baik dari Indonesia. 

Selain itu penilaian atas 5 indikator dan 11 sub-parameter atas daya tarik investasi yang dilakukan IESR yang dilaporkan dalam ICEO 2020 menghasilkan penilaian 6 dari 11 sub-parameter dianggap tidak memadai (insufficient). Penilaian menunjukan pemerintah harus bekerja keras dalam 1-2 tahun mendatang, tidak saja membuat kebijakan yang tepat dan regulasi yang menarik dan terukur, tapi juga melakukan reformasi fundamental yang berkaitan dengan reformasi struktur industri kelistrikan, mandatory pemanfaatan energi terbarukan yang agresif, dukungan pembiayaan dari lembaga finansial lokal dan penyiapan instrumen mitigasi risiko, serta pelaksanaan kebijakan TKDN yang rasional dan instrumen untuk memfasilitasi transfer teknologi serta peningkatan kemampuan EPC domestik. 

Ketiga, bertambahnya kapasitas pembangkit thermal, khususnya PLTU. Pada 2019-2028, direncanakan dibangun 27 GW PLTU batubara dan mulut tambang, dimana 22 GW dibangun pada 2019-2025. Dengan perkembangan laju permintaan listrik PLN saat ini yang berada di bawah 5%, jauh di bawah proyeksi laju permintaan listrik dalam RUPTL, maka diperlukan koreksi terhadap rencana pembangunan pembangkit thermal untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan. Dengan mempertimbangkan pertumbuhan listrik 5 tahun terakhir, kami memproyeksikan pertumbuhan permintaan listrik berada di kisaran ~5% per tahun dalam lima tahun mendatang sehingga tambahan pembangkit baru sekitar 4 GW per tahun (rata-rata). Oleh karena itu untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan hingga mencapai 23-30% dari total kapasitas pembangkit PLN pada 2025, sekitar 3-4,5 GW pembangkit energi terbarukan harus masuk di sistem PLN setiap tahunnya. Ini berarti setelah 2020, pembangunan PLTU batubara harus mulai dikurangi dibarengi dengan phasing out pembangkit-pembangkit thermal tua dan yang efisiensinya rendah. Tanpa melakukan ini, PLN akan kesulitan memasukan tambahan 20-22 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan. 

Mengubah rencana pembangunan pembangkit listrik terutama menunda atau membatalkan PLTU batubara tentunya bukan keputusan yang mudah bagi Menteri ESDM yang akan memutuskan RUPTL 2020-2029 dalam dua bulan mendatang. Perubahan ini dapat mengguncang berbagai macam kepentingan, terutama pemilik tambang dan pembangkit batubara yang berharap dapat mengoptimalkan aset tambang yang mereka miliki. Tapi disinilah kualitas kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan menteri-menterinya akan diuji. Menarik tentunya memperhatikan langkah dan strategi pemerintah (jika ada) dalam hal merumuskan kebijakan dan instrumen regulasi untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan politik dan bisnis dalam rangka memajukan energi terbarukan di Indonesia dan memastikan Indonesia berada di jalur transisi energi yang berkelanjutan. 

Jakarta, 2 Januari 2020

 

Refleksi Perkembangan Energi Terbarukan Indonesia di 2015-2018 dan Prospeknya di 2019

Fabby Tumiwa[*]

Pengembangan pembangkit energi terbarukan sepanjang 4 tahun pemerintahan Joko Widodo nyaris jalan di tempat. Laporan Status Energi Bersih Indonesia 2018 yang diluncurkan IESR pada 19 Desember 2018 lalu mencatat dari awal 2015 hingga kuartal kedua 2018 kapasitas pembangkit energi terbarukan hanya bertambah 960 MW. Penambahan kapasitas terbesar disumbangkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebanyak 513 MW, disusul dengan mini/mikro hidro sebesar 231 MW. Di urutan ke-3 ada PLT Bionenergi bertambah 90 MW, sedangkan PLT Bayu skala utilitas pertama di Indonesia di Sidrap dengan kapasitas 75 MW berada di urutan ke-4.

Pertambahan kapasitas terbesar terjadi pada periode 2015/2016 sebesar 354 MW, kemudian di periode 2016/2017 sebesar 284 MW. Dengan melihat penambahan kapasitas pada kurun waktu ini dan dengan memperkirakan pembangunan pembangkit energi terbarukan butuh waktu minimal 3 bahkan 4 tahun dari persiapan, konstruksi hingga operasi (COD), maka bisa dikatakan pembangkit-pembangkit ini diinisiasi sejak 2012/2013 berbasis pada regulasi-regulasi pada masa-masa tersebut.

Selama 2014-2018, pembangkit energi terbarukan rata-rata bertambah 470 MW (0,47 GW) per tahun. Dengan catatan pada 2014/2015, ada penambahan kapasitas pembangkit bioenergi yang cukup besar, dimana sebagian besar pembangkit tersebut adalah off-grid. Jika penambahan 2014 ke 2015 tidak dimasukan, maka rata-rata penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan hanya 0,24 GW per tahun.

Pencapaian dan kemajuan ini sebenarnya seharusnya membuat kita cemas. Peraturan Presiden No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mencanangkan target 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025. Target ini setara dengan kapasitas pembangkit energi terbarukan sebesar 45 GW. Dengan total kapasitas yang mencapai 9 GW saat ini, diperlukan tambahan 36 GW hingga 2025 nanti, atau rata-rata 4,5-5 GW per tahun sejak 2017. Dengan demikian penambahan 0,47 GW per tahun atau 10% dari rata-rata kapasitas tambahan per tahun sesuai target RUEN, bahkan rata-rata 5% sepanjang 2015-2018 menunjukan bahwa pencapaian pemerintah sesungguhnya tidak berada di jalur yang tepat.

Pencapaian periode ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode 2010-2014 dimana kapasitas pembangkit energi terbarukan rata-rata bertambah 523 MW (0,52 GW) per tahun. Penambahan kapasitas tercepat terjadi pada 2012 dan 2013, dengan tambahan 1,1 GW dan 0,9 GW masing-masing.

Apa yang membuat pembangunan pembangkit energi terbarukan di kurun waktu 2014/2015-2018 melambat? Ada sejumlah faktor, antara lain:

Pertama, inkonsistensi komitmen dan dukungan politik atas pengembangan energi terbarukan dari pemimpin nasional dan sektoral. Dalam empat tahun ini kita melihat dua sikap yang berbeda dari Presiden menyangkut dukungan pengembangan energi terbarukan. Pada periode 2014-2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat sejumlah pernyataan positif yang mendukung pengembangan energi terbarukan, misalnya pada saat peresmian program 35 ribu MW di Samas, Bantul tahun 2015 lalu. Pada tahun yang sama saat peresmian PLTP Kamojang, Presiden Jokowi juga menyampaikan nada positif yang mendukung investasi energi terbarukan, bahkan menjanjikan insentif khusus. Pada tingkat sektoral, Menteri ESDM saat itu, Sudirman Said, juga memberikan dukungan untuk mengembangkan energi terbarukan.

Sikap Presiden terhadap energi terbarukan berubah setelah 2016. Pada saat peresmian PLTB di Sidrap, Presiden menyatakan: harga listrik energi terbarukan masih mahal dan “harus bisa lebih rendah lagi.” Presiden juga menyatakan tidak perlu memberikan insentif untuk energi terbarukan. Menteri ESDM, Ignatius Jonan juga mengungkapkan keengganan untuk memberikan insentif bagi energi terbarukan. Ada perbedaan cara pandang dan komitmen Presiden Jokowi dan pembantunya terhadap energi terbarukan pada era 2015-2016 dan paska 2016. Perubahan komitmen ini terefleksi pada kebijakan dan peraturan di bidang energi terbarukan yang terbit pada 2017 dan sesudahnya.

Kedua, inkonsistensi kebijakan dan regulasi untuk pengembangan energi terbarukan. Pada periode sebelum 2014, pengembangan energi terbarukan dipacu lewat sejumlah kebijakan yang mendorong minat investasi di pembangkit energi terbarukan, dan penerapan regulasi yang memberikan insentif harga bagi listrik energi terbarukan, khususnya untuk panas bumi, mikro/mini-hydro dan biomassa dalam bentuk kebijakan feed in tariff (FiT). Arah kebijakan ini dilanjutkan hingga pertengahan 2016, bahkan regulasi feed in tariff diperluas, dan dibuat lebih spesifik untuk pembangkit surya dan bayu (angin). Pada saat itu Kementerian ESDM juga merencanakan pembentukan Dana Ketahanan Energi (DKE) untuk mendukung pengembangan energi terbarukan.

Di akhir 2016 paska reshuffle kabinet, Menteri ESDM justru mulai berpaling dari kebijakan FiT dan menempatkan energi terbarukan untuk bersaing harganya dengan pembangkit konvensional berbasis fossil fuel. Selain itu pemerintah mulai menggunakan retorika populis “energi berkeadilan” yang ditafsirkan oleh Menteri ESDM untuk membuat harga energi, termasuk biaya produksi listrik, tetap rendah dalam jangka pendek. Arah kebijakan ini dipakai untuk menjustifikasi upaya-upaya untuk memaksakan biaya produksi energi terbarukan lebih murah daripada rata-rata harga BPP di wilayah PLN. Di awal 2017, Menteri ESDM mengeluarkan regulasi baru yang membuat tarif listrik dari pembangkit energi terbarukan dipatok setara (maksimal 100%) atau lebih rendah (maksimal 85%) dari Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) PLN yang diatur dalam Permen ESDM No. 12/2017, yang kemudian diubah menjadi Permen ESDM No. 50/2017. Selain menggunakan patokan BPP PLN, regulasi ini juga menetapkan penggunaan skema Build-Own-Operate-Transfer (BOOT) untuk pembangkit energi terbarukan yang berkontrak dengan PLN.

Ketiga, akses pendanaan yang terkendala dan semakin terbatas. Perubahan arah kebijakan dan regulasi yang sedemikian drastis menyebabkan lembaga keuangan lebih berhati-hati menyalurkan pembiayaan bagi proyek energi terbarukan karena meningkatnya profil risiko proyek akibat perubahan regulasi, serta meningkatnya tuntutan lembaga keuangan kepada pengembang proyek untuk memiliki kapasitas pendanaan yang lebih besar dalam bentuk ekuitas dan jaminan (collateral) serta kemampuan finansial untuk memitigasi risiko-risiko yang muncul akibat adanya regulasi baru, misalnya Permen ESDM No. 10/2017 tentang Pokok-Pokok Perjanjian dalam Jual Beli Tenaga Listrik.

Kapasitas dan kemampuan finansial para pengembang domestik/lokal yang membangun dan mengoperasikan pembangkit-pembangkit skala kecil (dibawah 10 MW) yang selama ini pas-pasan dan terbatas semakin terbebani dengan adanya berbagai regulasi tersebut. Terlepas dari penerapan prinsip 5C oleh lembaga keuangan, meningkatnya risiko proyek akibat regulasi yang mempengaruhi bankability sebuah proyek membuat lembaga keuangan berupaya memitigasi risiko-risiko yang muncul dan implikasinya adalah munculnya beban tambahan bagi para pengembang (lokal) yang menghambat mereka mendapatkan pendanaan.

Lalu, bagaimana prospek energi terbarukan di 2019? Laporan Indonesia Clean Energy Outlook 2019 yang diluncurkan IESR akhir bulan lalu memberikan gambaran yang pesimistis. Sampai awal tahun ini, belum terlihat adanya komitmen politik untuk memperbaiki iklim investasi dan kerangka regulasi yang selama dua tahun terakhir dianggap sebagai hambatan bagi investasi energi terbarukan. Jauh-jauh hari Menteri ESDM telah menyatakan bahwa tidak ada kenaikan tarif listrik sampai akhir 2019. Hal ini berarti biaya produksi listrik akan dikendalikan dan diregulasi walaupun terdapat volatilitas harga energi primer di pasar global.

Apa implikasi pada energi terbarukan? Arah kebijakan dan regulasi untuk “memaksa” tarif listrik dari energi terbarukan untuk tetap rendah akan tetap mainstream selama 2019 ini. Yang artinya, hanya para pengembang yang punya akses ke pemasok teknologi, kemampuan finansial dan sumber pembiayaan yang kompetitif (pinjaman dengan bunga rendah), serta yang terkoneksi dengan global supply chain serta yang berpengalaman dalam pengembangan proyek yang memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi sumber daya energi terbarukan di tanah air. Sepertinya tidak banyak pengembang yang punya berbagai kemampuan ini, selain segelintir investor asing dan sedikit perusahaan lokal.

Minimnya pengembang akan berdampak pada jumlah proyek yang dapat dikembangkan dan nilai investasi yang terjadi. Terbatasnya jumlah proyek dan pengembang akan memperlambat learning curve dari proyek-proyek energi terbarukan. Padahal faktor learning curve ini penting untuk menurunkan biaya investasi dan biaya pembangkitan listrik dari pembangkit energi terbarukan.

Prospek perkembangan investasi energi terbarukan juga akan terhambat dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum pada bulan April 2019 dan berbagai proses pra dan paska Pemilu. Aktivitas pemilu meningkatkan risiko politik dan risiko-risiko lain yang terkait dengan pelayanan publik, misalnya perijinan. Dengan demikian, investor dan pelaku usaha lainnya sepertinya cenderung menunggu sebelum melakukan investasi baru atau melanjutkan investasi yang telah direncanakan.

Dengan mempertimbangkan berbagai kondisi tersebut, perkembangan energi terbarukan sepertinya akan melandai, bahkan menurun, di tahun 2019 ini. Peluang realisasi investasi energi terbarukan di tahun ini sangat bergantung dari keberhasilan 35 proyek pembangkit listrik yang sudah PPA pada 2017 untuk mendapatkan pendanaan dan 30 proyek yang konon dilaporkan sedang konstruksi, serta realisasi proyek-proyek pembangkit listrik tenaga sampah yang ditetapkan oleh Kepres tahun lalu. Selain itu proses pengadaan pembangkit di PLN yang menggunakan skema pemilihan langsung juga menentukan realisasi investasi di 2019.

Walaupun demikian, dengan tingkat perkembangan saat ini akan sangat sukar mengejar pembangunan pembangkit energi terbarukan untujk mencapai target RUEN, yaitu 4-5 GW per tahun atau mencapai target bauran energi terbarukan dalam bauran energi primer sebesar 16% pada akhir 2019 nanti. Sudah waktunya Presiden Joko Widodo melakukan refleksi dan evaluasi terhadap pencapaian ini dan melakukan langkah-langkah koreksi. Seperti yang pernah disampaikan Presiden di Sidrap bahwa Indonesia tidak bisa bergantung pada fossil fuel selamanya serta pernyataan Presiden saat berpidato di WB-IMF Annual Meeting 2018 tentang perlunya kerjasama global untuk memerangi perubahan iklim yang membutuhkan kenaikan investasi energi terbarukan tahunan sebesar 400% kali lipat. Pernyataan Presiden Jokowi hanya akan dianggap retorika kalau Indonesia sendiri gagal memobilisasi investasi dan pendaaan energi terbarukan untuk mencapai target kebijakan dan pembangunan yang sudah dibuatnya sendiri. So, wake up Mr. President! Winter is coming and it kills renewable energy prospect in Indonesia.

Jakarta, 5 Januari 2019

[*] Direktur Eksekutif IESR. Email: fabby@iesr.or.id

Ini yang dilakukan India untuk membangun Program Nasional Listrik Surya Atap, Indonesia bisa menirunya juga

 

Pada akhir Agustus lalu, tarif listrik surya atap di India membuat rekor baru. Hasil lelang rooftop solar pv yang dilakukan oleh Madhya Pradesh Urja Vikas Nigam Limited (MPUVN), sebuah badan usaha milik pemerintah negara bagian Madhya Pradesh untuk melakukan berbagai program pengembangan dan implementasi energi terbarukan milik pemerintah negara bagian dan federal (nasional), memberikan penawaran terendah sebesar Rs. 1,58/kWh ($0,022/kwh) untuk kapasitas 2,2 MWp. Penawaran terendah ini dibuat oleh perusahaan multinasional, Amp Solar India, yang menjadi salah satu pemenang.

Pelelangan (auction) yang dilakukan oleh MPUVN Ltd ini adalah program negara bagian untuk instalasi rooftop solar PV di gedung-gedung pemerintah dan swasta dengan kapasitas total 35 MWp, diikuti oleh 31 peserta. Perangkat listrik surya atap dipasang di 643 fasilitas pemerintah, polisi, kampus, dan entitas swasta yang ada di negara bagian Madhya Pradesh. Proyek ini menggunakan skema Renewable Energy Service Company (RESCO), dimana perusahaan yang memenangkan tender melakukan perancangan, instalasi, operasi dan perawatan rooftop solar PV, dan konsumen membayar listrik yang diproduksi.

Perusahaan Amp Solar kebagian memasang di 10 lokasi milik Power Grid Corporation, BUMN India di bidang transmisi listrik. Pemenang lainnya adalah Azure Power yang menawar Rs. 2,2/kWh ($0,031/kWh) untuk memasang 5,4 MWp di 291 kampus. Sedangkan yang tertinggi adalah Renew Solar Energy dengan penawaran Rs. 4,12/kWh  ($ 0,058/kWh), dengan kapasitas 500 kWp. Tarif yang ditawarkan tidak statis tetapi ada kenaikan 3% selama masa kontrak 25 tahun.   

Sebelumnya, tarif terendah untuk rooftop solar PV dengan skema RESCO dibuat oleh Mundra Solar sebesar Rs. 2,2/kWh ($0,034/kwh) pada lelang yang dilakukan oleh SECI tahun lalu. India memiliki target ambisius untuk mencapai 100 GW kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), 60 GW dari PLTS yang terpasang di atas tanah (ground mounted) dan 40 GW dari surya atap (rooftop PV).

Sepanjang 2017 lalu, berbagai instansi pemerintah di tingkat nasional (federal) dan negara bagian (state) telah melakukan tender mencapai 10 GW dan lelang hingga 6 GW untuk listrik surya. Sebagian dari itu merupakan program pemerintah India untuk mendorong instalasi perangkat listrik surya, termasuk rooftop solar pv oleh perusahaan milik negara (central public sector undertaking atau CPSU). Target program ini ditingkatkan menjadi 12 GW, yang dibarengi dengan program penguatan industri manufaktur sel dan modul surya domestik yang dimulai awal 2018.

Pemerintah negara bagian juga aktif membuat program listrik surya atap untuk rumah tangga dengan skema RESCO dengan tujuan meningkatkan permintaan sehingga dapat menurunkan biaya modal. Pada 2018, pemerintah Delhi meluncurkan Solar Rooftop Demand Aggregation Program dengan total permintaan mencapai 40 MW. Pemerintah Delhi mentargetkan 1000 MW instalasi pada 2020 dan 2000 MW pada 2025 melalui program ini.

Pada Maret 2017, Kementerian Energi Baru dan Terbarukan India mengeluarkan biaya patokan sistem (benchmark cost) untuk perangkat solar rooftop dan PLTS skala kecil hingga 500 kWp yang tersambung dengan jaringan (grid connected). Patokan biaya sebesar Rs. 70/Wp ($1/Wp) untuk kapasitas dibawah 10 MWp, Rs. 65/Wp ($0,9/Wp) untuk kapasitas 10 – 100 kWp, dan Rs. 60/Wp ($0,85/Wp) untuk kapasitas 100 – 500 kWp. Walaupun patokan biaya ini berlaku sampai dengan 2018, hasil terbaru menunjukkan biaya dari proyek rooftop solar pv sudah lebih rendah dari itu.

Salah satu kunci keberhasilan India dalam mengembangkan energi surya adalah konsistensi kebijakan, regulasi dan program pemerintah sejak 2000-an, terutama setelah tahun 2009 melalui berbagai program nasional dan negara bagian untuk mengembangkan grid connected and off-grid solar. Sebelum 2010, kapasitas terpasang solar di India belum mencapai 10 MW, tapi lewat program Jawaharlal Nehru Solar Mission Program (JNNSM) pada 2012 kapasitas terpasang surya mencapai 1GW.

Konsistensi di sisi kebijakan, regulasi dan program didorong juga oleh penurunan harga modul surya dan komponen balance of system (BOS) secara global dalam 10 tahun terakhir membuat India berhasil membuat harga listrik surya menjadi sangat rendah dan kompetitif terhadap listrik dari PLTU batubara.  Sebagai perbandingan pada 2009, harga listrik surya dipatok Rs. 18,44/kWh (sekitar $ 0,35/kWh dengan nilai tukar waktu itu).

Salah satu regulasi yang berhasil meningkatkan permintaan terhadap teknologi surya adalah Renewable Portfolio Obligation (RPO) yang mengharuskan porsi tertentu dari bauran listrik yang dibangkitkan berasal dari pembangkit energi terbarukan di setiap negara bagian. RPO ini juga secara khusus untuk listrik dari tenaga surya. Dengan adanya kebijakan ini maka perusahaan distribusi tenaga listrik diharuskan oleh regulator kelistrikan di masing-masing negara bagian untuk membeli listrik dari surya (dan pembangkit energi terbarukan lainnya) dan memfasilitasi instalasi listrik surya atap oleh konsumen di wilayah distribusinya, dengan menyediakan sumber daya manusia untuk melakukan kajian, instalasi dan monitoring. Ketentuan RPO juga berlaku untuk konsumen listrik besar.

Kesimpulan dari pengalaman India mengembangkan solar pv adalah kemampuan pemerintah menerjemahkan target dalam berbagai program dan skema solar pv di tingkat negara bagian dan federal (nasional) dan membangun sinergi antar program dan skema tersebut melalui kebijakan, regulasi dan insentif fiskal dan finansial. Pemerintah India menggerakan badan usaha milik negara menjadi pendorong, sekaligus motor untuk mengejar target-target solar pv, dengan berbagai dukungan finansial dan insentif, serta mengembangkan industri domestik dengan menjadikan program-program tersebut sebagai jaminan untuk pasar produk domestik.

Apa pelajaran yang bisa dipetik oleh Indonesia dari pengalaman India tersebut? KEN dan RUEN memiliki target 6,5 GW listrik surya pada 2025, sebagai bagian dari target 23% bauran energi terbarukan. Target ini sepertinya kurang ambisius dan dapat ditingkatkan, dengan pertimbangan bahwa harga teknologi modul surya dan perangkat pendukung yang semakin murah dan kompetitif terhadap pembangkit konvensional, dan perlunya upaya percepatan untuk mengatasi ancaman perubahan iklim sesuai dengan kerangka kesepakatan Paris.

Untuk itu, pemerintah perlu meluncurkan program nasional “Surya Nusantara”, dengan target 10 GW pada 2025 untuk ground mounted dan rooftop solar pv. Target rooftop solar pv 1 GW pada 2020 dapat menjadi antara. Adanya program nasional dapat memberikan sinyal kepada semua pihak bahwa pemerintah serius dan membentuk pasar. Hal ini dapat menarik minat pelaku usaha dan investor.

Program ini terdiri dari beberapa skema, a.l. skema listrik surya atap untuk bangunan dan instalasi pemerintah dan BUMN; skema listrik surya atap pengganti subsidi listrik, skema listrik surya atap untuk pelanggan listrik PLN, yaitu rumah tangga dan bisnis, program industrial rooftop solar pv, dan program listrik surya skala besar (diatas 25 MW) oleh PLN dan IPP. Secara garis besar implementasinya sebagai berikut:

  1. Untuk program listrik surya atap di bangunan dan instalasi milik pemerintah yang mencakup gedung pemerintah pusat dan daerah, gedung BUMN, perguruan tinggi dan sekolah. Buatlah target secara bertahap dan lakukan auction  secara paket yang dilakukan terpusat untuk kementerian dan lembaga di tingkat pusat,  dan di setiap propinsi, misalnya 25-30 MW per paket, untuk menciptakan skala keekonomian. Pelelangan dilakukan secara bertahap sehingga bisa didapatkan harga terbaik. Wajibkan penggunaan modul surya produksi dalam negeri untuk program listrik surya atap  di bangunan dan instalasi milik pemerintah.
  2. Lakukan pemasangan listrik surya atap pada 10% pelanggan PLN yang dikategorikan sebagai rumah tangga tidak mampu sebagai pengganti subsidi listrik. Terdapat 22 juta pelanggan listrik daya 450 VA dan 900 VA yang disubsidi pemerintah. Setiap tahunnya, kelompok pelanggan ini menerima subsidi sebesar Rp. 2-2,2 juta. Dengan mentargetkan 10% maka ada 2,2 juta rumah tangga yang bisa dipasang atapnya dengan perangkat listrik surya. Dengan memasang 1 kWp di setiap rumah maka kebutuhan listrik harian sudah dapat terpenuhi. Total biaya untuk program ini diperkirakan sekitar $2-2,2 milyar, yang dapat dibagi dalam 7 tahun pelaksanaan atau $300 juta per tahun dengan rata-rata instalasi 300 ribu rumah. Penghematan subsidi sebesar $600 milyar per tahun pada tahun pertama, dan menjadi Rp. 4,2 triliun per tahun di tahun ketujuh, dengan total 2,2 GWp kapasitas terpasang surya atap.
  3. Pelanggan listrik PLN golongan rumah tangga dan bisnis atau bangunan komersial serta industri kecil dapat memasang perangkat listrik surya atap untuk pemakaian sendiri maupun menjual kelebihan listriknya ke PLN lewat skema net-metering atau feed in tariff.
  4. Untuk industrial solar rooftop diatas 1 MW dapat menggunakan sendiri listriknya atau menjual kepada PLN melalui skema auction. Untuk penggunaan sendiri, aturan mengenai daya paralel sebagaimana diatur di Permen ESDM No. 1/2017 perlu dihapuskan.
  5. Untuk rumah tangga, berikan insentif pemasang listrik Surya atap a.l.: a) potongan pajak bumi dan bangunan (PBB) selama beberapa tahun, misalnya selama lima tahun, dengan akumulasi nilai potongan mencapai 10-15% dari total biaya investasi listrik surya atap; b) sediakan kredit bunga rendah untuk listrik surya atap (setara suku bunga KUR atau lebih rendah) yang dapat diakses masyarakat secara mudah via Bank yang ditetapkan pemerintah; c) berikan potongan harga (rebate) untuk penggunaan modul surya produksi dalam negeri bekerja sama dengan produsen modul surya; dan insentif lainnya untuk menarik minat rumah tangga, bisnis dan industri. Skema insentif ini dievaluasi hasilnya secara periodik untuk ditinjau efektivitasnya.
  6. PLN diberikan target untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap utility scale (>10 MW) untuk rooftop solar PV atau diatas 25 MW untuk ground mounted solar PV.
  7. Pemerintah mendorong komersialisasi batterai penyimpan (storage) sebagai solusi utk intermitensi listrik dari pembangkit tenaga surya.

 Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR