Mendukung Pengurangan Emisi di Sektor Transportasi

Kendaraan Listrik

Jakarta, 20 Februari 2023 – Dekarbonisasi sektor transportasi menjadi salah satu agenda utama untuk mencapai target emisi nol bersih Indonesia pada tahun 2060. Sektor transportasi merupakan penghasil emisi GRK terbesar kedua (23%), dimana transportasi darat menyumbang 90% emisi sektor ini, dengan total emisi di sektor energi mendekati 600 MtCO2eq pada tahun 2021 (IESR, IEVO 2023).

Dalam skenario rendah karbon yang sesuai dengan target Paris Agreement (LCCP), emisi dari transportasi di Indonesia perlu diturunkan menjadi 100 MtCO2eq pada tahun 2050. Sementara itu, dalam perhitungan IESR seluruh sektor energi, termasuk transportasi, harus mendekati nol emisi pada tahun 2050 agar kenaikan suhu global tetap berada di bawah 1,5 °C. Untuk mencapai hal tersebut, elektrifikasi transportasi dan pemanfaatan bahan bakar berkelanjutan perlu diprioritaskan.

Salah satu cara melakukan dekarbonisasi transportasi darat yakni meningkatkan penggunaan kendaraan listrik. Adanya penggantian komponen mesin pembakar internal (Internal Combustion Engine/ICE) dengan kendaraan listrik tidak hanya menjadi solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), tetapi juga menjadi pilihan yang lebih ekonomis. Hal ini lantaran efisiensi energi teknologi kendaraan listrik yang tinggi. Kendaraan listrik diproyeksikan mewakili lebih dari 60% kendaraan yang terjual secara global pada tahun 2030. Untuk itu, perlu dipersiapkan dengan matang infrastruktur pendukung kendaraan listrik di Indonesia, seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). 

Namun demikian, sebagian masyarakat masih meragukan atau bahkan berpendapat bahwa kendaraan listrik tidak dapat menjadi solusi pengurangan emisi GRK. Pasalnya, sumber listrik untuk pengisian kendaraan listrik masih berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil, khususnya di Indonesia yang sekitar 67% listriknya berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara (PLTU). Selain itu, proses pembuatan baterai kendaraan listrik juga sangat memakan energi dan menghasilkan GRK dalam jumlah tinggi.

Dalam hal ini, dekarbonisasi sektor transportasi perlu dilihat secara optimis dari perspektif jangka panjang. Penggunaan sumber listrik untuk kendaraan memang menjadi tantangan besar untuk meningkatkan utilisasi kendaraan listrik. Untuk itu, rencana pengembangan kendaraan listrik harus diintegrasikan dengan peta jalan dekarbonisasi multisektor karena adopsi kendaraan listrik yang tinggi berpotensi membantu sektor lain, yaitu sektor ketenagalistrikan.

Kondisi Sektor Ketenagalistrikan

Salah satu penyebab lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia yakni terjadinya kondisi kelebihan pasokan listrik. Apalagi sistem kelistrikan tersebut memiliki cadangan daya margin cadangan (reserve margin) yang tinggi, diperkirakan mencapai 56% pada tahun 2022, sedangkan margin cadangan tipikal berdasarkan RUPTL PLN berada pada kisaran 15-40%. Kondisi tersebut bisa dikatakan terjadi karena overestimasi permintaan dan efek pandemi global.

Sayangnya, sebagian besar pembangkit baru yang beroperasi yakni PLTU yang tidak dapat beroperasi secara fleksibel karena terkendala kesepakatan take or pay. Sementara itu, beberapa unit PLTU, terutama yang telah berusia lebih tua, memiliki keterbatasan untuk beroperasi secara fleksibel karena kemampuan teknisnya, seperti laju ramp-rate yang lambat, beban minimum yang tinggi, dan waktu start-up yang lama.

Berdasarkan permasalahan tersebut, setidaknya perlu ada peningkatan permintaan listrik atau penghentian pembangkit berbahan bakar fosil, dengan atau tanpa intervensi, untuk memungkinkan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut, pengembangan pemanfaatan kendaraan listrik dengan strategi yang tepat dapat digunakan sebagai salah satu upaya meminimalisir permasalahan sistem tenaga listrik.

Di lain sisi, tingkat adopsi kendaraan listrik yang tinggi berpotensi menyerap kelebihan pasokan listrik dari pembangkit listrik yang beroperasi. Dalam laporan Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang diterbitkan Institute for Essential Services Reform (IESR), kebutuhan elektrifikasi transportasi akan mencapai 136 TWh pada tahun 2030 (sekitar 28,6% dari total permintaan listrik). Dengan kata lain, elektrifikasi sektor transportasi dapat menjadi pendekatan strategis untuk mengurangi masalah kelebihan pasokan dan memberi ruang bagi lebih banyak energi terbarukan dalam sistem tenaga. Selain itu, elektrifikasi akan secara signifikan mengurangi emisi GRK langsung dan meningkatkan ketahanan energi melalui pengurangan impor bahan bakar.

Nilai Kendaraan Listrik dalam Sistem Tenaga Listrik

Pada dasarnya kendaraan listrik merupakan baterai berkapasitas besar yang terhubung ke motor listrik dan roda. Sederhananya, baterai tersebut menjadi aset penyimpanan energi untuk melakukan mobilitas. Kendaraan listrik saat ini memiliki kapasitas baterai rata-rata sekitar 40 kWh yang dapat dipandang sebagai aset berharga untuk sistem kelistrikan. Kapasitas tersebut cukup besar mengingat unit baterai penyimpanan rumah biasanya memiliki kapasitas tidak lebih dari setengah kendaraan listrik. Oleh karena itu, setiap nilai tambah kendaraan listrik perlu diaktifkan melalui integrasi jaringan dan kendaraan (VGI).

Berbagai skema VGI telah dikembangkan, sebut saja aliran energi satu arah (V1G), aliran energi dua arah (V2G), kendaraan ke bangunan (V2B), dan lainnya. Strategi integrasi yang sesuai dapat memberikan keuntungan, baik kepada pemilik kendaraan listrik maupun operator jaringan listrik. Misalnya, operator jaringan dapat menerapkan tarif pengisian berbeda pada jam pengisian tertentu yang akan mempengaruhi perilaku pengisian daya pemilik EV melalui skema V1G. Operator jaringan dapat menjaga beban puncak, menghindari biaya operasi tambahan atau kebutuhan penambahan kapasitas. Sebagai imbal baliknya, pemilik kendaraan listrik akan mendapatkan insentif tarif pengisian rendah selama waktu beban puncak.

Dalam implementasi lebih lanjut, VGI dapat dipromosikan menjadi V2G. Armada kendaraan listrik secara kolektif dapat bertindak seperti sistem penyimpanan energi stasioner (Energy Storage System/ESS) di mana operator jaringan dapat membeli listrik dari baterai kendaraan listrik untuk dipasok ke jaringan saat dibutuhkan. Namun implementasinya akan membutuhkan regulasi terkait interkoneksi.

Selain regulasi, VGI akan membutuhkan pengembangan infrastruktur pendukung yang relevan dengan peta jalan pengembangan sektor ketenagalistrikan. Mempertimbangkan tingkat penetrasi energi terbarukan, tingkat adopsi kendaraan listrik, dan profil beban saat ini, VGI dapat mulai diimplementasikan melalui insentif tarif rendah pada malam hari sehingga pemilik kendaraan listrik melakukan pengisian daya di rumah sepanjang malam. Namun, begitu sistem tenaga memiliki penetrasi PLTS  yang tinggi (seperti yang direncanakan pemerintah untuk masa depan), akan ada suplai listrik yang tinggi di siang hari. Bukankah kita perlu menyiapkan lebih banyak infrastruktur pengisian publik? Atau ada strategi lain?