Transformasi Global Menuju Sistem Energi yang Lebih Bersih Harus Segera Diikuti PLN

Kendari, 7 Februari 2022 – Dunia sedang menghadapi perubahan besar merespon kenaikan suhu rata-rata bumi yang meningkat 1,1 derajat Celcius sejak masa pra-industri. Berbagai komitmen global disepakati untuk membatasi kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat celcius pada pertengahan abad ini. Kenaikan suhu rata-rata bumi ini disebabkan oleh emisi karbon yang banyak dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil salah satunya pada sektor energi. 

Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisinya sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan asing, serta mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. 

Dr. Kuntoro Mangkusubroto, pengamat energi senior, dalam Seminar Pertambangan, perayaan Hari Pers Nasional menyebutkan bahwa sektor energi memegang peran krusial untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Namun perlu diingat, bukan berarti urusan net-zero emission ini lantas menjadi beban PLN saja karena terkait dengan energi. Perlu kolaborasi berbagai pihak untuk memastikan target 2060 tercapai,” pungkasnya mengakhiri sambutan kunci.

PLN mempunyai peran besar dalam menciptakan pasar untuk energi terbarukan. Untuk mengejar target pemenuhan energi terbarukan perlu keterlibatan pihak swasta. Maka dari itu, kebijakan dan iklim investasi yang kondusif perlu untuk diupayakan.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM menyampaikan bahwa Indonesia masih selaras untuk memenuhi pencapaian komitmen perjanjian internasional, namun ada pilihan-pilihan untuk melakukan berbagai percepatan.

“Kita sudah menyusun peta jalan nasional untuk mencapai net-zero emission 2060, dan kita terus mengkaji pilihan-pilihan yang mungkin untuk diambil untuk mempercepat target-target yang ada,” tegasnya.

Khusus dari sektor ketenagalistrikan Evy Haryadi, Direktur Perencanaan Corporate PLN menyatakan bahwa pihaknya saat ini sedang berada dalam dilema. Di satu sisi, pembangkit listrik yang tersedia dengan harga terjangkau saat ini adalah pembangkit fosil (PLTU) yang menghasilkan emisi tinggi, untuk menggantinya dengan pembangkit energi terbarukan diperlukan investasi yang besar. 

“Kami melihat tren penurunan harga listrik dari energi terbarukan seperti surya dan angin saat ini berkisar antara 18-21 sen per kWh, dibanding dengan batubara (6-8 sen/kWh) untuk saat ini listrik dari energi terbarukan masih lebih mahal.”

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengingatkan bahwa PLN perlu cermat dalam melihat tren investasi di sektor kelistrikan. Sektor komersial dan industri menjadikan energi bersih sebagai kebutuhan utama dan prasyarat untuk berinvestasi di suatu negara.  

“PLTU batubara bukanlah pembangkit listrik termurah saat ini. Subsidi pemerintah melalui skema DMO (Domestic Market Obligation) yang membuat harga batubara tetap sebesar USD  70/ton, menjadikan harga listrik dari PLTU terlihat murah. Padahal harga batubara di pasar saat ini mencapai USD 150/ton,” jelasnya.

Fabby melanjutkan, jika harga batubara USD 150/ton diteruskan ke PLTU biaya pembangkitan listrik akan naik sebesar 32% – 61%. 

Disrupsi sistem energi sedang terjadi di seluruh dunia. Untuk menjamin kehandalan, keterjangkauan dan keberlanjutan sistem energi Indonesia, PLN harus melakukan transformasi. Transformasi ini juga akan mengurangi risiko aset terdampar bagi PLN dan IPP (Independent Power Producer). Seiring berkembangnya teknologi, diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan biaya pembangunan PLTS beserta sistem penyimpanan energinya akan lebih murah daripada biaya operasional PLTU batubara. 

Untuk menuju tujuan bersama mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat, meningkatkan kapasitas energi terbarukan harus dilakukan. PLTU yang saat ini sedang beroperasi perlu dikelola dengan bijak dan secara bertahap dikurangi. Rencana pemerintah Indonesia untuk melakukan phase-down 9,2 GW PLTU batubara melalui skema Energy Transition Mechanism merupakan langkah tepat, namun pemerintah berkesempatan untuk membuat langkah yang lebih agresif.

Negara-negara ASEAN Masih Bergantung Pada Energi Fosil Namun Memiliki Peluang untuk Transformasi Sistem Energi

Jakarta, 9 Februari 2022 – Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan terpadat dengan pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi yang meningkat pesat. Pertumbuhan ekonomi muncul pada saat ada upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Untuk menjaga perkembangan ekonomi dan pertumbuhan permintaan energi, pemerintah harus mengembangkan sistem energi yang lebih bersih. Situasi saat ini menunjukkan bahwa sistem energi di Asia Tenggara masih mengandalkan bahan bakar fosil yaitu batubara.

Untuk mengidentifikasi tantangan dan peluang tersebut, perwakilan dari Indonesia, Filipina, dan Vietnam hadir dalam webinar “Energy Transition Dialogue” yang diselenggarakan oleh Australia National University bekerjasama dengan CASE (Clean, Affordable, and Secure Energy) for Southeast Asia pada Rabu, 9 Februari 2022 .

Sirpa Jarvenpaa dari Energy Transition Partnership menyoroti bahwa jika arah kebijakan terus berjalan seperti biasa tanpa ada terobosan baru (business as usual), pertumbuhan ekonomi dan energi di negara-negara ASEAN pada saat yang sama akan mencemari kawasan Asia Tenggara dan juga dunia. Ia juga menekankan pentingnya pengetahuan bagi pengambil kebijakan untuk membangun komitmen yang kuat.

“Proyek iklim yang ambisius didirikan berdasarkan pengetahuan sehingga kami perlu mendorong sektor bisnis untuk melakukan investasi dalam transisi energi, dan bagi pemerintah untuk menciptakan lingkungan investasi yang kondusif, serta merampingkan kerangka peraturan dan hukum,” katanya.

Sirpa menambahkan bahwa Asia Tenggara perlu meningkatkan investasi dalam energi terbarukan dan efisiensi energi untuk memastikan masa depan yang bersih dan sehat bagi kawasan dan dunia.

Meskipun 8 dari 10 negara di kawasan ini telah mengumumkan target net-zero mereka, paling paling awal pada 2050 dan terakhir 2065, pembangkit listrik tenaga batu bara baru masih berkembang di Asia Tenggara, terutama di Indonesia, Filipina, dan Vietnam menurut International Energy Agency (IEA). Artinya, emisi gas rumah kaca untuk kawasan Asia Tenggara belum mencapai puncaknya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa ada serangkaian tantangan untuk mencapai net-zero emissions di ASEAN seperti kebijakan, jaringan listrik (grid), dan integrasi pasar regional, serta masalah non-teknis; terkait dengan persepsi dan akses pengetahuan. Perencanaan energi jangka panjang masih bertumpu pada fosil meskipun kebijakan mengatakan untuk mengurangi penggunaan fosil.

“Bahan bakar fosil masih dianggap sebagai komponen utama ketahanan energi, dan energi terbarukan masih dianggap tidak dapat diandalkan dan mahal,” jelas Fabby.

Fabby juga menekankan aspek ‘transisi yang adil’ sebagai hal yang harus diperhatikan terutama untuk daerah yang sangat bergantung pada industri batu bara. Kalimantan Timur, misalnya, merupakan salah satu provinsi penghasil batu bara terbesar di Indonesia. Ketika harga batubara dunia turun hingga dibawah USD 40/ton, pertumbuhan PDB-nya terhenti dan mempengaruhi sektor-sektor lain.

“Kita perlu mencari cara agar perekonomian suatu provinsi tidak crash begitu terjadi transformasi besar-besaran dan batu bara tidak lagi dibutuhkan,” ujarnya.

Frank Jotzo dari Australia National University menambahkan bahwa perkembangan teknologi energi bersih menyebabkan penurunan biaya instalasi dan harga listrik dari energi terbarukan seperti surya (matahari) dan angin, sehingga transformasi energi menjadi layak secara ekonomis dan semakin kompetitif.

“Namun, ada juga tantangan seperti bagaimana memobilisasi investasi sistem energi yang besar, memastikan transisi berhasil secara teknis, dan bagaimana memaksimalkan peluang ekonomi, dan meminimalkan gangguan sosial,” Frank mengingatkan.

Interkoneksi Listrik Antar-pulau di Indonesia Adalah Keniscayaan

Jakarta, 26 Januari 2022 – Sektor energi yang didominasi oleh energi fosil berkontribusi pada ⅔ emisi global. Agar penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) eksponensial, maka pemanfaatan energi terbarukan secara masif merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Salah satu upaya untuk memberdayakan 100 persen potensi teknis energi terbarukan yang banyak tersebar di seluruh provinsi di Indonesia adalah dengan pembangunan interkoneksi jaringan listrik Nusantara. 

Jisman Hutajulu, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, dalam webinar HK Experts (26/1/2022), menyatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian ESDM telah berencana untuk menghubungkan sistem transmisi listrik antar pulau di Indonesia.

“Hal ini untuk mendukung rencana net-zero emission 2060. Kan salah satu yang mau didorong adalah penggunaan EBT, namun sumber EBT banyak berada jauh dari sumber beban yang banyak di Jawa. Jadi kita harus mentransmisikan energi itu ke pusat beban kita,” Jisman menjelaskan.

Jisman menuturkan bahwa pihaknya mendorong PLN untuk  menyelesaikan interkoneksi di dalam pulau besar di Indonesia yang diharapkan akan sepenuhnya selesai pada 2024 untuk bertahap disambungkan antar pulau. 

Jisman mengakui untuk membangun sistem transmisi ini, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Maka pihaknya sedang membuat kajian prioritas, transmisi mana yang akan dibangun terlebih dulu.  Lebih jauh, Jisman juga menyinggung potensi masuknya rencana pembangunan transmisi ini dalam Draft Inventaris Masalah (DIM) RUU EBT untuk memastikan prioritas pengerjaannya.

Dalam kesempatan yang sama, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR berpendapat bahwa sistem interkoneksi ini harus dilihat sebagai investasi bukan beban dari pilihan bertransisi menuju energi bersih. 

“Perhitungan IESR, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah. Untuk surya saja, potensinya bisa mencapai 7.700 GW dengan potensi terbesar berdasarkan kesesuaian lahan, berada di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan,” jelas Fabby.

Fabby juga mengungkapkan bahwa untuk kebutuhan investasi awal pembangunan interkoneksi jaringan sampai tahun 2030 masih kecil yakni sekitar USD 3,3 miliar karena belum integrasi antar pulau. Namun investasi tersebut akan meningkat pada 2040 dan 2050, berturut-turut di angka USD 34,8 miliar dan USD 53,9 miliar.  

Manfaat lain yang Indonesia bisa nikmati dari adanya interkoneksi antarpulau diantaranya dapat meningkatkan keandalan dan cadangan daya yang terkonsentrasi. 

“Cadangan daya berlebihan di Sumatera bisa dikirim ke Bangka, begitupun sebaliknya,” ungkap Fabby.

Selain itu, jaringan yang terintegrasi antar pulau dapat mengurangi kebutuhan investasi untuk pembangunan pembangkitan. Menurutnya lagi, interkoneksi jaringan akan  menciptakan keragaman bauran pembangkit dan keamanan pasokan, yang berbeda dari sistem energi fosil yang hanya berasal dari satu sumber energi.  Lebih jauh Fabby memaparkan bahwa jika sistem interkoneksi ini sudah berjalan maka biaya pembangkitan listrik energi terbarukan akan turun hingga 18% – 46% pada tahun 2030.

Menilik Strategi Transisi Energi Pemerintah Indonesia di Tahun 2022

press release

Jakarta, 18 Januari 2022  Memasuki tahun 2022,  Kementerian ESDM memaparkan strategi transisi energi indonesia dalam “Konferensi Pers Capaian Kinerja 2021 dan Rencana Kerja 2022 ESDM dan Subsektor EBTKE”. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang meski arah strategi transisi energi Indonesia semakin jelas, namun laju transisi energi perlu dipercepat untuk menurunkan emisi GRK serta sejalan dengan jalur Persetujuan Paris untuk menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Hanya saja, masih ada beberapa strategi yang dirasa masih tumpang tindih misalnya seperti pemanfaatan Dimethyl Ether (DME), jargas dan kompor induksi untuk menggantikan pemenuhan energi rumah tangga yang seharusnya bisa disusun peta jalan yang lebih fokus.

Pada Peta Jalan Transisi Energi 2021-2030, pemerintah menitikberatkan pada pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan (PLT EBT) yang mencapai 20,9 GW, sementara PLTS atap ditargetkan sebesar 3,6 GW. Pembangunan PLTS akan masif pada tahun 2031-2050 dengan jumlah total sebesar 279,2 GW. 

Berdasarkan kajian IESR berjudul “Dekarbonisasi Menyeluruh Sistem Energi Indonesia”, pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan justru harus dikebut pada jangka waktu 2021-2030 untuk mencapai target bauran energi terbarukan, dan mencapai puncak emisi di sektor kelistrikan sebelum 2030. Selain itu, setidaknya perlu peningkatan 14 kali lipat dari jumlah kapasitas energi terbarukan di tahun 2020, dengan sekitar 117 GW berasal dari PLTS dan`23 GW dari pembangkit energi terbarukan lainnya.

Laporan realisasi kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) oleh pemerintah hingga tahun 2021 mencapai 11.152 MW. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR berpendapat bahwa target penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan selalu di bawah target pemerintah sejak tahun 2019 dan tidak on-track dengan target bauran energi terbarukan yang mencapai 24 GW pada 2025.

“Penyebab rendahnya penambahan pembangkit energi terbarukan bersifat struktural, antara lain: Permen ESDM No. 50/2017 yang membuat proyek pembangkit energi terbarukan tidak bankable, pengadaan pembangkit energi terbarukan (ET) yang tidak dilakukan secara berkala dan terjadwal oleh PLN, minimnya dukungan pembiayaan domestik yang kompetitif, serta keterlambatan realisasi proyek karena pandemi,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.   

Menyoroti target investasi sektor energi baru terbarukan di tahun 2022, pemerintah mematok masuknya investasi sebesar 3,9 miliar USD, naik 2,6 kali dari pencapaian investasi sebelumnya sebesar 1,51 miliar USD pada 2021. Menurut Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi, IESR, meskipun target meningkat hampir tiga kali lipat, jumlah tersebut tergolong kecil untuk mendanai upaya dekarbonisasi sistem energi di Indonesia. 

“Berdasarkan kajian Indonesia Energy Transition Outlook 2022, investasi energi terbarukan untuk sektor ketenagalistrikan saja membutuhkan nilai sebesar 11,1 miliar USD per tahunnya selama satu dekade ke depan. Beberapa kebijakan dan regulasi energi terbarukan yang seharusnya dirilis tahun lalu, perlu segera difinalkan untuk meningkatkan kepercayaan investor dan iklim investasi energi terbarukan. Investasi energi terbarukan di luar RUPTL PLN, seperti PLTS atap juga perlu didukung penuh agar bisa menarik investasi dari awal tahun ini,”  imbuh Deon.

Tidak hanya itu, strategi pemerintah untuk tetap mempertahankan subsidi energi fosil justru akan semakin memperlambat laju transisi energi di Indonesia. Selain menambah beban negara, hal tersebut akan membuat Indonesia lebih mudah terjebak pada krisis energi fosil.

“Berkaca dari krisis energi batubara awal tahun ini, terlihat bahwa penggunaan energi fosil seperti batubara dan dukungan subsidi (berupa DMO) juga tidak menjamin ketahanan energi negara, namun justru menciptakan distorsi pada harga pembangkitan listrik. Harga pembangkitan listrik dari PLTU batubara terlihat lebih murah dari seharusnya dan tidak menciptakan level playing field bagi energi terbarukan,”ungkap Deon.

Strategi pemerintah untuk mempercepat upaya transisi energi nasional justru terkendala pada belum disetujuinya Rancangan Perpres Pembelian Energi Terbarukan oleh Menteri Keuangan. Deon berpendapat bahwa perlu ada koordinasi yang strategis antar kementerian untuk mendukung percepatan pencapaian target netral karbon sehingga dukungan regulasi yang dianggap kritikal seharusnya dapat segera terbit dan berjalan efektif.

“Selain dari penerbitan regulasi, implementasi yang efektif menjadi penting, namun ini malah sebaliknya. Sebagai contoh, Permen 26/2021 tentang PLTS atap yang seharusnya dapat mendukung pencapaian target PLTS atap 900 MW di tahun 2022 sesuai target KESDM, namun awal tahun ini malah tertahan penerapannya,” kata Deon.

Tidak hanya dari segi regulasi, IESR melihat sinergitas target netral karbon antar kementerian juga merupakan hal penting. Mengulas target dan realisasi kendaraan listrik di tahun 2022, Indonesia Energy Transition Outlook 2022 menemukan dua target yang berbeda di dua kementerian. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berencana memproduksi 750.000 unit LCEV (low carbon emission vehicle), yang terdiri dari mobil listrik dan 2,45 juta unit sepeda motor listrik pada 2030. Sementara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit sepeda motor listrik pada tahun 2030. Target dan peta jalan yang berbeda dalam pengembangan kendaraan listrik akan menyulitkan dalam melihat upaya yang koheren dan konsisten dari pemerintah untuk meningkatkan penetrasi kendaraan listrik di dalam negeri. 

“Peta jalan kendaraan listrik nasional yang terintegrasi dan dirancang dengan baik harus dibuat. Keselarasan antara peta jalan electric vehicle (EV) Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM misalnya, selain meningkatkan keyakinan pemain EV, juga dapat memaksimalkan manfaat ekonomi bagi Indonesia berupa value chain industri yang terbentuk dari proses transisi dari kendaraan internal combustion engine (ICE) ke EV tersebut,” tutup Deon.

Tahun 2022, Indonesia Perlu Kejar Kesiapan Ekosistem Transisi Energi

press release

Jakarta, 21 Desember 2021 –  Kurang kondusifnya iklim investasi energi terbarukan di Indonesia, dan komitmen politik yang tidak konsisten dapat membuat pencapaian target 23% bauran energi terbarukan pada 2025 terkendala. Hingga Q3 2021, bauran energi terbarukan masih di angka 11.2%. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang pemerintah Indonesia perlu secara serius mempersiapkan ekosistem transisi energi yang mampu mempercepat dekarbonisasi sistem energi di Indonesia mencapai bebas emisi karbon pada 2050.

Pada 2021, pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih berjalan lambat dan tidak on track dengan target 23% bauran energi terbarukan di 2025. IESR dalam laporan tahunan Indonesia Energy Transition Outlook 2022 menemukan bahwa hingga September 2021, total kapasitas terpasang energi terbarukan hanya mencapai 10.827 MW atau bertambah sekitar 400 MW. Sementara untuk mencapai target KEN dan RUEN di 2025 kapasitas pembangkit energi terbarukan diperkirakan harus minimal mencapai 24.000 MW atau sekitar 2-3 GW penambahan kapasitas energi terbarukan setiap tahunnya. Sedangkan agar sesuai dengan Persetujuan Paris, dibutuhkan setidaknya 11-13 GW pembangkit energi terbarukan untuk  mendekarbonisasi sistem energi di Indonesia yang mencakup sektor pembangkitan listrik, transportasi dan industri pada tahun 2050. Selain itu, pemanfaatan energi surya pun terbilang tidak signifikan, hanya meningkat 18 MW yang didominasi PLTS atap. Bandingkan dengan kebutuhan 10-11 GW PLTS atap tiap tahunnya untuk mendorong bebas emisi pada 2045 di sektor ketenagalistrikan. IESR memandang PLTS atap merupakan peluang untuk memaksimalkan kontribusi masyarakat dan badan usaha untuk ikut berinvestasi dalam proses dekarbonisasi.

Upaya dekarbonisasi sistem transportasi dengan adopsi kendaraan listrik dan penggunaan bahan bakar nabati juga masih jauh dari target yang ditetapkan. Penjualan kendaraan listrik masih di bawah 1% dari total penjualan kendaraan. Hanya sekitar 2.000 mobil listrik dan 5.000 mobil listrik sepeda motor terdaftar, sementara total mobil dan sepeda motor listrik perlu mencapai 1,7 juta dan 100 juta pada tahun 2030. Bahan bakar nabati pun masih terbatas pada pengembangan biodiesel yang masih belum ekonomis dan terkendala dengan isu keberlanjutan (sustainability). Implementasi B40, dari yang semula B30, yang direncanakan di tahun 2022 pun dinilai akan terkendala melihat harga minyak sawit saat ini.

“Pemerintah harus memfokuskan pada upaya memperkuat komitmen politik untuk dekarbonisasi dengan merevisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) agar selaras dengan tujuan Net-Zero Emission (NZE), dan memperbaiki kualitas regulasi untuk meningkatkan daya tarik investasi, memangkas hambatan perizinan, dan mengakselerasi pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan di luar PLN dengan mendorong gotong royong warga masyarakat dan bisnis berinvestasi pada pembangkit energi terbarukan terdistribusi dan efisiensi energi. Dengan demikian 23% bauran energi terbarukan di 2025 dapat tercapai,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Dekarbonisasi sistem energi di Indonesia membutuhkan kesiapan ekosistem yang mendukung.Temuan IESR dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2022 menilai kesiapan ekosistem untuk beralih ke energi terbarukan masih sangat rendah. Menggunakan Kerangka Kesiapan Transisi Energi, IESR menilai empat indikator yaitu dukungan kebijakan dan regulasi, teknologi dan ekonomi, iklim dan realisasi investasi, dan sosial.

Dukungan kebijakan dan regulasi energi yang kurang efektif dalam mendongkrak pengembangan energi terbarukan di Indonesia, mencitrakan komitmen politik pemerintah yang rendah terhadap energi terbarukan. Meski pada 2021, pemerintah berkomitmen untuk menaikkan porsi bauran energi terbarukan menjadi 51% di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan melakukan kaji ulang pensiun dini pada 9,2 GW PLTU batubara, upaya tersebut belum cukup ambisius untuk mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini, sesuai Persetujuan Paris. Lebih lanjut, komitmen ini perlu diterjemahkan dengan rencana implementasi yang jelas di tahun 2022.

“Memang pada 2021 sudah ada beberapa dokumen kebijakan yang dikeluarkankan seperti LTS dan RUPTL, namun kami menilai target-target tersebut masih jauh dari cukup untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1.50C. Selain itu, penting untuk dilakukan perubahan terhadap beberapa regulasi seperti tarif energi terbarukan, serta mekanisme lelang dan pengadaan yang lebih terjadwal dan transparan dari PLN, supaya target-target tersebut dapat tercapai,” ujar Julius Christian, Peneliti & Spesialis Bahan Bakar Bersih sekaligus Penulis Utama laporan IETO 2022.

Kebijakan energi di Indonesia juga belum memberikan rasa aman bagi pengembang untuk berinvestasi di energi terbarukan. Permen ESDM No 10/2017 menyerahkan risiko sepenuhnya kepada pengembang bila terjadi perubahan kebijakan pemerintah. Peraturan ESDM No. 50/2017 menyebabkan proyek energi terbarukan dipandang sebagai proyek yang sulit mendapat pendanaan dari bank (unbankable). Tidak hanya itu, Peraturan Presiden tentang tarif energi baru dan terbarukan yang urung disahkan tahun ini menyebabkan ketidakpastian dan menghambat investasi proyek energi terbarukan di Indonesia.

Kebijakan yang kurang mendukung berdampak pada investasi energi terbarukan di tahun yang tidak signifikan, hanya mencapai USD 1,17 miliar dibandingkan tahun 2020 sebesar USD 1,12 miliar. Jumlah ini sangat rendah bila disandingkan dengan kebutuhan investasi untuk dekarbonisasi sistem energi sesuai kajian IESR, sebanyak USD 20-25 Miliar per tahun menuju 2030.

Ditinjau secara teknis dan ekonomis, secara global, baik teknologi maupun biaya energi terbarukan semakin kompetitif dalam beberapa tahun terakhir. Hasil lelang PLTS terakhir menghasilkan biaya listrik USD 0,04/kWh, lebih rendah dari rata-rata PLTU batubara yang menelan biaya USD 0,05-0,07/kWh. Saratnya subsidi dan dukungan regulasi pemerintah terhadap PLTU batubara disinyalir membuat biaya PLTU batubara rendah. Jika menggunakan harga pasar aktual, dengan harga batubara USD 150/ton (September 2021), biaya pembangkitan listrik PLTU bisa mencapai USD 0,09-0,11/kWh. 

Meskipun proyek energi terbarukan sudah semakin ekonomis, investasi energi terbarukan masih dinilai kurang atraktif.

“Hal utama yang perlu disorot adalah ketidak-familiaran bank-bank dan investor lokal terhadap risiko proyek energi terbarukan yang sebenarnya lebih rendah daripada proyek energi fosil, menimbang harga teknologi secara tren globalnya yang juga semakin menurun. Lamanya proses perizinan dan kompleksitas mekanisme pengadaan juga dilihat sebagai kedua hal yang sering kali membuat biaya pendanaan proyek energi terbarukan menjadi lebih tinggi daripada yang direncanakan sehingga pengembang sulit menentukan angka kebutuhan investasi yang tepat dan pasti untuk diajukan kepada para institusi pendanaan,” tandas Handriyanti D. Puspitarini, Peneliti Senior Energi Terbarukan, IESR yang juga terlibat dalam penulisan IETO 2022.

Sementara dari segi sosial, berdasarkan hasil survei yang IESR lakukan terhadap 1000 responden, terdapat peningkatan kesadaran dan dukungan untuk bertransisi energi ke energi bersih. Sebanyak 56% responden yang (sangat) setuju jika Indonesia berhenti menggunakan batu bara untuk pembangkit listrik. Tiga sumber energi terbarukan tertinggi yang mendapat dukungan publik tertinggi adalah  matahari (68%), air (60%), dan angin (39%). 

IESR dalam laporan IETO 2022 mendorong pemerintah Indonesia untuk menangkap sentimen positif dari masyarakat Indonesia terhadap energi terbarukan melalui kerja sama dengan pihak swasta, industri, dan pemerintah provinsi di Indonesia. Beberapa provinsi di Indonesia seperti DKI Jakarta, Bali, Jawa Tengah dapat menjadi acuan dan pelajaran bagi provinsi lain dalam mengembangan lebih banyak lagi porsi energi terbarukan.

Fokus tahun 2022 dapat ditujukan untuk kebijakan dan regulasi yang meningkatkan transparansi proses lelang energi terbarukan, alokasi risiko yang jelas melalui standarisasi Project-Based Learning (PJBL) dan memperbaiki bankability proyek-proyek energi  terbarukan dengan instrumen derisking. Proses perizinan yang lebih efisien dan tepat waktu serta suku bunga yang lebih rendah untuk pinjaman proyek juga merupakan faktor penting untuk memangkas biaya pendanaan awal dan memperbaiki iklim investasi. 

Laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2022 dapat diunduh pada: s.id/IESR_IETO2022

Transisi Energi Indonesia Dibayangi Kegamangan Pemerintah

Jakarta, 21 Desember 2021 – Menutup tahun 2021, Institute for Essential Services Reform (IESR) kembali meluncurkan laporan tahunan bertajuk Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022. Sejak 2017, IETO (yang semula bernama Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) secara konsisten memaparkan perkembangan transisi energi di Indonesia pada berbagai sektor sekaligus memberikan proyeksi transisi energi Indonesia pada tahun 2022 mendatang. Selama dua tahun berturut-turut, IETO secara khusus  menganalisis kesiapan transisi energi Indonesia.

Pada level global, tahun 2021 ditandai dengan sejumlah kejadian penting seperti KTT Iklim yang diselenggarakan presiden Amerika Serikat, Joe Biden, yang menyerukan untuk seluruh dunia mengambil langkah yang lebih ambisius untuk menangani krisis iklim. KTT G20 dan COP 26 kembali menyerukan bahwa komitmen dan aksi mitigasi krisis iklim seluruh negara saat ini masih belum cukup untuk menahan kenaikan temperatur rata-rata global di 1,5 derajat Celsius. Aksi mitigasi iklim yang lebih ambisius dan agresif diperlukan.

Meski belum selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia mulai menunjukkan komitmen politik yang cukup progresif dengan menetapkan target net-zero pada 2060 atau lebih cepat, rencana untuk mempensiunkan dini sejumlah PLTU batubara, dan terbitnya RUPTL baru yang memberi porsi energi terbarukan  menjadi 51,6%. Menurut IESR, komitmen ini dapat dilihat sebagai angin segar bagi pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Namun, hal ini masih belum dapat mengakselerasi transisi energi Indonesia, dan mencapai target Persetujuan Paris yaitu mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini. 

Julius Cristian, penulis utama laporan IETO 2022 melihat adanya  kegamangan dari pemerintah. 

“Contohnya, meski RUPTL terbaru sudah mengakomodasi 50% energi terbarukan atau sekitar 20 GW, namun jika dibandingkan dengan kebutuhan dekarbonisasi yang mencapai 130 GW perencanaan ini tentu masih jauh dari kebutuhan. Selain itu, pemerintah masih juga mengandalkan strategi yang menurut kami tidak feasible seperti penggunaan nuklir dan CCS yang lebih mahal dibandingkan dengan energi terbarukan,” jelasnya. 

IETO 2022 mengkaji bahwa Indonesia mampu mencapai net-zero pada tahun 2050. Untuk mewujudkan ini Indonesia harus mencapai puncak emisi sebelum tahun 2030, dan setelah itu mulai menurunkannya. Implikasi dari hal ini salah satunya adalah Indonesia tidak boleh lagi membangun PLTU serta harus segera mulai melakukan pensiun PLTU lama. 

Menimbang potensi dan ketersediaan sumberdaya, PLTS akan menjadi tulang punggung dekarbonisasi Indonesia. Namun pertumbuhannya pada tahun 2021 hanya sekitar 18 MW, padahal kebutuhannya mencapai 108 GW pada 2030, atau bertambah rata-rata 10 GW per tahun.

Handriyanti Diah Puspitarini menambahkan bahwa terdapat sedikit perbaikan dalam hal kualitas kebijakan dan sosial (penerimaan publik) tentang transisi energi namun komitmen dari pemerintah dan iklim investasi energi terbarukan masih perlu banyak perbaikan.

“Kita perlu melihat bagaimana implementasi berbagai regulasi yang akan datang dan yang sudah diterbitkan. Pemerintah juga harus menyadari bahwa masyarakat sudah mulai aware dengan isu ini dan mendukung adanya transisi energi, maka pemerintah pun harusnya  mensupport dukungan publik yang sudah tinggi ini,” jelas Handriyanti.

Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), menekankan penting untuk energi terbarukan tumbuh secara eksponensial untuk memenuhi kebutuhan listrik dan memenuhi target perjanjian internasional. Meski sepanjang 2021 terdapat momentum tumbuhnya awareness untuk melakukan transisi arah kebijakan Indonesia masih belum pasti akan menuju kemana.

“Sebagai contoh RUED, meskipun daerah-daerah sudah memiliki RUED namun wewenang untuk mengeksekusi terpusat di PLN dan Pertamina, jadi daerah-daerah ini punya RUED namun tidak bisa mempengaruhi hasil,” ujar Herman.

Faela Sufa, Direktur Asia Tenggara ITDP, melihat bahwa sektor transportasi bisa menjadi salah satu pendorong ekosistem energi terbarukan di Indonesia.

“Misal untuk elektrifikasi transportasi publik perlu kita sinkronkan bersama dan identifikasi insentif apa yang perlu diberikan sehingga bisa lebih jadi tangible dalam penggunaan energi dan koordinasi dengan berbagai sektor yang berkaitan dengan renewable energy untuk elektrifikasi,” jelas Faela.

Yusrizki, Ketua Komite Tetap Kamar Dagang Indonesia (KADIN) bidang EBT, menyampaikan bahwa KADIN telah menyatakan akan menjadi net-zero organization 2060 dan secara aktif mendorong anggotanya untuk memiliki target net zero.

“Dalam gelaran G20 summit 2022 nanti kita diharapkan punya 100 perusahaan Indonesia yang sudah pledge target net zero dan ini merupakan target yang sangat ambisius. Kita mulai dari edukasi, assisting -membantu mereka membuat agenda-agendanya-, sampai pledge komitmennya,” pungkas Yusrizki.

Sementara itu Arief Sugiyanto, Vice President Pengendalian RUPTL PLN, menjelaskan bahwa pihaknya saat ini berusaha untuk memenuhi target bauran energi 23% pada tahun 2025.

“Target EBT 23% di 2025 ini memang tantangan yang berat. Salah satu strategi PLN adalah de-dieselisasi wilayah-wilayah isolated dan secara bertahap akan diganti dengan pembangkit EBT yang tersedia di lokasi tersebut,” ungkapnya.

Akselerasi Energi Bersih untuk Mewujudkan NZE di Sektor Energi 2050

press release

Jakarta, 20 Desember 2021 – Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022. IETO 2022 merupakan laporan tahunan yang mengulas perkembangan transisi energi di Indonesia serta memproyeksikan tantangan dan peluang sektor energi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca di tahun berikutnya. Di tahun ke-5 peluncuran laporan IETO, IESR juga menyoroti komitmen pemerintah untuk melakukan dekarbonisasi sektor energi, inovasi kebijakan dan regulasi untuk menarik investasi energi terbarukan, dan peranan sektor swasta dan pemerintah daerah dalam mempercepat transisi energi di Indonesia.

IESR memandang bahwa dekarbonisasi menyeluruh sektor energi merupakan hal yang mutlak dilakukan. Dekarbonisasi harus selaras dengan target Persetujuan Paris yaitu  membatasi kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius. Menghasilkan sebanyak 34% dari total emisi pada tahun 2019 membuat sektor energi sebagai penghasil emisi terbesar kedua setelah Forest and Land Use (FOLU) di Indonesia. Jika tidak ada upaya dekarbonisasi yang terencana maka diproyeksikan sektor energi akan menjadi penghasil emisi terbesar di Indonesia pada tahun 2030 dan mempersulit pencapaian target Persetujuan Paris. 

“Di tahun 2022, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus berusaha keras meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dan mendorong efisiensi energi di bangunan dan industri. Pada 2025, pemerintah harus mencapai target 23% bauran energi terbarukan dan setelah itu harus mengejar emisi sektor energi mencapai puncaknya sebelum 2030. Kedua milestone ini menjadi indikasi apakah kita bisa mencapai dekarbonisasi di pertengahan abad ini,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.  

Pemerintah Indonesia telah menetapkan komitmennya untuk melakukan transisi energi dengan  memasukan porsi kapasitas pembangkit energi terbarukan yang lebih besar, 51 persen atau sebanyak 20.923 MW pada 2030 dalam RUPTL PLN 2021-2030. Sementara untuk selaras dengan  target dekarbonisasi 1,5℃, menurut kajian IESR, setidaknya perlu 140 GW energi terbarukan, yang didominasi PLTS pada 2030. 

IESR memandang untuk mencapai target yang besar perlu evaluasi yang serius terhadap kualitas kebijakan dan regulasi yang ada saat ini. Dalam lima tahun terakhir, sejak PP No. 79/2014 tentang KEN disahkan,  laju pertumbuhan energi terbarukan cenderung lambat. Data dari IETO 2022 menunjukkan bahwa dalam 5 tahun terakhir, energi terbarukan rata-rata hanya bertambah 400 MW.  Selain itu, pemerintah Indonesia juga masih memberikan tempat bagi batubara dalam skenario transisinya seperti dalam program penggunaan CCS/CCUS pada PLTU batubara, gasifikasi batubara, bahkan co firing batubara. Menurut IESR, penggunaan teknologi  CCS/CCUS pada PLTU akan berdampak pada harga listrik lebih mahal dan meningkatnya risiko potensi aset terdampar yang lebih besar karena biaya yang tidak kompetitif. Selain itu, penerapan teknologi co-firing dan clean coal technology seperti PLTU Ultra-supercritical menghasilkan penurunan emisi yang tidak signifikan, sehingga membuat penggunaan teknologi ini dipertanyakan efektivitasnya.

“Biaya pembangkitan listrik dari penggunaan CCS pada PLTU akan bersaing dengan teknologi energi terbarukan dengan storage. Sejauh ini, PLTU dengan CCS yang beroperasi di dunia masih punya kendala pada operasi dan pencapaian penurunan emisinya. Bahkan salah satu proyek PLTU dengan CCS tersebut, seperti Petra Nova di Texas ditutup setelah baru beroperasi selama kurang lebih 4 tahun. Jadi, kesiapan teknologi saat ini, serta proyeksi harga teknologi dalam dekade mendatang harusnya menjadi pertimbangan utama, dan jelas bahwa prioritas harus diberikan pada teknologi dengan biaya paling kompetitif yaitu energi terbarukan,” jelas Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, IESR.

Lebih lanjut, salah satu Penulis IETO 2022, Handriyanti Diah Puspitarini menuturkan bahwa meski belum mencapai target yang ditetapkan, kapasitas terpasang energi terbarukan terutama dari PLTS menggeliat naik hingga 17,9 MWp, dan kendaraan listrik seperti motor listrik mengalami sedikit kenaikan sebanyak 5.486 unit dan mobil listrik sebanyak  2,012 unit. Hal ini dapat menjadi potensi yang perlu dikembangkan di tahun 2022.

“Pemerintah Indonesia perlu mendorong pengembangkan teknologi yang diproduksi secara lokal untuk menangkap peluang lebih besar seperti penurunan CAPEX proyek energi terbarukan. Selain itu, pengembang lebih mudah mendapatkan teknologi dengan kualitas tinggi dan harga yang murah tanpa perlu impor. Dengan demikian, akan banyak investasi bukan hanya pada proyek energi terbarukan sendiri, tetapi ke sektor industri di Indonesia secara umum,” ujar Handriyanti Diah Puspitarini, Peneliti Senior Energi Terbarukan, IESR.

IESR menyadari bahwa dekarbonisasi sektor energi membutuhkan biaya yang besar, sekitar  USD 20-25 miliar per tahun sesuai kajian IESR tentang Dekarbonisasi Sistem energi Indonesia (IESR, 2021). IETO 2022 mengulas sejumlah peluang pendanaan tersedia dari entitas swasta atau publik untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, yang dapat digunakan untuk membiayai transisi energi. Peluang pendanaan ini termasuk insentif pemerintah (fiskal dan non-fiskal), bantuan pembiayaan internasional, dan mekanisme pembiayaan yang lebih tidak konvensional seperti green bond/sukuk, obligasi daerah, keuangan syariah, dan blended finance

“Pendanaan energi terbarukan seharusnya tidak dianggap sebagai beban melainkan sebuah kesempatan dan strategi untuk mengalihkan investasi dari fosil ke energi terbarukan. Ada banyak sumber pendanaan yang bisa menjadi sumber investasi energi terbarukan. Pemerintah dapat menggunakan APBNnya untuk menarik investasi dari sumber pendanaan tersebut, misalnya dengan melakukan pemetaan sumber daya energi terbarukan, melakukan riset teknologi, dan mengadakan pilot project untuk projek baru energi terbarukan yang belum dikembangkan seperti energi laut, serta menyediakan instrument derisking untuk menarik investasi,” tutup Fabby.

Perkembangan transisi energi secara lengkap akan dibahas dalam IETO 2022

Agenda Net-Zero Emission Kesempatan Sektor Swasta untuk Meningkatkan Daya Saing

Jakarta, 14 Desember 2021 – Tahun 2021 ditandai dengan sejumlah peristiwa penting dan lahirnya berbagai komitmen yang bertujuan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Sejumlah kepala negara di dunia berlomba untuk menunjukkan kepemimpinannya dalam penanganan perubahan iklim ini. Hal ini tidak mengherankan karena menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) AR6 yang diluncurkan bulan Agustus 2021, menyatakan bahwa waktu kita untuk menahan laju peningkatan temperatur bumi di bawah 1,5 derajat celcius adalah kurang dari sepuluh tahun lagi. Aksi iklim kita selama kurang dari satu dekade ini akan menentukan apakah kita akan berhasil untuk mencapai target iklim berdasar Persetujuan Paris yaitu mencapai net-zero emission pada pertengahan abad ini.

Untuk menggali perspektif dan mendorong kolaborasi dari berbagai pihak, Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) mengadakan webinar bertajuk “What Net Zero Emission Means for the Private Sector” pada hari Selasa, 14 Desember 2021.

Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memutakhirkan NDC-nya dan melengkapinya dengan dokumen strategis yaitu Long Term Strategy – Low Carbon Climate Resilience aligned with Paris Agreement (LTS – LCCR). Indonesia juga mengumumkan target untuk mencapai net-zero emission pada tahun 2060 (atau lebih cepat). Dengan kondisi iklim yang semakin kritis, Pemerintah Indonesia didesak untuk mempercepat target net-zero emissionnya.

Laksmi Dewanthi, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengungkapkan pemerintah menyadari tentang kebutuhan untuk mempercepat net-zero emission

“Supaya net-zero ini lebih cepat, para pihak kami minta untuk ikut lebih ambil bagian dalam rencana net-zero Indonesia ini,” tuturnya. 

Ditambahkan Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, kolaborasi dan aksi nyata dari semua pihak ini akan menjadi kunci tercapainya target net-zero emission di Indonesia. “Pemerintah perlu menyiapkan enabling conditions supaya kerjasama dengan pihak swasta serta pihak lainnya dapat berjalan baik,” katanya.

Medrilzam juga menegaskan bahwa berdasarkan studi Bappenas pembangunan rendah karbon (low carbon development) dapat memberikan  manfaat ekonomi yang lebih tinggi daripada business as usual.

Bukan hanya bagi pemerintah, terdapat berbagai manfaat bagi korporasi jika memiliki target net-zero emission

Aligning to climate science is good for business. Karena selain sejalan dengan agenda pemerintah, menjalankan komitmen iklim juga meningkatkan daya saing perusahaan. Perusahaan diharapkan untuk terus mengambil kesempatan yang ada,” Amelie Tan, Regional Lead Carbon Disclosure Project menjelaskan.

Dalam kesempatan yang sama Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menekankan bahwa pemerintah perlu melakukan intervensi paling tidak dalam empat area untuk mendorong bisnis bergerak menuju bisnis yang rendah karbon. Keempat sektor yang dimaksud yaitu kebijakan dan regulasi, teknologi dan infrastruktur rendah karbon, inovasi, dan membangun kesadaran pasar dan konsumen untuk memilih produk rendah karbon. 

“Kajian kami menunjukkan bahwa sistem energi di Indonesia secara teknis dan ekonomis dapat mencapai zero emission pada tahun 2050 dengan 4 strategi yaitu peningkatan kapasitas energi terbarukan, penurunan  bahan bakar fosil, elektrifikasi, dan penggunaan bahan bakar bersih,” katanya.

Fabby juga menambahkan pentingnya pelaporan secara terbuka kepada publik (disclosure) dari korporasi yang berkomitmen untuk menurunkan emisinya supaya masyarakat luas tahu perusahaan mana saja yang memiliki komitmen pengendalian perubahan iklim.

Target Infrastruktur Kendaraan Listrik Pemerintah masih Menciptakan Range Anxiety

Kendaraan listrik menjadi semakin populer dalam beberapa waktu belakangan ini. Pemerintah Indonesia sendiri telah menyatakan bahwa penggunaan kendaraan listrik menjadi salah satu strategi transisi energi Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengumumkan target penetrasi kendaraan listrik sebesar 2 juta mobil listrik dan 13 juta motor listrik pada tahun 2030.

Besarnya target penetrasi kendaraan listrik ini tentu perlu dibarengi dengan ekosistem pendukung seperti tersedianya charging infrastructure, ketersediaan model yang beragam, serta, adanya insentif bagi pengguna kendaraan listrik. Zainal Arifin, executive vice president engineering and technology PLN, dalam IETD 2021, mengatakan untuk menjawab kebutuhan ekosistem energi listrik, pemerintah membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk mengembangkan infrastruktur pengisian daya. Sejauh ini, adopsi kendaraan listrik belum  terlalu menggembirakan. Hingga tahun 2021, tercatat sebanyak 5486 unit kendaraan roda dua dan 2012 kendaraan roda empat telah tersertifikasi. Namun untuk angka adopsi baru sebanyak 654 unit mobil. 

Masih terbatasnya jumlah stasiun pengisian daya untuk umum menjadi salah satu faktor pertimbangan yang memberatkan  calon konsumen untuk membeli kendaraan listrik. Orang memerlukan jaminan kepastian (assurance) jika dirinya kehabisan daya di tengah perjalanan, tersedia banyak stasiun pengisian daya.

Meskipun untuk perjalanan dengan jarak terukur, kebutuhan pengisian daya ini dapat diatur dan diperhitungkan, namun perlu untuk mempertimbangkan rasio antara jumlah kendaraan dan SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum). Jika mengikuti target pemerintah, rasio perbandingan kendaraan listrik dan SPKLU akan sekitar 1:70. Rasio ini masih terlalu kecil dan menimbulkan kecemasan saat orang menggunakan kendaraan listrik karena jumlah SPKLU yang terbatas. 

Berkaca pada pengalaman beberapa negara yang telah berhasil melakukan penetrasi kendaraan listrik besar-besaran seperti Cina, Amerika Serikat dan Norwegia, dalam hal penyediaan stasiun pengisian daya umum, rasio antara SPKLU dan kendaraan listrik rata-rata sebesar 1:20. Indonesia diharapkan untuk terus meningkatkan ekosistem pendukung kendaraan listrik salah satunya, stasiun pengisian daya.

“Pemerintah harus memiliki skema bisnis yang menarik supaya investor berminat untuk ambil bagian dalam menyediakan salah satu komponen ekosistem kendaraan listrik yaitu SPKLU,” Idoan Marciano, Peneliti Spesialis Kendaraan Listrik, IESR menjelaskan.

Kendaraan listrik diyakini menjadi solusi transportasi bersih yang rendah emisi. Penggunaan kendaraan listrik secara masif dapat menekan emisi sektor transportasi. Dalam konteks Indonesia, penetrasi masif kendaraan listrik juga harus dibarengi dengan mendorong energi terbarukan di sektor pembangkit listrik sebagai penghasil daya utama yang akan digunakan kendaraan listrik ini. 

Harga kendaraan listrik yang masih lebih tinggi dari kendaraan konvensional juga disorot. Intervensi pemerintah untuk menurunkan harga kendaraan listrik ini diperlukan, namun juga perlu bijak dalam merancang skema intervensinya mengingat kendaraan listrik saat ini masih menyasar kalangan ekonomi menengah ke atas. 

Perhatian khusus dapat diberikan pada pengembangan kendaraan listrik roda 2 yang lebih cepat untuk didorong penetrasinya di masyarakat. Selisih harga yang tidak sebanyak kendaraan roda 4 akan menjadi salah satu faktor pendorong elektrifikasi kendaraan roda dua. Selain itu pengadaan kendaraan dinas bagi pemerintah dan transportasi umum dapat menjadi strategi baik untuk melakukan mentransformasi sistem transportasi di Indonesia.