Menilik Pasar Karbon Indonesia: Tantangan, Peluang dan Jalan untuk Masa Depan

Kemajuan pesat dalam penetapan harga karbon di Indonesia telah mencapai tonggak penting. Peraturan Presiden (Perpres) 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) menjadi landasan pembangunan infrastruktur dan kerangka pelaksanaannya. Lahirnya regulasi NEK merupakan respon terhadap Pasal 6 Persetujuan Paris yang memperbolehkan para pihak memperdagangkan karbon guna menurunkan emisi. Beberapa instrumen yang ditawarkan dalam peraturan ini, terdiri dari perdagangan karbon, pembayaran berbasis hasil, dan pajak karbon, yang telah dua kali tertunda dan diperkirakan akan diluncurkan pada tahun 2025. Di antara semua instrumen tersebut, perdagangan karbon diidentifikasi sebagai instrumen yang matang dengan mekanisme cap-and-trade yang memungkinkan institusi untuk mengklaim emisi intensif tinggi mereka dengan membeli kredit dari aktivitas lain yang menyediakan stok karbon.

Untuk memperkuat pelaksanaan perdagangan karbon berdasarkan Undang-Undang 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertugas menyelenggarakan dan mengawasi perdagangan karbon di pasar karbon. Hanya dalam waktu 7 bulan, OJK menerbitkan peraturan perdagangan karbon melalui pertukaran karbon dan resmi meluncurkan pasar karbon pada 26 September 2023. Artinya, pembiayaan merupakan salah satu solusi untuk menjembatani kesenjangan dalam pencapaian target iklim dan berperan penting dalam meningkatkan kesadaran akan dampak buruk perubahan iklim, khususnya bagi sektor bisnis.

Sebelumnya, Indonesia telah mengenal Pasar Karbon Sukarela (Voluntary Carbon Market, VCM) sejak beberapa dekade terakhir sebelum memutuskan untuk membentuk pasar karbon wajib untuk memenuhi target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution, NDC) untuk sektor-sektor tertentu. Misalnya, proyek Lahan Gambut Sumatera Merang yang berhasil menjual 3 juta kredit karbon kepada perusahaan-perusahaan besar dan Indonesia Climate Exchange (ICX), sebuah platform perdagangan, diciptakan untuk membangun ekosistem bagi sektor swasta dengan skema sukarela.

Pada tahap pertama perdagangan karbon, 99 PLTU yang mencakup 86% pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia berpartisipasi dalam skema cap and trade. Setiap PLTU mempunyai jatah maksimum atau kuota emisi yang ditetapkan berdasarkan kriteria kinerja dan unit sebelumnya. Bagi mereka yang mengeluarkan emisi kurang dari ambang batas, mereka dapat menukarkan sisa kuota ke perusahaan lain yang melebihi batas maksimum. Ketika emisi PLTU telah melebihi kuota yang diberikan, maka mereka harus mengurangi emisi tersebut dengan membeli kuota dari PLTU lain atau membeli kredit karbon.

Keberhasilan program percontohan ini, meskipun memerlukan beberapa perbaikan, telah mendorong sektor-sektor lain untuk mempertimbangkan perdagangan karbon dan memperluas penerapannya di luar sektor energi, sambil menunggu diterbitkannya peta jalan perdagangan karbon yang saat ini sedang dibahas di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Dengan terbentuknya pasar karbon, maka produk perdagangan yang akan diperjualbelikan adalah kuota karbon dari sektor yang memenuhi syarat yang disebut PTBAE-PU dan kredit karbon atau SPE-GRK. PTBAE-PU hanya dapat diperjualbelikan oleh sektor wajib yang mempunyai batas maksimum emisi emisi, sedangkan kredit dapat diberikan dari berbagai proyek, misalnya proyek restorasi gambut dan energi terbarukan, di mana seluruh peserta dapat membeli kredit tersebut untuk menghindari emisi. Untuk berpartisipasi dalam pertukaran karbon, semua entitas, baik penghasil emisi atau bukan, harus mendapatkan izin dari National Standard Registry (SRN), sebuah platform yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai database emisi nasional dan memvalidasi kredibilitas produk dan peserta yang terlibat dalam pertukaran karbon. Dengan besarnya harapan, pemantauan dan evaluasi emisi yang cermat dapat dengan mudah diintegrasikan antar sektor dalam satu platform dan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi data yang diperlihatkan kepada publik.

Peluncuran pertukaran karbon hanya satu bulan setelah OJK mengeluarkan peraturannya telah menimbulkan beberapa pertanyaan, salah satunya adalah apakah Indonesia cukup siap untuk mengelolanya. Dengan tidak adanya ekosistem pasar yang komprehensif, diperlukan perencanaan dan implementasi yang matang oleh pemerintah, khususnya regulator dan kementerian terkait. Meski antusiasme ditunjukkan oleh 13 transaksi dengan total volume setara 459.914 metrik ton CO2 dengan harga satuan sekitar USD 4,51 yang didominasi oleh BUMN pada hari pertama peluncurannya, pembelajaran dari beberapa sistem perdagangan emisi (ETS) ), seperti Tiongkok, menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu yang cukup lama, hampir satu dekade, untuk membangun ekosistem pasar yang kuat dan matang. Validasi, kredibilitas, dan transparansi data merupakan aspek fundamental yang patut diwaspadai oleh berbagai pemangku kepentingan, antara lain OJK, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan lainnya. Integrasi pasar antara perdagangan karbon sektor tenaga listrik dan sektor kepatuhan yang akan datang dengan pasar karbon yang baru dirilis harus diterapkan untuk mencapai satu sistem dan mekanisme penetapan harga yang sama, karena pihak sukarela mendominasi pasar saat ini.

Penting juga untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan di pasar guna menjaga antusiasme pasar dan menjamin kelancaran transaksi. Mengingat pengalaman awal Skema Perdagangan Emisi Uni Eropa (EU ETS), di mana kelebihan pasokan menyebabkan harga karbon mendekati nol pada tahun 2007, maka tindakan pencegahan harus diambil untuk mencegah harga karbon menjadi tidak kompetitif. Selain itu, pasar karbon akan segera memungkinkan perusahaan-perusahaan di luar Indonesia untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon, yang dapat menyebabkan kebocoran karbon jika harga tidak kompetitif dan perusahaan-perusahaan dalam negeri tidak mendapatkan manfaat dari insentif yang diberikan oleh pasar karbon.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang mengatur kuota dan ambang emisi di bidang ketenagalistrikan harus membatasi emisi yang diperbolehkan oleh setiap perusahaan pemilik pembangkit listrik. Dengan rencana kuota maksimal 85% pada tahun 2024, diharapkan dapat mendorong setiap operator untuk menyusun strategi penurunan emisi. Saat ini, kuota masih didasarkan pada intensitas emisi dan rata-rata emisi tahun sebelumnya, sehingga dapat menyebabkan alokasi yang lebih tinggi pada tahun berikutnya. Oleh karena itu, pemantauan berkala diperlukan untuk mengurangi kuota emisi setiap pembangkit listrik.

Pasar karbon juga membuka peluang untuk menginformasikan prinsip-prinsip taksonomi hijau secara luas, terutama kepada lembaga keuangan, investor, dan pemilik proyek. Hal ini dapat memungkinkan identifikasi apakah suatu proyek dapat diperdagangkan di pasar karbon dan termasuk dalam klasifikasi taksonomi hijau. Hal ini dapat meningkatkan transparansi dalam penilaian dan kepercayaan sekaligus membantu investor dan lembaga keuangan dalam memobilisasi pendanaan untuk proyek-proyek berkelanjutan. Namun, koordinasi dan kesepakatan kelembagaan lebih lanjut juga diperlukan untuk mencapai hal ini.

Meskipun pasar karbon di Indonesia masih tergolong baru, penerapannya yang efektif diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku industri, khususnya pada sub-sektor pembangkit listrik dan sektor energi secara keseluruhan. Penyebaran informasi kepada khalayak yang lebih luas penting untuk menarik lebih banyak pembeli dan pedagang untuk berpartisipasi dalam pertukaran karbon di luar sektor energi. Pada tahap awal ini, diperlukan insentif dari pemerintah karena untuk bisa lolos kriteria ‘hijau’, diperlukan proses tambahan yang menimbulkan biaya tambahan dan berpotensi menjadi beban, sehingga membuat pasar karbon menjadi tidak menarik. Pasar ini juga menciptakan peluang bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pendanaan iklim, sekaligus mendorong peluncuran pajak karbon sebagai alat pelengkap yang penting. Pemantauan dan evaluasi berkala diperlukan untuk menjaga semua kegiatan pada jalur yang benar, sementara peningkatan dan pengembangan lebih lanjut diperlukan agar pasar memenuhi syarat di tingkat internasional.