COP26: Pertunjukan “Sepi” dari Jokowi

Banyak pihak menantikan pidato Presiden Joko Widodo dalam gelaran COP26. Jokowi diharapkan mengumumkan komitmen penurunan emisi dan penanganan perubahan iklim yang lebih ambisius serta menjabarkan langkah konkret menuju net-zero emission. Posisi strategis Indonesia sebagai pemimpin negara G20 pada 2022 seharusnya membuat Indonesia mengambil satu langkah di depan untuk memimpin upaya penurunan emisi bagi negara anggota G20.

Sayangnya, dalam pidatonya di sesi High Level Segment for Heads of State and Government COP26, Presiden Jokowi tidak mengumumkan target ambisi iklim yang lebih tinggi ataupun komitmen konkret dalam mendukung target Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan rata-rata suhu bumi di bawah 1.5 derajat Celcius dan mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini. Laporan IPCC AR6 telah menyatakan dengan gamblang bahwa waktu kita untuk menjaga kenaikan suhu bumi di level 1.5 derajat Celcius hanya tinggal kurang dari satu dekade. Kesempatan untuk menaikkan ambisi iklim Indonesia masih terbuka dan tentu harus diambil Pemerintah dan dimanfaatkan sebaik-baiknya demi menyelamatkan bumi dari kerusakan akibat perubahan iklim.  

Upaya penurunan emisi dan penanganan perubahan iklim harus dilihat sebagai tanggung jawab dan kesempatan untuk mentransformasi sistem ekonomi Indonesia dari yang karbon intensif menjadi sistem ekonomi rendah karbon yang lebih berkelanjutan. Menurut kajian Deep Decarbonization IESR, transformasi sistem energi akan menciptakan 3,2 juta lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan. Komitmen yang ambisius dengan menetapkan target penurunan ambisi yang lebih besar dari NDC saat ini serta membangun peta jalan transisi energi yang komprehensif akan mengirimkan sinyal baik bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Hal ini akan mendorong kekuatan ekonomi Indonesia menjadi lebih kompetitif secara global. 

Sebelumnya dalam KTT G20 yang berlangsung pada 30-31 Oktober 2021, pemimpin negara G20 sepakat untuk mencapai net-zero emission pada pertengahan abad ini. Namun komitmen ini belum juga disertai dengan target untuk phase-out PLTU batubara. Memegang peran strategis dalam kepemimpinan G20, Jokowi sebenarnya dapat mengambil kesempatan untuk mendorong negara G20 untuk menghentikan operasi PLTU batubara dan beralih ke energi terbarukan. Tentu saja, dalam hal ini, Indonesia perlu pula menerapkan kebijakan meninggalkan batubara sehingga dapat memberikan teladan bagi negara G20 lainnya. 

Selain itu, terdapat perbedaan antara aksi dan fakta lapangan dalam pidato Jokowi di COP 26. Ia   menyebutkan akan membangun PLTS terbesar di Asia Tenggara dan mendorong pemanfaatan energi terbarukan untuk mengurangi emisi di sektor energi. Namun, hingga COP 26 berlangsung dukungan kebijakan yang suportif untuk ekosistem PLTS seperti Revisi Permen 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) maupun Perpres tentang energi baru terbarukan belum diterbitkan secara resmi. . 

Aksi iklim yang lebih ambisius sangat dibutuhkan saat ini karena efek perubahan iklim semakin sering terjadi seperti La Nina yang kembali datang. Laporan Climate Transparency 2021 menyebutkan Perubahan pola La Nina dan El Nino akan berdampak pada permulaan dan durasi musim hujan di Indonesia. Hal ini berpengaruh pada sektor pertanian seperti produksi beras. Analisis risiko global World Bank menempatkan Indonesia pada peringkat dua belas dari 35 negara yang menghadapi risiko kematian relatif tinggi akibat banjir dan panas ekstrem. Menempati peringkat kelima negara dengan jumlah populasi yang tinggal di area yang lebih rendah dari zona pesisir, Indonesia juga rentan terhadap kenaikan muka air laut.

Indonesia mampu berkontribusi signifikan untuk mengatasi perubahan iklim dan mencegah dampak yang lebih buruk akibat krisis iklim. Memanfaatkan  luasnya hutan sebagai penyerap karbon, memiliki potensi energi terbarukan yang mencapai 7879,4 GW, dan memainkan peran strategis di G20 Indonesia seharusnya dapat mencapai dan melampaui target NDC mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% jika ada dukungan internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030.  Dengan demikian, Indonesia bukan hanya menyelamatkan lingkungan namun juga mentransformasi sistem ekonomi, sekaligus menunjukkan inovasi kepemimpinan pada anggota negara G20.

Laporan Climate Transparency 2021: Dampak Perubahan Iklim Nyata, Indonesia Perlu Tingkatkan Aksi Iklimnya

Jakarta, 28 Oktober 2021 – Beberapa hari menjelang COP 26 di Glasgow, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Climate Transparency Report, Profil Negara Indonesia 2021. Secara khusus, laporan tahunan tentang aksi iklim negara-negara G20 ini, menyoroti aksi iklim Indonesia yang meliputi adaptasi, mitigasi dan mobilisasi keuangan untuk penanganan perubahan iklim. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam sambutannya menyampaikan bahwa peluncuran laporan Climate Transparency ini sangat relevan dengan COP26 karena laporan ini mengukur  pencapaian  aksi iklim Indonesia apakah selaras target Persetujuan Paris atau tidak.

“Waktu kita tinggal kurang dari satu dekade untuk memastikan kenaikan temperatur global di bawah 1,5 derajat celcius. Indonesia juga disorot selain karena kita negara anggota G20, juga karena Indonesia berada di peringkat 10 besar negara penghasil emisi terbesar di dunia,” jelas Fabby. 

Untuk itu, menurut Emil Salim, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI yang juga merupakan pakar di bidang lingkungan hidup, para pembuat kebijakan di Indonesia perlu menetapkan kebijakan politik yang mampu menurunkan emisi karbon dan mencapai netral karbon pada tahun 2050 demi kelangsungan hidup generasi mendatang. 

“Nasib generasi muda pada tahun 2050 tergantung pada keputusan politik yang kita buat sekarang. Jangan hanya memikirkan keuntungan ekonomi saat ini, karena generasi muda ini yang akan menanggung konsekuensi dari pilihan yang tidak mereka buat. Pikirkan apa yang akan terjadi pada bangsa Indonesia apabila dampak perubahan iklim semakin buruk,” ucap Emil Salim.

Memaparkan laporan aksi iklim Indonesia, Lisa Wijayani, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR menggarisbawahi bahwa aksi iklim Indonesia masuk dalam kategori “highly insufficient” atau sangat tidak memadai dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Penggunaan energi fosil mencapai 82% pada tahun 2020 membuat sektor energi sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di indonesia (45,7% selain emisi dari hutan dan penggunaan lahan).

Berdasarkan temuan Climate Transparency, Lisa menjelaskan bahwa tahun 2020 seharusnya menjadi puncak penggunaan batubara dan mulai tahun 2030-2040 penggunaannya harus sedikit demi sedikit dikurangi hingga tidak lagi digunakan.

“Selain itu, untuk mengurangi emisi dari sektor transportasi, Indonesia harus meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 40-60% pada tahun 2040 atau 70-90% pada tahun 2050,” jelas Lisa terkait sub sektor penghasil emisi terbesar kedua yakni transportasi. 

Laporan Climate Transparency juga mendorong penciptaan ekosistem yang mendukung pengembangan energi terbarukan di antaranya dengan menghentikan subsidi pada energi fosil.

“Pencabutan subsidi akan membantu energi terbarukan bersaing dengan energi fosil,” imbuh Lisa. 

Dari sisi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan, Budi Haryanto, Epidemiologis Universitas Indonesia, memaparkan tingginya angka kematian akibat kenaikan suhu bumi.

“Diperkirakan pada 2030-2050, perubahan iklim akan menyebabkan tambahan kematian per tahun sebanyak ¼ juta orang akibat malnutrisi (kekurangan nutrisi), malaria, stres akibat gelombang panas,” terangnya.

Lebih jauh, Budi mendorong agar pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan mempunyai data kesehatan yang berhubungan dengan adaptasi perubahan iklim.

Secara frekuensi, bencana akibat iklim semakin meningkat. Hal ini disampaikan oleh Raditya Jati, Deputi Sistem dan Strategi, Badan Nasional Penanganan Bencana. Ia menambahkan, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki risiko cukup tinggi terhadap bencana alam.

“7 dari 10 bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi dan frekuensinya tahun ini lebih tinggi dari tahun 2020,” tutur Raditya. 

Agar emisi GRK berkurang secara signifikan, transformasi juga perlu dilakukan di sektor ekonomi, dengan beralih ke ekonomi hijau. Eka Chandra Buana, Direktur Perencanaan Makro Ekonomi dan Analisis Statistik, Bappenas menyampaikan bahwa ekonomi hijau menjadi game changer bagi perekonomian Indonesia pasca Covid-19. Menurutnya, pembangunan rendah karbon dengan memanfaatkan energi terbarukan akan menjadi tulang punggung untuk mencapai target ekonomi hijau Indonesia dan net-zero emission pada tahun 2060.

“Perhitungan Bappenas, untuk mencapai net-zero pada tahun 2060, Indonesia harus meningkatkan penggunaan EBT hingga 70% pada tahun 2050, dan 87% pada 2060. Perhitungan ini masih dalam proses,” tutur Eka Chandra.

Suksesnya pembangunan rendah karbon tentu memerlukan peran serta semua pihak, terutama pemerintah kota.  Bernardia Tjandradewi, Sekretaris Jenderal United Cities and Local Governments Asia Pacific (UCLG ASPAC) mengemukakan tanggung jawab pemerintah kota menjadi vital, terutama secara statistik, 60-80% emisi gas rumah kaca di dunia ini dihasilkan di daerah perkotaan. 

“UCLG ASPAC mendorong peran para kepala daerah (walikota) dalam penanganan perubahan iklim dengan memberikan pelatihan pada pemerintah kota tentang perencanaan aksi iklim, akses pada pembiayaan terkait iklim, dan adopsi dan pengembangan perangkat monitoring,” jelas Bernardia.

Apapun solusi untuk menurunkan emisi GRK, termasuk melakukan transisi energi menuju energi terbarukan, haruslah dilakukan secara adil. Desi Ayu Pirnasari, Peneliti di Universitas Leeds, menekankan transisi yang berkeadilan akan membentuk ketahanan iklim dan inklusi sosial di masyarakat. 

“Strategi hendaknya mengedepankan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan ownership (kepemilikan) pada agenda yang kita buat, untuk membantu kita mencapai target. Keadilan iklim tidak hanya pada mitigasi atau aksi, namun juga untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang rentan,” tegasnya. 

Pemetaan Potensi Energi Terbarukan di Indonesia untuk Perencanaan Transisi Energi yang Lebih Tepat

Jakarta, 25 Oktober 2021 – Demi mendorong akselerasi pengembangan  energi terbarukan, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan kajian berjudul Beyond 443 GW: Indonesia’s Infinite Renewables Energy Potentials. Kajian ini berisi data pemetaan potensi teknis energi terbarukan di Indonesia menggunakan Sistem Informasi Geografis (Geographical Information System). 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam sambutannya mengharapkan agar kajian ini dapat menjadi masukan konstruktif untuk pemerintah dan pemangku kebijakan dalam membuat perencanaan dan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki untuk memanfaatkan potensi energi terbarukan sebesar-besarnya baik secara regulasi kebijakan maupun dukungan dari APBN. 

“Pemetaan potensi ini kami harap juga membantu pemerintah daerah yang mendapat amanat untuk memanfaatkan potensi sumber daya energi terbarukan. Mereka juga diharapkan bisa mendorong pemanfaatan energi terbarukan sehingga upaya untuk mencapai dekarbonisasi dapat dilakukan bersama-sama,” tutur Fabby. 

Dalam kajian ini disebutkan bahwa total potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 7.879,4 GW (skenario 1) atau 6.811.3 GW (skenario 2) terdiri dari PLTS (7.714,6 GW skenario 1 dan 6.749,3 GW skenario 2), PLTMH (28,1 GW skenario 1 dan 6,3 GW skenario 2), PLTB (19,8 GW – 106 GW), PLTBm (30,73 GW). 

Handriyanti Diah Puspitarini, Penulis kajian Beyond 443 GW dalam paparannya menjelaskan bahwa data potensi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan  yang tertera dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 443 GW.

“Potensi energi terbarukan di Indonesia sangat melimpah, bahkan lebih dari yang dibutuhkan untuk mencapai dekarbonisasi mendalam (atau target nol emisi 2050),” jelas Handriyanti.

Melalui kajian Beyond 443 GW ini, IESR merekomendasikan kepada pemerintah untuk (1) memperbarui dan meninjau data potensi teknis energi terbarukan secara berkala seiring berkembangnya teknologi; (2) melengkapi peta potensi teknis perlu dengan analisis singkat seputar intermitensi, variabilitas, dan kesiapan jaringan; (3) mempertimbangkan sistem desentralisasi dan koneksi antar pulau untuk menjamin akses dan ketersediaan listrik dari energi terbarukan; (4) memberi dukungan untuk inovasi teknologi energi terbarukan agar membuka peluang pemanfaatan yang lebih besar.

Hadir sebagai penanggap, Hariyanto, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi (P3TEK) Kementerian ESDM, menyatakan bahwa hasil kajian ini dapat memperkaya data potensi energi terbarukan karena saat inipun Kementerian ESDM sedang melakukan pemutakhiran data potensi teknis energi terbarukan di Indonesia meliputi surya, bayu (angin), hidro, dan bioenergi. 

“Dari hasil yang dipaparkan, sementara ini ada angka-angka yang sama dan ada yang berbeda karena saya melihat ada  perbedaan asumsi dan skenario. Sebagai contoh potensi surya yang awalnya sebesar 207,8 GW ketika di update potensinya menjadi 189 – 3.294,4 GW dengan berbagai asumsi. Kita masih akan diskusikan dengan semua stakeholder apakah angka tersebut bisa jadi potensi yang dipraktikkan,” jelas Hariyanto.

Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, menyambut baik kajian ini dan menyatakan hasil dari kajian ini juga data yang saat ini sedang diperbarui oleh Kementerian ESDM  dapat menjadi landasan bagi pemerintah nasional dan daerah dalam mengembangkan energi terbarukan. Menurutnya, pemerintah nasional dapat menggunakan hasil pemetaan potensi teknis energi terbarukan yang paling mutakhir sebagai pertimbangan dalam penyusunan Grand Strategi Energi Nasional (GSEN), yang saat ini sedang dilakukan oleh DEN.

Sementara bagi pemerintah daerah, hasil pemetaan ini dapat dijadikan landasan dalam menyusun Rencana Umum Energi Daerah (RUED).

“DEN saat ini tengah memfasilitasi daerah-daerah untuk menyusun Perda RUED., Hasil pemetaan ini akan sangat berguna dalam menyusun Perda RUED yang nantinya akan menjadi dasar bagi Pemda dalam mengembangkan EBT di daerah masing-masing,” Djoko menambahkan.

Masih dalam kesempatan yang sama, Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma menekankan pentingnya untuk selalu memperbarui data-data potensi energi terbarukan secara berkala. 

“Perkembangan teknologi yang cepat dan perbedaan asumsi yang digunakan bisa membuat angka berubah-ubah, tapi itu tidak masalah. Tugas kita adalah mencari alternatif  supaya potensi-potensi ini dapat direalisasikan dan betul-betul dimanfaatkan,” ungkap Surya Darma.

IESR: Waspadai Emisi di Sektor Energi, Perlu Strategi Khusus untuk Turunkan Emisi

Jakarta, 21 Oktober 2021 – Dalam Pertemuan Para Pihak (Conference of Parties) 26 yang akan diselenggarakan di Glasgow 31 Oktober – 10 November 2021 mendatang, Pemerintah Indonesia mengusung empat agenda utama yaitu Implementasi NDC, Pemenuhan/Penyelesaian Paris Rule Book, Komitmen Jangka Panjang (Long Term Strategy) 2050, dan menuju Net-Zero Emission

Pada kesempatan tersebut, Indonesia akan menyoroti berkurangnya angka deforestasi dalam 5 tahun terakhir dan upaya restorasi lahan gambut. Selain itu,upaya penurunan emisi di sektor energi akan juga dibahas seperti pemberian porsi energi terbarukan yang lebih besar dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Hari Prabowo, Direktur Pembangunan, Ekonomi dan Lingkungan, Kementerian Luar Negeri, dalam webinar bertajuk “The Road to COP26 A Climate Superpower Indonesia; Collaborative Efforts to Tackle Climate Crisis” yang diselenggarakan oleh Katadata dan Landscape Indonesia, menjelaskan bahwa Indonesia akan membawa semangat positif dan terbuka untuk ambil bagian dalam upaya pengendalian perubahan iklim. 

“Pada dasarnya Indonesia siap untuk menjadi bagian dari solusi serta akan leading by example, kita punya pencapaian yang baik di bidang kehutanan dan terus berupaya untuk menurunkan emisi di berbagai bidang,” jelas Hari.

Hari Prabowo menegaskan bahwa dalam mengatasi krisis iklim sudah saatnya kita menghindari naming and shaming, yaitu merasa bahwa negara kita lebih baik dalam menangani perubahan iklim daripada negara lain. 

“Kita harus menunjukkan inisiatif untuk berperan dalam penanggulangan perubahan iklim ini tanpa menuding pihak mana yang harusnya lebih bertanggungjawab. Perubahan iklim ini memerlukan kolaborasi semua pihak untuk memastikan tujuan besar kita tercapai,” pungkasnya. 

 

Di sisi lain, masih dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyatakan bahwa Indonesia seharusnya lebih ambisius lagi dalam menetapkan target pengendalian iklim dan penurunan emisi.

“Jika kita melihat dokumen NDC terbaru yang kemarin diserahkan ke UNFCCC, target Indonesia utamanya sektor energi masih belum ambisius. Untuk menekan kenaikan suhu bumi di level 1.5 derajat saja, pada 2030 IESR menghitung 70% bauran pembangkit listrik harus dari energi terbarukan, jika kita lihat di NDC ataupun perencanaan lain seperti RUPTL sepertinya target ini belum bisa tercapai,” ungkap Fabby.

Fabby menyepakati bahwa sektor kehutanan dan alih guna lahan (AFOLU) sebagai penghasil emisi terbesar (60%) di Indonesia menjadi sektor prioritas untuk menurunkan emisi. Namun sektor lain seperti energi diprediksi akan menghasilkan emisi lebih besar dari sektor AFOLU setelah 2024-2025, dan pada tahun 2030 akan menjadi sumber emisi dominan di Indonesia sehingga memerlukan perhatian dan strategi khusus untuk penurunan emisi di sektor energi. 

Fabby juga menyinggung kebutuhan finansial untuk penanganan iklim sangat besar. Di sektor energi saja, dibutuhkan USD 30-40 miliar per tahun hingga 2030. Periode selanjutnya, 2030-2050 kebutuhan investasi akan meningkat hingga USD 50-60 miliar per tahun. Indonesia harus mengejar komitmen negara-negara maju untuk memberi bantuan pendanaan krisis iklim pada negara-negara berkembang. 

Dharsono Hartono, Presiden Direktur Rimba Makmur Utama, menambahkan bahwa Indonesia mempunyai peran strategis dalam diplomasi pengendalian krisis iklim. Menurutnya, sebagai negara yang memiliki hutan hujan tropis yang besar serta kawasan lahan gambut terbesar,  tanggung jawab Indonesia dalam menjaga kenaikan suhu bumi sangat krusial. 

“Tanpa Indonesia berkontribusi dalam upaya global mengatasi perubahan iklim ini, target Persetujuan Paris juga tidak akan tercapai,” ungkap Dharsono.

Krisis Segala Aspek Kehidupan yang Membutuhkan Peran Serta Semua Lapisan Masyarakat

Jakarta, 19 Oktober 2021 – Dua pekan menjelang Pertemuan para Pihak (Conference of the Parties (COP) 26 di Glasgow, isu iklim banyak diperbincangkan di Indonesia salah satunya untuk menggalang suara publik dan memberi masukan pada pemerintah Indonesia yang rencananya akan diwakili langsung oleh presiden Joko Widodo untuk meningkatkan ambisi iklimnya. 

Indonesia telah memperbarui komitmen iklimnya melalui dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) yang dilengkapi dengan dokumen LTS-LCCR (Long Term Strategy – Low Carbon Climate Resilience). Secara angka, Indonesia tidak meningkatkan ambisinya lebih tinggi lagi, yaitu bertahan pada angka 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Indonesia juga berkomitmen untuk menjadi net-zero emissions di tahun 2060 atau lebih cepat. Sayangnya, upaya ini belum cukup untuk membawa Indonesia menjaga kenaikan suhu rata-rata bumi tidak lebih dari 1.5 derajat Celcius.

Dalam webinar bertajuk “Menuju COP26: Perubahan iklim dan peran publik untuk melestarikan bumi”, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute of Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa sejak tahun 1880an Indonesia selalu masuk dalam 10 besar negara penghasil emisi terbesar (carbon brief).

“Kita seharusnya melihat tanggungjawab untuk menurunkan emisi ini bukan sebagai beban namun juga sebagai kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi rendah karbon. Hasil kajian IESR menunjukkan bahwa dekarbonisasi pada tahun 2050 justru membawa manfaat ekonomi yang lebih besar, karena selain menciptakan peluang industri baru, dan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar, harga energi Indonesia akan lebih terjangkau sekaligus manfaat sosial dan ekonomi yang bisa dirasakan seperti udara yang lebih bersih dan mengurangi ancaman bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim,” jelas Fabby.

Muhamad Ali Yusuf, Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (NU), menjelaskan bahwa dari sisi organisasi masyarakat berbasis agama mengkomunikasikan isu perubahan iklim penuh tantangan sebab masyarakat pada umumnya akan peduli pada permasalahan yang ada di depan mata, maka perlu pintu masuk yang membumi untuk membicarakan perubahan iklim pada masyarakat. 

“Di sisi lain, diskursus agama kita itu masih jauh dari isu ekologis seperti perubahan iklim. Kalaupun sudah ada belum menjadi isu prioritas. Maka sebenarnya literasi tentang perubahan iklim juga perlu untuk para tokoh agama,” jelasnya.

Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Pendeta Jimmy Sormin menambahkan bahwa  tokoh agama memiliki peran strategis untuk mempengaruhi cara pandang dan tingkah laku dari umat dan memiliki dampak signifikan untuk mempengaruhi pola pikir dan pandang orang.

“Jadi memang harus punya kreativitas untuk menyampaikan perubahan iklim,” jelas pendeta Jimmy.

Literasi tentang perubahan iklim harus disebarkan kepada masyarakat luas tanpa terkecuali, karena saat muncul dampak dari perubahan iklim seperti bencana hidrometeorologi, semua penduduk akan terdampak. 

Mike Verawati, Sekretaris Jenderal, Koalisi Perempuan Indonesia, menjelaskan bahwa perempuan menjadi pihak yang paling berat merasakan dampak perubahan iklim karena kebijakan dan sistem kita yang tidak inklusif. Kebutuhan warga dilihat sebagai kebutuhan yang bersifat netral. 

“Persoalan iklim, infrastruktur, dan alam biasanya dianggap narasi besar atau isu maskulin sehingga akhirnya isu ini dianggap bukan isu perempuan padahal mereka tahu detail dan aktif melakukan advokasi, walau kadang mereka tidak bisa menjelaskan secara sains,” jelas Mike.

Bukan hanya perempuan namun anak muda juga perlu diikutsertakan dalam upaya pembuatan kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim.  Sebagai generasi yang akan hidup di masa mendatang, anak-anak muda inilah yang akan menanggung dampak dari krisis iklim yang tidak ditangani dengan serius di masa depan. 

“Pemerintah Indonesia memang sudah memiliki komitmen untuk menurunkan emisi dan mengatasi krisis iklim. Namun, komitmen itu belum cukup untuk mengatasi krisis iklim ini, beberapa produk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seperti UU Minerba, Food Estate, dan Omnibus Law terasa kontra produktif dengan upaya menanggulangi krisis iklim,” terang Melissa Kowara, Aktivis Extinction Rebellion Indonesia. 

Melissa juga menyoroti tentang minimnya literasi tentang perubahan iklim untuk masyarakat luas. Hal ini membuat masyarakat terkesan diam saja atau belum banyak bergerak karena memang mereka belum paham konteks. 

Negara-Negara G20 Telah Memutakhirkan Ambisi Iklimnya Namun Belum Selaras dengan Target Persetujuan Paris

Tahun 2021 ditandai sebagai tahun kembali naiknya emisi terutama di negara-negara G20 seiring dengan dimulainya kembali aktivitas ekonomi dan sosial. Sebelumnya pada tahun 2020, emisi di negara-negara G20 tercatat mengalami penurunan karena adanya regulasi pemerintah tentang pembatasan kegiatan sosial untuk mengatasi wabah Covid-19. Laporan Transparansi Iklim (Climate Transparency Report) 2021 menemukan bahwa beberapa negara seperti Argentina, Cina, India, dan Indonesia diproyeksikan akan melampaui tingkat emisi 2019 mereka. Meski 14 negara G20 telah mengajukan target net-zero yang mencakup sekitar 61 persen emisi GRK di dunia, namun masih belum sejalan dengan jalur 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan Paris Agreement. Dengan semakin sempitnya kesempatan untuk mengejar target Persetujuan Paris, negara-negara G20 perlu meningkatkan ambisi iklim mereka lebih tinggi lagi dan bergerak bersama untuk memerangi krisis iklim.

Laporan Transparansi Iklim merupakan laporan tahunan yang mengkaji ambisi dan kebijakan iklim negara-negara G20, mengungkapkan beberapa temuan kunci untuk laporan 2021 yang diluncurkan pada 14 Oktober 2021. Diantaranya adalah:

  • Ambisi Teranyar Belum Mematuhi Perjanjian Paris

Pada tahun 2021, 14 negara G20 memperbarui ambisi iklim mereka dan mengusulkan target net-zero emission. 13 NDC yang diperbarui telah diserahkan ke UNFCCC dan 6 dari negara-negara tersebut yaitu Argentina, Kanada, Uni Eropa (termasuk Prancis, Jerman dan Italia), Afrika Selatan, Inggris dan AS meningkatkan target NDC mereka. Sayangnya, semuanya belum cukup untuk memenuhi target 1,5 derajat. Dengan mengikuti ambisi saat ini, suhu global masih akan naik hingga 2,4 derajat. Upaya yang lebih menyeluruh dan melibatkan semua pihak sangat diperlukan untuk menjaga suhu global di level 1,5 derajat.

“Jika G20 menyelaraskan target dan kebijakannya dengan jalur satu setengah derajat dan menerapkan kebijakan tersebut, kesenjangan emisi global sekitar 23 gigaton dapat dikurangi secara signifikan,” kata Justine Holmes, Solutions For Our Climate menjelaskan.

  • Subsidi Bahan Bakar Fosil Masih Terus Dilakukan

Selama pemulihan ekonomi, sebagian besar negara G20 menyuntikkan subsidi untuk sektor bahan bakar fosil. Padahal, besaran subsidi BBM jauh lebih besar dari paket pemulihan hijau yang disiapkan pemerintah G20. Dari Januari 2020 hingga Agustus 2021 negara-negara G20 mengucurkan dana sebesar USD 298 miliar untuk mensubsidi industri bahan bakar fosil. USD 248 miliar dari USD 298 miliar mensubsidi sektor bahan bakar fosil tanpa syarat, artinya industri bahan bakar fosil tidak berkewajiban misalnya menurunkan emisinya, atau kesepakatan lain untuk mempertimbangkan lingkungan atau situasi perubahan iklim.


  • Emisi yang Kembali Naik

Saat aktivitas ekonomi dimulai kembali, emisi di negara G20 kembali meningkat. Total emisi pada tahun 2020 turun hingga 6% dan diproyeksikan meningkat 4% tahun ini. Negara-negara seperti Argentina, China, India, dan Indonesia bahkan diproyeksikan melampaui tingkat emisi 2019. Hal ini sebenarnya diprediksi, bahwa penurunan emisi pada tahun 2020 terkait erat dengan pembatasan aktivitas sosial selama wabah pandemi.

  • Penting untuk Segera Menghentikan Pembangkit Listrik Tenaga Batubara

Pembangkit listrik tenaga batu bara dikenal karena emisi karbonnya yang intens. Hingga 2020, China (163 GW), India (21 GW), Indonesia (18 GW), dan Turki (12 GW) masih memiliki pembangkit listrik tenaga batu bara. Semua anggota G20 perlu menghapus batubara antara tahun 2030 – 2040 untuk membatasi suhu rata-rata global hingga 1,5 derajat Celcius. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam paparannya menjelaskan bahwa saat ini Indonesia masih didominasi oleh batubara dalam bauran energinya. Pada bulan Oktober, pemerintah Indonesia mengeluarkan RUPTL baru yang mengakomodasi lebih banyak porsi energi terbarukan daripada rencana pembangkit listrik termal, ditambah rencana PLN untuk menonaktifkan pembangkit listrik tenaga batubara superkritis mulai tahun 2030.

“Baru-baru ini kami juga membahas kemungkinan untuk melakukan moratorium batubara lebih awal sebelum tahun 2025 tetapi itu masih rencana, belum diselesaikan dan kami masih memberikan subsidi bahan bakar fosil. Penghapusan subsidi bahan bakar fosil akan membantu mempercepat transisi energi,” pungkasnya.

PLTS Jawab Kebutuhan Industri dan Komersial untuk Sediakan Produk Hijau

Semarang, 06 Oktober 2021 – Sektor industri dan bisnis menjadi sektor yang potensial untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan. Tuntutan pasar yang semakin kuat akan produk hijau (green product) mendorong sektor komersial dan industri beralih pada teknologi yang ramah lingkungan demi mempertahankan eksistensinya di pasar global. PLTS menjadi pilihan yang strategis bagi sektor komersial dan bisnis mempertimbangkan masa instalasinya yang relatif cepat, serta ketersediaan sumber energi surya yang merata di seluruh Indonesia. Selain itu, dengan berinvestasi pada PLTS dapat menekan biaya produksi.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa saat ini sejalan dengan usaha mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), sektor industri dihadapkan pada kewajiban nilai ekonomi karbon. Terutama untuk barang-barang yang diekspor seperti ke negara-negara Eropa, Amerika dan Jepang. Jejak karbon suatu produk yang melebihi batas maksimal yang ditentukan akan dikenakan pajak. Ditambah, kesadaran masyarakat tentang isu keberlanjutan (sustainability) semakin meningkat seperti dikatakan survei WWF dan The Economist yang menemukan bahwa pencarian pada search engine dengan kata kunci sustainability meningkat lebih dari 71% sepanjang 2016-2020.

Shareholder perusahaan-perusahaan sudah meminta agar semua perusahaan ini punya komitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan. Jadi kalau kita ingin Jawa Tengah menjadi pusat industri maka akses energi terbarukan harus dipermudah,” tutur Fabby pada webinar yang diselenggarakan oleh IESR dengan Pemerintah Jawa Tengah berjudul “Energi Surya Atap untuk Sektor Komersial dan Industri di Jawa Tengah” (6/10/2021). 

Secara umum, ditinjau dari adopsinya, jumlah pengguna PLTS atap di Indonesia kian meningkat. Berdasarkan data Direktorat Jenderal EBTKE, hingga bulan Agustus 2021 lalu, terdapat 4.133 pelanggan PLTS atap di Indonesia, dengan total kapasitas terpasang 36,74 MWp. Dilihat dari kapasitas PLTS atap berdasarkan wilayah, maka Jawa Tengah dan DIY menduduki peringkat ketiga dengan kapasitas PLTS atap sebesar 5,83 MWp.

Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM, memaparkan bahwa pemerintah memberikan prioritas pengembangan PLTS atap mengingat potensinya yang sangat besar, masa instalasi yang cepat, dan harganya yang sudah sangat kompetitif.

“Strategi jangka menengah yang didorong untuk pengembangan PLTS adalah PLTS atap yang ditargetkan sebesar 3,6 GW pada 2025. Selain itu PLTS skala utilitas juga terus kita dorong pengembangannya,” terang Chrisnawan dalam kesempatan yang sama.

Mendukung infrastruktur dan layanan menuju transisi energi, PLN juga harus berbenah menyiapkan adaptasi jaringan dan menyesuaikan dengan bisnis model yang mengakomodasi energi terbarukan dalam jumlah besar.

“PLTS atap ini berdampak ke jaringan PLN yang ada saat ini, karena sifatnya yang intermiten jadi PLN harus menyediakan unit standby untuk memberi suplai  listrik saat daya yang dihasilkan PLTS tidak bisa mencukupi kebutuhan listrik yang ada,” jelas M.Irwansyah Putra, GM PLN Jateng DIY.

Irwan juga menjelaskan dalam mendukung mekanisme pajak karbon, PLN sudah menerbitkan REC (Renewable Energy Certificate). Dengan membeli sertifikat ini, PLN akan menyalurkan listrik yang didapat dari energi bersih pada industri yang bersangkutan. 

Menyoal kebijakan untuk mendorong energi terbarukan di Provinsi Jawa Tengah,Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah menuturkan bahwa pihaknya telah menyiapkan ragam kebijakan. Namun, menurutnya untuk mendorong perubahan tertentu, dalam hal ini peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan (PLTS-red),dukungan kebijakan saja ternyata tidak cukup. 

“Perubahan itu lebih cepat terjadi kalau didorong oleh mekanisme market driven, jadi bukan sekedar memenuhi aturan tertentu. Dinas ESDM Jawa Tengah sudah mencoba membuat paket-paket kebijakan yang mencakup aspek market ini dengan masukan berbagai pihak seperti pemerintah, perguruan tinggi, dan NGO,” jelas Sujarwanto.

Pemerintah Daerah Jawa Tengah juga melakukan pendampingan bagi sektor komersial dan industri di Jawa Tengah yang bertransisi menuju industri hijau. “Ada beberapa langkah yang ditempuh untuk penerapan industri hijau yaitu pelatihan, memfasilitasi sertifikasi bagi industri hijau juga pemberian penghargaan industri hijau. Beberapa perusahaan di Jawa Tengah mendapat penghargaan ini,” jelas M. Arif Sambodo, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah.

Peluang sektor komersial dan industri untuk mengadopsi PLTS semakin luas dengan tersedianya berbagai skema investasi PLTS seperti cicilan maupun sewa. Anggita Pradipta, Head of Marketing SUN Energy menceritakan bahwa ada tiga skema yang ditawarkan SUN Energy bagi calon pelanggan PLTS atap yaitu Solar Purchase, Performance Based Rental, dan Solar Leasing.

“Untuk sektor komersial dan industri yang ingin memasang panel surya namun terkendala di biaya pemasangan awal, kami rekomendasikan untuk mengambil skema performance based rental. Dengan skema ini, pelanggan akan terikat kontrak selama 15-25 tahun, dimana seluruh biaya pemeliharaan unit PLTS akan menjadi tanggungan SUN Energy, setelah kontrak berakhir baru aset menjadi milik customer,” jelas Anggi.

Simak 6 Perbedaan pada NDC Indonesia Tahun 2015 dan NDC Hasil Pemutakhiran 2021

Sejak menandatangani Persetujuan Paris pada tahun 2015, Indonesia mulai menyusun dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai pernyataan resmi untuk komitmen penurunan emisinya. NDC pertama Indonesia diserahkan kepada UNFCCC pada tahun 2015. Dalam perjalanan, banyak pihak menilai bahwa NDC yang dimiliki Indonesia belum mampu menjawab tantangan krisis iklim dan upaya penurunan emisi. 

Pada tahun 2021, atas masukan berbagai pihak Indonesia memperbarui dokumen NDC-nya. Secara target pengurangan emisi tidak ada yang berubah, namun perbedaan yang sangat terasa adalah dibuatnya berbagai penyesuaian dengan RPJMN 2020 – 2024 dan Visi Indonesia 2045, selain itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mengeluarkan dokumen Long Term Strategy untuk melengkapi NDC terbaru ini. Hal lain yang ditambahkan pada NDC Indonesia yang terbaru dapat dilihat pada tabel perbandingan berikut.

NoHalNDC 2016NDC 2021
1Penyelarasan dengan strategi nasional

Selaras dengan konsep Nawa Cita

Penyelarasan dengan RPJMN 2020-2024 dan Visi Indonesia 2045 melalui NDC

2Proyeksi emisi GRK pada BAU

Energi CM2: 1.271MTon CO2e

FOLU CM2: 64 MTon CO2e

Target penurunan emisi

Energi CM2: 398 MTon CO2e

FOLU CM2: 650 MTon CO2e
Energi CM2: 1.407 Mton CO2e

FOLU CM2: 68 Mton CO2e

Target penurunan emisi :

Energi CM2: 441 MTon CO2e

FOLU CM2: 692 MTon CO2e
3Dokumen Long Term Strategy (LTS)

Tidak ada

Ada, untuk memenuhi mandat Persetujuan Paris Pasal 4.19 (memasukkan isu kesetaraan gender dan pekerjaan yang layak)

4Penjelasan asumsi dalam proyeksi business as usual (BAU) dan target

Tidak ada

Ada
5Komitmen Indonesia dalam berbagai konvensi Internasional

Tidak adaAda
6Menerjemahkan Katowice Package sebagai Pedoman pelaksanaan Persetujuan Paris

Tidak

Diterjemahkan

Dalam dokumen termutakhir ini Pemerintah Indonesia memaparkan 3 skenario mitigasi risiko perubahan iklim yaitu CPOS (Current Policy Scenario), TRNS (Transition Scenario), dan LCCP (Low Carbon scenario Compatible with Paris Agreement). Selain pada target penurunan emisi, ketiga skenario ini berdampak langsung pada pendapatan per kapita dan biaya investasi yang harus dikeluarkan pemerintah. 

Apakah target penurunan emisi Indonesia sudah relevan untuk mencapai target Persetujuan Paris?

Langkah Indonesia memperbaiki NDC-nya menuai apresiasi dan kritik. Apresiasi diberikan atas upaya untuk memperjelas poin-poin yang belum termasuk dalam dokumen NDC seperti aspek kesetaraan gender dan kelayakan pekerjaan (decent job), menambahkan dokumen Long Term strategy (LTS), dan memasukkan komitmen Indonesia dalam Konvensi Internasional di bidang adaptasi. 

Di sisi lain, kritik datang karena ambisi untuk menurunkan emisi tidak berubah dari dokumen terdahulu. Target penurunan emisi dalam NDC Indonesia belum mencerminkan sense of urgency untuk merespon krisis iklim yang sedang terjadi saat ini. Bahkan, laporan IPCC AR6 yang diluncurkan bulan Agustus 2021 menyebutkan bahwa waktu untuk mencegah kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius hanya kurang dari satu dekade lagi. Sebagai salah satu dari 10 besar negara penghasil emisi terbesar di dunia, seharusnya Indonesia lebih ambisius lagi untuk mengurangi emisinya.

Selain itu, di sektor energi sub-sektor ketenagalistrikan, PLTU batubara yang menghasilkan emisi tinggi masih tetap dipilih sebagai sumber pembangkit listrik bahkan hingga tahun 2050. Hanya saja, tidak dijelaskan secara rinci alasan pemilihan implementasi teknologi CCS/CCUS baik secara teknis maupun ekonomis. Tidak dijelaskan pula perbedaan asumsi yang digunakan antar skenario CPOS, TRNS, LCCP. Kurangnya transparansi mengenai asumsi yang digunakan dalam dokumen ini menyulitkan akademisi, pembuat kebijakan, atau masyarakat umum untuk mempelajari dokumen LTS LCCR ini

IESR menilai bahwa kepentingan untuk menaikkan ambisi iklim bukan hanya semata-mata memenuhi komitmen perjanjian internasional namun untuk mewujudkan ketahanan ekonomi nasional dan memitigasi risiko terjadinya pengeluaran biaya yang besar untuk membenahi masalah iklim di masa mendatang. Meresponi hal tersebut, IESR menyusun rekomendasi untuk Presiden RI terkait pemutakhiran komitmen nasional Indonesia atau Nationally Determined Contribution (NDC) 2021 yang dapat diunduh berikut ini Rekomendasi IESR untuk Presiden Joko Widodo tentang Pemutakhiran NDC – IESR

Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan : “Keluarkan Sumber Energi Kotor dari RUU EBT!”

Jakarta, 29 September 2021 – Indonesia telah mencanangkan untuk mencapai target netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Salah satu strateginya ialah dengan pemanfaatan energi terbarukan. Mendorong optimalisasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia serta memberikan payung hukum yang jelas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berinisiatif menyusun Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). Namun, dalam perjalanannya, RUU EBT ini masih memuat unsur energi fosil yang menuai protes dari Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan.

“Awalnya RUU EBT ini menumbuhkan harapan kami tentang perkembangan energi terbarukan sebagai langkah mitigasi krisis iklim, namun harapan kami pudar karena dalam RUU EBT saat ini memasukkan sumber energi yang tidak bersih. Di sini komitmen Indonesia untuk bertransisi energi dan menurunkan emisinya dipertanyakan,” jelas Satrio Swandiko Prillianto, perwakilan Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan pada webinar ‘Aspirasi Pemuda untuk RUU EBT Berkeadilan’, yang didukung penyelenggaraannya oleh Institute for Essential Services Reform (IESR)

Tidak hanya itu, melalui Satrio, Koalisi yang terdiri dari mahasiswa dari berbagai Universitas di Indonesia, juga merangkumkan 3 butir keberatan mereka terhadap RUU EBT sebagai berikut

  1. Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan menuntut DPR RI Komisi VII untuk mengeluarkan sumber energi yang tidak bersih dari RUU EBT,
  2. Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan meminta pemerintah mengatur regulasi insentif bagi energi terbarukan,
  3. Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan meminta pemerintah untuk mempertimbangkan saran saintifik dan aspirasi masyarakat dari berbagai kalangan sebagai upaya pertumbuhan ekonomi dan dekarbonisasi sektor energi.

Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI dalam kesempatan yang sama mengemukakan bahwa proses pembuatan UU Energi Baru Terbarukan yang begitu panjang saat ini telah mencapai tahap sinkronisasi di badan legislasi DPR RI. Direncanakan UU ini akan selesai pada akhir tahun 2021. Ia menjelaskan  RUU ini penting untuk menangani problematika energi di Indonesia. 

“Cadangan energi fosil kita tinggal sedikit, selain itu dia juga polutif karena menghasilkan emisi karbon yang tinggi, maka kita perlu beralih ke energi terbarukan dan perlu payung hukum kuat untuk pengembangan ekosistemnya,” terang Sugeng.

Meski RUU EBT ini belum sempurna, Ratna Juwita Sari, anggota Komisi VII DPR RI berpendapat bahwa RUU EBT ini akan memastikan bahwa sistem energi di Indonesia harus tangguh, mandiri, berkecukupan, terjangkau (affordable), berkeadilan dan berkelanjutan (sustainable), dan bersih.

“Kami menyadari beberapa pasal masih menimbulkan pro-kontra seperti bab tentang nuklir, tapi dampak RUU ini secara sosial, ekonomi, dan lingkungan akan besar dan baik,” jelas Ratna.